DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO

DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.

Rabu, 14 Desember 2022

HUKUM GURU NGAJI MENERIMA ZAKAT

APAKAH GURU NGAJI BOLEH  MENERIMA ZAKAT  ?
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama' sebagai berikut:

✔. Menurut sebagian ulama' guru ngaji (ustadz, kiai) tidak termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat kecuali dalam keadaan tidak mampu. 

Imam Sayyid Abu Bakar bin Syatho dalam kitabnya I'anatut Thalibin menegaskan: 
"Termasuk hal yang tidak mencegah keduanya (status faqir dan miskin) adalah seseorang yang meninggalkan pekerjaan yang layak baginya karena waktunya tersita untuk menghafal al-Qur'an, memperdalam ilmu Fiqh, Tafsir, Hadis atau ilmu alat (ilmu Nahwu dan ilmu Shorof) yang menjadi sarana tercapainya ilmu-ilmu tersebut, maka orang-orang semacam ini dapat menerima zakat agar mereka dapat melaksanakan usahanya secara optimal, sebab manfa'atnya akan lebih dirasakan serta mengena kepada masyarakat umum, disamping juga hal itu hukumnya adalah fardlu kifayah". Maka dari keterangan tersebut diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa memberikan zakat kepada kiai atau guru ngaji adalah boleh dengan syarat kiai atau guru ngaji tersebut dalam kondisi tidak mampu.

✔. Menurut sebagian ulama' yang lain guru ngaji (Ustadz, Kiai) termasuk salah satu dari delapan golongan yang berhak menerima zakat dengan mengatas namakan SABILILLAH. 

Imam Qasthalani Asy-Syafi'i menegaskan didalam kitabnya Jawahirul Bukhori bahwa: "Ahli Sabilillah adalah mereka yang berperang dijalan Allah dengan suka rela (tidak digaji) walaupun mereka dalam kondisi kaya. Mereka berhak menerima zakat untuk membantu mereka dalam berjihad. Dan termasuk Ahli Sabilillah adalah para pelajar atau santri yang mempelajari ilmu Syar'i, orang-orang yang mencari kebenaran, menuntut keadilan, menegakkan kejujuran, orang-orang yang ahli memberi nasehat atau bimbingan dan orang-orang yang membela agama Allah subhanahu wa ta'ala.

Maka berdasar uraian yang termaktub didalam kitab Jawahirul Bukhori tersebut diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa memberikan zakat kepada kiai atau guru ngaji adalah boleh.

والله أعلم بالصواب
 
Dasar Pengambilan (1). 

( واعلم ) أن ما لا يمنع الفقر مما تقدم لا يمنع المسكنة أيضا كما مر التنبيه عليه ومما لا يمنعهما أيضا اشتغاله عن كسب يحسنه بحفظ القرآن أو بالفقه أو بالتفسير أو الحديث  أو ما كان آلة لذلك وكان يتأتى منه ذلك فيعطى ليتفرغ لتحصيله لعموم نفعه وتعديه وكونه فرض كفاية  ومن ثم لم يعط المتنفل بنوافل العبادات وملازمة الخلوات لأن نفعه قاصر على نفسه . إعانة الطالبين - (ج 2 / ص 189)
 
Dasar Pengambilan (2). 

ﻭﺍﻟﺴﺎﺑﻊ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻭﻫﻮ ﻏﺎﺯ ﺫﻛﺮ ﻣﺘﻄﻮﻉ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻓﻴﻌﻄﻰ ﻭﻟﻮ ﻏﻨﻴﺎ ﺇﻋﺎﻧﺔ ﻟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻐﺰﻭ ﺍﻫﻞ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ ﺍﻟﻤﺘﻄﻮﻋﻮﻥ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺍﻏﻨﻴﺎﺀ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻃﻠﺒﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺭﻭﺍﺩ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻃﻼﺏ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻣﻘﻴﻤﻮﺍ ﺍﻻﻧﺼﺎﻑ ﻭﺍﻟﻮﻋﻆ ﻭﺍﻻﺭﺷﺎﺩ ﻭﻧﺎﺻﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺤﻨﻴﻒ الاقناع – 2 230.
 
