DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO

DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.

Rabu, 31 Juli 2013

Qodlo' / Qadla Fidyah Puasa



FIDYAH DAN PUASA

FIDYAH DAN PUASA

 Fidyah secara harfiah adalah harta atau semisalnya yang digunakan untuk menyelamatkan atau membebaskan tawanan atau semisalnya, dari bahaya yang mengancamnya.
Sedangkan secara istilah, fidyah adalah pengganti yang diupayakan oleh seorang mukallaf agar terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkannya.
Dalam kaitannya dengan puasa, fidyah adalah sejumlah harta yang dibayarkan oleh seseorang yang terkena beban kewajiban berpuasa (mukallaf), sebagai pengganti atau kompensasi tidak berpuasa, agar terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkannya (mengabaikan kewajiban berpuasa, sesuai ketentuannya).
Selain istilah fidyah, juga terdapat istilah kaffarat. Hubungan diantara dua istilah ini adalah, bahwa kaffaratmemiliki cakupan lebih sempit. Karena kaffarat hanya terkait dengan penggantian / kompensasi / denda yang muncul akibat perbuatan dosa. Jika fidyah dibayarkan antara lain sebagai pengganti puasa yang tidak mungkin lagi dilakukan oleh seseorang (semisal karena penyakit yang secara medis tidak mungkin sembuh), dan semacam ini bukan merupakan dosa, maka kaffarat dibayarkan oleh seseorang yang membatalkan puasa dengan sebab melakukan hubungan intim sebadan pria-wanita, dan ini adalah sebuah dosa.
Meski ketentuan fidyah tidak hanya terkait ritual ibadah puasa, namun coretan berikut membatasi pembahasan pada fidyah yang terkait dengan puasa, sebagai permasalahan yang relevan saat ini.
Menurut sebagian versi tafsir, ayat berikut adalah salah satu ayat yang dijadikan pijakan ketentuan fidyah.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿البقرة/184﴾

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)
 * NB : Ini adalah terjemah versi CD Holy Quran
 Mahallusy syahid dalam ayat di atas adalah :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Sebenarnya banyak sekali versi penafsiran dan penjelasan tentang ayat ini, termasuk juga hukum fiqhiyyah yang terkait dengannya. Artikel ini mengacu pada hukum fiqhiyyah versi Syafi’iyyah, dengan pola penalaran sejumlah tafsir. Lebih ringkasnya, setidaknya ada dua versi penjelasan atau terjemah dari penggalan ayat ini.

1.   Wajib atas orang-orang (yang sebenarnya) kuat berpuasa (tapi tidak berpuasa), untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin
2.    Wajib atas orang-orang yang (tidak) kuat berpuasa, untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin

Penjelasan Pertama

“Wajib atas orang-orang (yang sebenarnya) kuat berpuasa (tapi tidak berpuasa), untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Mu’adz bin Jabal, radliyallâhu anhu, bahwa terdapat tiga tahapan pensyari’atan puasa. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa tiga hari dalam tiap bulan, dan berpuasa hari Arafah (9 Dzulhijjah). Lalu Allah menurunkan ayat

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Tahapan kedua ini, kaum muslimin wajib berpuasa Ramadan dengan taraf kewajiban takhyîr (opsional), bisa dengan melakukan puasa bulan Ramadan, bisa pula tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Sehingga dalam tahapan ini, ayat
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

adalah benar-benar sebagai opsi pilihan bagi kaum muslimin saat itu. Hal ini terjadi selama setahun.
Lalu pada tahapan ketiga, Allah menurunkan ayat

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Sehingga orang yang mampu atau kuat melakukan puasa, wajib hukumnya melakukan puasa. Orang sakit dan musafir (syarat dan ketentuan berlaku, hehe..), boleh tidak berpuasa, tetapi wajib meng-qadla’nya di hari lain. Sedangkan bagi orang-orang yang berusia lanjut yang tidak kuat lagi berpuasa, orang-orang sakit yang secara medis tak mungkin sembuh, serta wanita hamil dan menyusui yang khawatir akan keselamatan anaknya jika dia tetap nekad berpuasa, boleh tidak berpuasa, akan tetapi wajib membayar fidyah. Khusus untuk dua orang terakhir (wanita hamil dan menyusui dengan kasus seperti ini), selain membayar fidyah, juga wajib meng-qadla’ puasa di hari lain.
Dengan demikian, ayat ini

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

di-naskh hukumnya untuk semua kaum muslimin selain orang-orang yang disebutkan di atas (lansia yang tak kuat puasa, penderita sakit tak bakal sembuh, wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya).

