( Ulama nenek moyang kami mengikuti Salafush Sholeh )
Mereka mengatakan bahwa ibadah kaum muslim di negeri kita mengikuti
nenek moyang. Apakah prasangka mereka kita mengikuti kaum Hindu atau
Buddha ? Itu sama saja mereka terhasut pencintraan yang dilakukan
kolonialisme Belanda.
" Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun
dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim
delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama
berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para
utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa
tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan
pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama
penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang
Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari
negeri nan hijau ini sambil berdakwah"
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya “API SEJARAH” jilid 1 mengungkapkan.
Dengan sengaja, sejarawan Belanda pada masa pemerintah kolonial
Belanda membuat periodisasi sejarah Indonesia, memundurkan waktu
masuknya agama Islam berada jauh di belakang atau sesudah keruntuhan
kekuasaan politik Hindu atau Keradjaan Hindoe Majapahit. Dengan
berdasarkan periodisasi itu, menjadikan Islam baru dibicarakan setelah
Keradjaan Hindoe Majapahit runtuh pada 1478 M. Tidak dijelaskan pula
bahwa sejak abad ke 7 M agama Islam sudah mulai didakwahkan ajarannya
oleh para wirauswasta (pedagang) di Nusantara Indonesia. Ditambahkan,
runtuhnya Keradjaan Hindoe Madjapahit akibat serangan dari Keradjaan
Islam Demak yang dipimpin Panembahan Fatah. Mengapa demkian ?
N.A. Baloch menjawab strategi pemerintah colonial Belanda, anti Islam
dan bermotivasi divide and rule atau pecah belah untuk dikuasai melalui
salah satunya penulisan sejarah. Oleh karena itu, dalam penulisan
sejarah Indonesia bertolak dari pandangan Hindoe Sentrisme atau dari
Neerlando Sentrisme. Lebih mengutamakan sejarah Hindu Buddha atau
sejarah Belanda di Indonesia. Islam yang dijadikan dasar gerakan
perlawanan terhadap penjajahan Protestan Belanda, dinegatifkan analis
sejarahnya.
Agama Islam telah masuk ke Nusantara jauh sebelum Radja Hindoe
melakukan konversi agama menjadi penganut Islam. Pada saat itu,
sekaligus terjadi pembentukan kekuasaan politik Islam atau kesultanan.
Istilah kerajaan berubah pula menjadi kesultanan. Tidak lagi disebut
raja melainkan sebagai sultan. Raja tersebut tidak kehilangan
kekuasaannya dan tetap diakui oleh mayoritas rakyatnya sebagai sultan
yang sah.
Peristiwa ini menurut J.C. van Leur terjadi karena political motive.
Motif politik atau motivasi kekuasaan yang diwujudkan dengan konversi
agama masuk ke Islam sebagai bukti atau pengakuan para raja saat itu
bahwa Islam telah menjadi arus bawah yang kuat dan berpengaruh besar
pada lapisan masyarakat bawah. Dampaknya membentuk pandangan para
penguasa saat itu untuk menyelamatkan diri dari bencana banjir
Imperialisme Barat kecuali dengan berpihak kepada agamanya rakyat, yakni
Islam.
Begitu pula pendapat W.J. Wertheim bahwa konversi agama memeluk
agama Islam yang dilakukan oleh kalangan boepati hingga Radja di
Nusantara Indonesia, karena pengaruh rasa tidak aman dari ancaman
imperialisme Katolik Portugis maupun imperialisme Protestan Belanda atau
Inggris.