Dasar Pengambilan (3). 

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﺤﻤﺪ ﻣﺼﻄﻔﻰ ﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻫﻞ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻯ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ ﺍﻟﻤﺘﻄﻌﻮﻥ ﺑﺎﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﺍﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﺍﻏﻨﻴﺎﺀ ﺍﻋﺎﻧﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺠﻬﺎﺩ ﻭﻳﺪﺧﻞ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻃﻠﺒﺔ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺍﻟﺸﺮﻋﻲ ﻭﺭﻭﺍﺩ ﺍﻟﺤﻖ ﻭﻃﻼﺏ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻭﻣﻘﻴﻢ ﺍﻻﻧﺼﺎﻑ ﻭﺍﻟﻮﻋﻆ ﻭﺍﻻﺭﺷﺎﺩ ﻭﻧﺎﺻﺮ ﺍﻟﺪﻳﻦ. ﺍﻩ ﺟﻮﺍﻫﺮ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﺑﺸﺮﺡ . ﺍﻟﻘﺴﻄﻼﻧﻲ.ﺹ 192
 
Dasar Pengambilan (4). 

ﻭﻟﻮ ﻗﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﺇﻻ ﺃﻧﻪ ﻣﺸﺘﻐﻞ ﺑﺒﻌﺾ ﺍﻟﻌﻠﻮﻡ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﻭﻟﻮ ﺃﻗﺒﻞ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﻻﻧﻘﻄﻊ ﻋﻦ ﺍﻟﺘﺤﺼﻴﻞ ﺣﻠﺖ ﻟﻪ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ . روضة – 2 – 309
 
Dasar Pengambilan (5). 

ﻭﺫﻛﺮ ﺍﻟﺪﺍﺭﻣﻲ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺸﺘﻐﻞ ﺑﺘﺤﺼﻴﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻭﺟﻪ : ﺃﺣﺪﻫﺎ : ﻳﺴﺘﺤﻖ ﻭﺇﻥ ﻗﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻜﺴﺐ ﻭﺍﻟﺜﺎﻧﻲ : ﻻ, ﻭﺍﻟﺜﺎﻟﺚ : ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻧﺠﻴﺒﺎ ﻳﺮﺟﻰ ﺗﻔﻘﻬﻪ ﻭﻧﻔﻊ ﺍﻟﻤﺴﻠﻤﻴﻦ ﺑﻪ ﺍﺳﺘﺤﻖ ﻭﺇﻻ ﻓﻼ . المجموع شرح المهذب – 6 – 172
 
Dasar Pengambilan (5). 

ﺍﻟﺼﻨﻒ ﺍﻟﺴﺎﺑﻊ: ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ: ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻤﻔﺴﺮﻭﻥ: ﻳﻌﻨﻲ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ. ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ: ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ ﺍﻟﺰﻛﺎﺓ ﻭﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻏﻨﻴﺎ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺇﺳﺤﺎﻕ ﻭﺃﺑﻲ ﻋﺒﻴﺪ. ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻭﺻﺎﺣﺒﺎﻩ ﺭﺣﻤﻬﻢ ﺍﻟﻠﻪ: ﻻ ﻳﻌﻄﻰ ﺍﻟﻐﺎﺯﻱ ﺇﻻ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺘﺎﺟﺎ. ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻇﺎﻫﺮ ﺍﻟﻠﻔﻆ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ : ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳﻮﺟﺐ ﺍﻟﻘﺼﺮ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺍﻟﻐﺰﺍﺓ، ﻓﻠﻬﺬﺍ ﺍﻟﻤﻌﻨﻰ ﻧﻘﻞ ﺍﻟﻘﻔﺎﻝ ﻓﻲ »ﺗﻔﺴﻴﺮﻩ « ﻋﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻔﻘﻬﺎﺀ ﺃﻧﻬﻢ ﺃﺟﺎﺯﻭﺍ ﺻﺮﻑ ﺍﻟﺼﺪﻗﺎﺕ ﺇﻟﻰ ﺟﻤﻴﻊ ﻭﺟﻮﻩ ﺍﻟﺨﻴﺮ ﻣﻦ ﺗﻜﻔﻴﻦ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻭﺑﻨﺎﺀ ﺍﻟﺤﺼﻮﻥ ﻭﻋﻤﺎﺭﺓ ﺍﻟﻤﺴﺎﺟﺪ، ﻷﻥ ﻗﻮﻟﻪ: ﻭﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻜﻞ . تفسير الرازي - 16 – 87
 