Hubungan niaga Timur Tengah, India dan Cina serta Nusantara
Indonesia, walaupun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah wafat,
11H/632 M, namun hubungan niaga tetap berlangsung antara Khulafaur
Rasyidin, 11-41 H / 632-661 M dengan negara-negara non muslim di luar
Jazirah Arabia termasuk dengan Nusantara Indonesia. Seperti yang
disejarahkan pada masa khalifah ketiga, Ustman bin Affan, 24-36
H/644-656 M mengirim utusan niaga ke Cina. Kesempatan kunjungan utusan
niaga ke Cina, dimanfaatkan untuk mengadakan kontak dagang dengan
wirausahawan di Nusantara Indonesia. Keterangan sejarahnya terdapat
dalam buku Nukhbat ad-Dahr ditulis oleh Syaikh Syamsuddin Abu Ubaidillah
Muhammad bin Thalib ad Dimsyaqi yang terkenal dengan nama Syaikh Ar
Rabwah, menjelaskan bahwa wirausahawan Muslim memasuki ke kepulauan ini
(Indonesia) terjadi pada masa khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H /
644-656 M.
Dari sumber lain, JC van Leur dalam Indonesian Trade and Society
dengan mendasarkan sumber berita Cina dari Dinasti Tang, 618-907 M
menyatakan bahwa pada 674M di pantai barat Sumater telah terdapat
settlement (hunian bangsa Arab Islam) yang menetap di sana.
Demikian pula berdasarkan keterangan Drs. Ibrahim Buchari,
berdasarkan angka tahun yang terdapat pada nisan seorang ulama, Syaikh
Mukaiddin di Baros, Tapanuli yang bertuliskan 48 Hijriah atau 670
Masehi, maka dapat dipastikan Agama Islam masuk ke Nusantara Indonesia
terjadi pada abad ke 7 Masehi atau pada abad ke 1 Hijriyah.
Begitulah hasil pengkajian Ahmad Mansur Suryanegara, jelaslah bahwa ulama terdahulu kita bukanlah kaum hindu atau budha.
Begitupula kajian Tim Kajian Kesultanan Majapahit dari Lembaga Hikmah
dan Kebijakan Publik (LHKP) Pengurus Daerah Muhammadiyah Yogyakarta
untuk melakukan kajian ulang terhadap sejarah Majapahit. Setelah sekian
lama berkutat dengan beragam fakta-data arkeologis, sosiologis dan
antropolis, maka Tim kemudian menerbitkannya dalam sebuah buku awal
berjudul Kesultanan Majapahit, Fakta Sejarah Yang Tersembunyi’.
Buku ini hingga saat ini masih diterbitkan terbatas, terutama
menyongsong Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta beberapa waktu
yang lalu. Sejarah Majapahit yang dikenal selama ini di kalangan
masyarakat adalah sejarah yang disesuaikan untuk kepentingan penjajah
(Belanda) yang ingin terus bercokol di kepulauan Nusantara.
Dalam konteks Majapahit, Belanda berkepentingan untuk menguasai
Nusantara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Untuk itu,
diciptakanlah pemahaman bahwa Majapahit yang menjadi kebanggaan
masyarakat Indonesia adalah kerajaan Hindu dan Islam masuk ke Nusantara
belakangan dengan mendobrak tatanan yang sudah berkembang dan ada dalam
masyarakat.
Apa yang diungkapkan oleh buku ini tentu memiliki bukti berupa fakta
dan data yang selama ini tersembunyi atau sengaja disembunyikan.
Beberapa fakta dan data yang menguatkan keyakinan bahwa kerajaan
Majpahit sesungguhnya adalah kerajaan Islam. Cuplikan info silahkan baca
tulisan pada http://misteri-us.blogspot.com/2010/11/kesultanan-majapahit-fakta-sejarah-yang.html
Semakin jelaslah bahwa ulama terdahulu kita bukanlah kaum hindu atau buddha.
Kita, orang tua kita, kakek buyut kita menjadi muslim merupakan peran
salah satunya adalah para Wali Songo yang merupakan Wali Allah generasi
kesembilan.
Begitupula ulama-ulama terdahulu kita antara lain, Syekh Muhammad bin
Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf
internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara,
Serang, Banten, 1815.
Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya
daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la.
Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz
(Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925
dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah
Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali
beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak
mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya,
termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu
menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di
Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara
di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab
(semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam
Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih
Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun
demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar
22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid
yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku
beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain
(diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para
mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas
membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil
tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein
bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul
baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab
hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi).
Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang
beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH
Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan
disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah
dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Contoh ulama nenek moyang kita lainnya yang menolak paham kelompok
Wahabi yang berlandaskan pemahaman Syaikh Ibnu Taimiyah adalah Syeikh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah ulama besar Indonesia yang
pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus
Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dia
memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana menjadi
guru para ulama Indonesia.
Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi,
lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera Barat, pada hari Senin 6
Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah hari Senin 8 Jumadil
Awal 1334 H (1916 M)
Awal berada di Makkah, ia berguru dengan beberapa ulama terkemuka di
sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syeikh Khatib yang diajarkan fiqih Syafi’i. Kelak
di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama besar di Indonesia, seperti
Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya Hamka;
Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi;
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung, Bukittinggi,
Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang,
Syeikh Abbas Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi,
Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang,
Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing, dan
Syeikh Hasan Maksum, Medan.
Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua
ulama yang masing-masing mendirikan organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, merupakan murid dari
Syeikh Ahmad Khatib.
Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i dalam
dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama
yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini
adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak,
ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Syeikh Ahmad Khatib al-Minankabawi menyanggah beberapa pendapat Barat
tentang kedudukan bumi, bulan dan matahari, serta peredaran
planet-planet lainnya yang beliau anggap bertentangan dengan pemikiran
sains ulama-ulama Islam yang arif dalam bidang itu.
Dalam perkembangannya, pendirian ormas Nahdatul Ulama (NU) pada
hakikatnya sebagai bentuk protes terhdapap ulama di Jazirah Arab karena
pemahaman agama mereka mulai ada ketidak sesuaian dengan ajaran agama
Islam yang aslinya. Ulama-ulama NU berupaya berpegang teguh kepada
keaslian, kemurnian ajaran Islam sehingga mereka dikenal sebagai ulama
tradisional namun pada hakikatnya adalah ulama klasik sebagaimana
keaslian ajaran agama Islam. Namun tidak kita pungkiri perlu adanya
upaya penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah) dari
pengaruh-pengaruh diluar Islam seperti paham Sekulerisme, Pluralisme,
Liberalisme yang menuhankan kebebasan dan paham Hedonisme yang
menuhankan kesenangan. Hal ini sedikit kami uraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/04/13/2011/03/03/nu-bercerminlah/
Silahkan telusurilah melalui apa yang disampaikan oleh Al Imam Al
Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin
Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh
Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al
Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang
orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar
Al Fagih Almuqoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthoriqoh dan orang
orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilallah Ahmad
bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya.
Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak
yang lembut, dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para
pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus
Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari
(bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta
tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang
mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat. Di Hadramaut
kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i,
terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum
sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan
aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor
dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan
Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang
mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan
kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi
mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah
Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah,
mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al
Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah
bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4
Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di
negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu
Rasulullah seperti Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan
Gunung Jati. Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki
yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari
empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang
memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari
perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan
dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid
jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini
menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri
lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti
orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.
Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan
Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah
Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina. Harus diakui banyak jasa
mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya
Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif
Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat
sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di
Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah
diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin
Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang
dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur
Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka
telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi
Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan
Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga
Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh
Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin
Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari
Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang
dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak
sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga
dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri
besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB,
yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat
tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai
kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
****** akhir kutipan ******
Jadi kesimpulannya mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman
Salafush Sholeh pada kenyataannya mungkin saja hanya mengikuti ulama
Muhammad bin Abdul Wahhab atau ulama Ibnu Taimiyah. Sedangkan kita yang
dituduh mengikuti nenek moyang pada kenyataannya mengikuti Khulafaur
Rasyidin lebih awal.
Untuk itulah kita harus bersyukur atas peran para ulama terdahulu
kita. Tidaklah mungkin nusantara yang luas ini mayoritas penduduknya
menjadi muslim terjadi dalam waktu sekejap.
Wassalam
Sumber