Referensi Kitab:
1. I’anatut Tholibin. Juz: 2. Hal: 189
2. Al-Iqna’. Juz: 2. Hal: 230
3. Jawahir Al-Bukhori Bisyarch Al-Qostholani. Hal: 192
4. Raudloh. Juz: 2. Hal: 309
5. Al-Majmu’ Syarch Al-Muhadzdzab. 
Juz:6. Hal: 172
6. Tafsir Al-Rozi. Juz:16. Hal:87

Sabtu, 28 Mei 2022

Nostalgia Dalam photo Bagian 5

 Album sebelumnya....

















Foto Putra-putri KH. Thoyyib Harun dengan formasi paling lengkap. Foto ini diambil pada tahun 1997 oleh Mbak Titin Shofiyah, santri asal Kuripansari Pacet.












To be continued...

Kamis, 07 Oktober 2021

Dinamika Qoshor Sholat Musafir

 Illat Safar : Antara Masyaqqah dan Masafah

A. Musafir Mendapatkan Keringanan

Orang yang musafir itu memang mendapatkan beberapa keringanan dalam Al-Quran dan Hadits. Shalatnya boleh dijamak dan diqashar, puasanya boleh diqadha' di hari lain. Dan seterusnya. 

Kalau ditanya, apa alasan atau 'illat keringanan itu diberikan? Jawabannya adalah karena dalam safar itu ada masyaqaah atau sesuatu yang memberatkan. 

Bahkan dalam sabdanya sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Nabi SAW sempat menyebut bahwa safar itu bagian dari adzab

 (السفر قطعة من العذاب). 

Namun kalau kita bicara tarikh tasyri' atau sejarah perjalanan pensyariatan, masyaqqah yang awalnya masih menjadi 'illat keringanan itu kemudian di masa berikutnya berubah. 

Catatan penting bahwa perubahan 'illat ini bukan terjadi di masa sekarang, tapi justru terjadinya masih di masa pensyariatan itu sendiri, yaitu di masa wahyu masih turun dari langit dan Nabi SAW masih membersamai para shahabat. 

oOo

B. Perubahan 'Illat Keringanan

Hal itu terjadi ketika Umar bin Al-Khattab terheran-heran melihat Nabi SAW mengqashar shalatnya, padahal bukan dalam situasi perjalanan perang. 

Sebab kalau sesuai dengan pensyariatan dalam Al-Quran, dibolehkannya menghqashar shalat itu hanya apabila terjadi perjalanan perang saja. Kalau bukan karena perjalanan perang, tidak ada keringanan qashar.

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ

Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir. (QS. An-Nisa : 110) 

Di dalam ayat ini sebenarnya pensyariatan qashr shalat masih sangat terkait dengan syarat keadaan takut menghadapi musuh, karena terjadinya masih dalam masa peperangan. Hal itu nampak jelas ketika ayat ini menyebutkan : in khiftum an yaftinakumulladzina kafaru. (jika kamu takut diserang orang kafir)

Ketika ayat ini turun di masa Nabi SAW, nyaris hampir seluruh perjalanan Nabi SAW berada di bahwa ancaman orang-orang kafir, yaitu dalam keadaan perang.

Namun ketika sudah terjadi gencetan senjata dengan pihak musyrikin Mekkah lewat Perjanjian Hudaibiyah, bahkan setelah lewat masa Fathu Mekkah, nyaris perjalanan Nabi SAW bukan perjalanan perang lagi, tapi perjalanan yang biasa saja. 

Tapi ternyata Nabi SAW tetap meng-qashar shalatnya dalam perjalan di masa damai itu. Sehingga hal itu menggelitik Umar untuk bertanya tentang 'illat kebolehan qashar shalat yang mengalami pergeseran.

Dan pergeseran 'illat itu memang dibenarkan oleh Nabi SAW langsung. Kalau dulu meng-qashar shalat hanya boleh dilakukan dalam perjalanan perang saja, namun setelah itu Allah SWT memberi 'sedekah' dalam bentuk perluasan 'illat. Tidak harus perjalanan perang, tapi cukup perjalanan biasa saja, sudah boleh qashar shalat dilakukan. 

Nabi SAW bersabda menjelaskan hal itu :

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

"Itu adalah sedekah yang Allah berikan kepada kalian, maka terima lah sedekah itu". (HR. Muslim)

Hadits shahih ini menepis berbagai penafsiran dan spekulasi bahwa shalat qashar terbatas hanya pada situasi perang saja. Dan bahwa dalam keadaan damai pun shalat qashar tetap berlaku.

oOo

C. Masyaqqah Perjalanan di Masa Kenabian

Perjalanan di masa kenabian meski di masa damai, tetap saja ada masyaqqahnya, yaitu resiko-resiko yang nyata ketika melewati gurun tandus. 

Ada banyak ancaman untuk menjadi musafir di masa lalu, saya sudah uraikan pada tulisan sebelumnya, yaitu :

1. Tidak ada air

2. Suhu yang ekstrim

3. Berkeliarannya hewan-hewan yang mematikan

4. Ancaman bagai gurun

5. Pembegalan dan perampokan yang bisa mengakibatkan kematian, dilucutinya harta bahkan hingga dijadikan budak.

oOo

D. Masafah Bukan Masyaqqah

Masafah adalah jarak, sedangkan masyaqqah adalah tingkat kesulitan. 

Ternyata kalau kita perhatikan kesimpulan akhir para ulama di empat mazhab dalam semua kitab fiqih, keringanan qashar shalat ternyata disebabkan oleh masafah (jarak) dan bukan disebabkan oleh faktor masyaqqah (tingkat kesulitan). 

Yang jadi 'illat pada safat itu ternyata justru jaraknya. Kalau safar itu memenuhi jarak tertentu sebagaimana yang ditetapkan oleh Nabi SAW, maka safari itu membolehkan qashar. Walaupun sama sekali tidak ada kesulitan. 

Jumhur ulama dari kalangan mazhab Al-Malikiyah,  Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah umumnya sepakat bahwa minimal berjarak empat burud. 

Dasar ketentuan minimal empat burud ini ada banyak, di antaranya adalah sabda Rasulullah SAW berikut ini :

يَاأَهْلَ مَكَّةَ لاَ تَقْصُرُوا فيِ أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بَرْدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلىَ عُسْفَان

Dari Ibnu Abbas radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Wahai penduduk Mekkah, janganlah kalian mengqashar shalat bila kurang dari 4 burud, dari Mekkah ke Usfan". (HR. Ad-Daruquthuny)

Selain dalil hadits di atas, dasar dari jarak minimal 4 burud adalah apa yang selalu dilakukan oleh dua ulama besar dari kalangan shahabat, yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahuanhuma. 

Mereka berdua tidak pernah mengqashar shalat kecuali bila perjalanan itu berjarak minimal 4 burud. Dan tidak ada yang menentang hal itu dari para shahabat yang lain. 

Dalil lainnya adalah apa yang disebutkan oleh Al-Atsram, bahwa Abu Abdillah ditanya,

"Dalam jarak berapa Anda mengqashar shalat?". Beliau menjawab,"Empat burud". Ditanya lagi,"Apakah itu sama dengan jarak perjalanan sehari penuh?". 

Beliau menjawab,"Tidak, tapi empat burud atau 16 farsakh, yaitu sejauh perjalanan dua hari".

Para ulama sepakat menyatakan bahwa jarak 1 farsakh itu sama dengan 4 mil. Dalam tahkik kitab Bidayatul Mujtahid dituliskan bahwa 4 burud itu sama dengan 88,704 km . 

Meski jarak itu bisa ditempuh hanya dengan satu jam naik pesawat terbang, tetap dianggap telah memenuhi syarat perjalanan. Karena yang dijadikan dasar bukan lagi hari atau waktu, melainkan jarak tempuh.

oOo

E. Contoh Kasus

Mari kita masukkan terori masafah vs masyaqqah di atas dalam contoh kasus yang nyata. 

1. Masafah Tanpa Masyaqqah 

Kita naik kapal pesiar mewah bintang lima, tentu jauh melebihi masafah qashar. Boleh lah shalatnya kita qashar selama di kapal pesiar mewah, walaupun tidak ada masyaqqah.

Masyaqqah dari mana? 

Wong isinya penuh dengan makanan enak-enak, kamar suit-room yang lega dan luas, pelayaan 24 jam, dan suasananya bulan madu. Dan kita boleh qashar shalat.

2. Masyaqqah Tanpa Masafah 

Sebaliknya, bila jaraknya belum mencapai 4 bard (88,704 km), maka tidak boleh melakukan qashar. Walaupun selama perjalanan kita ditempa dengan tingkat kesulitan yang tinggi. 

Contohnya naik gunung Merapi di Jogja Jawa Tengah. Kegiatan naik gunung itu penuh masyaqqah. 

Tidak ada air, ada ancaman hewan buas, suhu naik turun, ancaman terkena lava atau wedhus gembel. Bahkan resiko jatuh masuk kawah dan seterusnya.

Tapi kalau diukur secara jarak, ternyata tinggi gunung itu hanya 2.900-an meter alias kurang dari 3 km. Jarak dari kota Jogja paling jauh hanya 30-an km saja kalau lewat jalur Kaliurang. 

Kalau pun berputar lewat jalur pendakian Selo, jaraknya belum sampai jarak dibolehkannya qashar.

Maka belum dibenarkan untuk qashar shalat. Karena terakhir pensyayariatannya berhenti pada masafah dan bukan pada masyaqqah.


Sumber


NOTE

Qashar shalat itu karena jarak (masafah), bukan karena tingkat kesulitan (masyaqqah).

Senin, 13 Januari 2020

Hukum Mengucapkan Lafadh Sayyidina di luar dan di dalam Sholat

Pandangan Ulama Ahlussunnah Waljama'ah


Pada gambar di atas menyatakan tidak boleh, kita hargai pendapat itu, tapi supaya adil kita hadirkan pendapat dari 4 Madzhab tentang masalah ini.
Andaipun tidak sepakat, ya tidak apa-apa juga.

Berikut kutipannya.
Dalam kitab Hasyiah Syarwani ala Tuhfatul Muhtaj li Ibni Ibni Hajar Al-Haitami, beliau Imam asy-Syarwani mengatakan:

 (قَوْلُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ) وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ ظَهِيرَةَ وَصَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ وَإِنْ تَرَدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ، وَأَمَّا حَدِيثُ «لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ» فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ وَقَوْلُ الطُّوسِيِّ أَنَّهَا مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ شَرْحُ م ر اهـ سم عِبَارَةُ شَرْحِ بَافَضْلٍ وَلَا بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ اهـ وَقَالَ الْمُغْنِي ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ اعْتِمَادُ عَدَمِ اسْتِحْبَابِهَا اهـ وَتَقَدَّمَ عَنْ شَيْخِنَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ طَلَبُ زِيَادَةِ السِّيَادَةِ وَعِبَارَةُ الْكُرْدِيِّ وَاعْتَمَدَ النِّهَايَةُ اسْتِحْبَابَ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ اعْتَمَدَهُ الزِّيَادِيُّ وَالْحَلَبِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَفِي الْإِيعَابِ الْأَوْلَى سُلُوكُ الْأَدَبِ أَيْ فَيَأْتِي بِسَيِّدِنَا وَهُوَ مُتَّجِهٌ اهـ. قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ إلَخْ يُؤْخَذُ مِنْ هَذَا مِنْ سَنِّ الْإِتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ فِي الْأَذَانِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ تَعْظِيمُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِوَصْفِ السِّيَادَةِ حَيْثُ ذَكَرَ اهـ. حاشية الشرواني على تحفة المحتاج لابن حجر الهيتمي ج ٢ / ص ٨٦.

Dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri, Syaikh Ibrahim Albajuri mengatakan:

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ

 Yang lebih utama adalah mengucapkan “sayyidina” (sebelum nama Nabi Saw), karena yang lebih utama adalah bersopan santun (kepada beliau).

Kedua ibarat di atas didasarkan kepada hadis:

قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ

Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (HR. Muslim).

Bagaimana dengan pendapat Madzhab lain?

وَذَكَرَ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ الْإِتْيَانَ بِهَا فِي الصَّلَاةِ يَنْبَنِي عَلَى الْخِلَافِ هَلْ الْأَوْلَى امْتِثَالُ الْأَمْرِ أَوْ سُلُوكُ الْأَدَبِ؟ ( قُلْت ) وَاَلَّذِي يَظْهَرُ لِي وَأَفْعَلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السَّيِّدِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69)

“Dia menyebutkan dari Syaikh Ibnu Abdissalam bahwa menambah lafad ‘Sayyid’ dalam shalat didasari perbedaan pendapat apakah yang utama mengikuti perintah Nabi atau melaksanakan etika? Saya berkata: Yang jelas bagi saya dan yang saya lakukan di dalam shalat atau lainnya adalah menyebut “Sayyid” (Mawahib al-Jalil 1/69)

وَنُدِبَ السِّيَادَةُ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ عَيْنُ سُلُوكِ الْأَدَبِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ ، ذَكَرَهُ الرَّمْلِيُّ الشَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ (رد المحتار – ج 4 / ص 91

“Dianjurkan membaca ‘Sayyid’, karena menyampaikan realitas adalah bentuk etika yang sebenarnya. Hal ini lebih utama daripada meninggalkannya. Hal itu juga disampaikan oleh Ramli al Syafii dan beberapa ulama lainnya” (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar, 4/91)

ﻭﺫﻛﺮ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﻟﺴﺨﺎﻭﻱ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺒﺪﻳﻊ ﻛﻼﻣﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ اﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69) “

Pendapat yang pertama (membaca Sayidina di luar shalat dan tidak membaca Sayidina dalam shalat) disampaikan oleh al-Hafidz as-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ dan Ibnu Muflih al-Hanbali.

Bagaimana dengan hadits yang berbunyi...

 لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.

وَحَدِيثُ { لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ } بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ
Hadits yang berbunyi "Laa Tusayyiduunii fis sholati" adalah hadits yang batil dan tidak ada asalnya. (Asna al Matholib)

Karena Dari segi gramatika Arab pun menurut KH Muhyiddin Abdusshomad Jember tidak tepat. Asal kata “Sayyid” adalah سَادَ- يَسُوْدُ bukan سَادَ-يَسِيْدُ maka yang benar adalah لَا تُسَوِّدُوْنِيْ bukan لَا تُسَيِّدُوْنِيْ.

Oleh karena itu, pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW

Disadur dari Pustaka M2HM Ensiklopedia Islam Aswaja