Penjelasan kedua

Wajib atas orang-orang yang (tidak) kuat berpuasa, untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin
 Jadi lafadh “yuthîqûna” maknanya adalah “menguat-nguatkan diri”, alias sebenarnya “tidak kuat”. Tafsir Jalalain menafsirinya dengan menyisipkan kata “” antara lafadh alladzîna dan yuthîqûnahû. Ini berpijak pada pemaknaan thâqah (mashdar / noun / kata benda dari yuthîqûna), yang diartikan sebagai “kuat dengan kepayahan”, atau “menguat-nguatkan diri”, sebawah level dari al-wus’u (الوسع), “kuat secara normal”, bukan kuat yang dipaksa-paksakan. Penafsiran ini didukung kenyataan adanya qira’ah (versi riwayat bacaan) dari riwayat Hafshah, bahwa ayat ini berbunyi

وَعَلَى الذين لا يُطِيقُونَهُ
dengan penyisipan “”.

Demikian sekilas coretan amburadul seputar tafsir ayat Al-Baqarah 184.

Siapa saja yang wajib membayar fidyah?

A.     Orang yang tidak mampu melakukan puasa, karena terlampau tua, kondisi fisik lemah, atau penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Mereka boleh tidak berpuasa, dan diharuskan menggantinya dengan pembayaran fidyah, jika : puasa menjadikannya payah di luar batas kewajaran, atau setara dengan kepayahan yang memperbolehkan tayammum, yakni :
1.      yang dapat menyebabkan kematian,
2.      hilangnya fungsi anggota tubuh, memperlambat kesembuhan, atau
3.      menambah sakit yang telah dialami.

B.     Wanita hamil atau menyusui yang khawatir atas keselamatan janinnya atau berkurang air susunya, diperbolehkan tidak berpuasa, dan menggantinya dengan fidyah 1 mud tiap harinya, selain juga wajib meng-qadla’ puasa di hari lain. Ini berbeda dengan wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena semata-mata khawatir atas keselamatan dirinya, tanpa ada kekhawatiran akan keselamatan janin dan berkurangnya air susu, maka yang wajib baginya hanya meng-qadla’ puasa yang ditinggalkannya.
C.    Orang yang membatalkan puasa demi menyelamatkan nyawa atau fungsi anggota badan orang lain, atau hewan hampir mati yang hanya bisa diselamatkan dengan cara membatalkan puasa, seperti tindak penyelamatan korban yang tenggelam (yakni dengan cara berenang yang pasti akan membatalkan puasa). Ini adalah peng-qiyas-an dari wanita hamil atau menyusui yang tidak puasa demi orang lain (yakni anaknya).
D.    Orang yang memiliki tanggungan qadla’ puasa Ramadan, dan tidak segera dilunasi, padahal pasca Ramadan hingga Ramadan lagi, dia memiliki kesempatan melunasinya (tidak dalam kondisi sakit sepanjang tahun, juga tidak bepergian sepanjang tahun). Orang semacam ini, selain wajib meng-qadla’ puasa, juga wajib membayar fidyah 1 mud untuk satu hari puasa. Jika pun sampai Ramadan ketiga belum juga dilunasi tanpa adanya udzur, maka kewajiban qadla’ puasa tetap, dan ditambah fidyah sekali lagi. Demikian seterusnya, fidyah akan berlipat dengan bertambahnya ketertundaan hingga Ramadan tahun depannya lagi.
E. Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan qadla’ puasa, disebabkan tidak segera meng-qadla’nya, padahal ada kesempatan. Atau orang yang memiliki tanggungan qadla’ karena tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa adanya udzur, dan meninggal sebelum meng-qadla’nya. Orang yang meninggal dalam keadaan semacam ini, kerabat atau orang yang mendapat izin, wajib melakukan satu diantara dua opsi
1.      membayar fidyah 1 mud untuk tiap harinya, atau
2.  qadla’ puasa yang dilakukan oleh kerabat atau orang yang mendapat izin dari yang meninggal atau kerabatnya.
 Ketentuan Fidyah
Bentuk fidyah dalam hal ini adalah memberi makanan kepada fakir miskin sejumlah 1 mud (mud adalah ukuran volume, setara dengan 679,79 gram beras putih) untuk tiap harinya. Bahan makanan yang diberikan sebagai fidyah, ketentuannya sama dengan pembayaran zakat fitrah, yakni bahan makanan pokok daerah setempat.
 Wallâhu a’lam bish-shawâb
  
Sumber:  Pustaka
1.       Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab
2.       Taqrîrât as-Sadîdah
3.       Tafsîr al-Alûsi
4.       Tafsîr al-Jalâlain

Jumat, 19 Juli 2013

Keutamaan Bulan Rojab ( RAJAB )

Bulan Rajab Dalam Islam

 Keutamaan Bulan Rojab ( RAJAB )

Bulan Rajab adalah bulan ke tujuh dari bulan hijriah (penanggalan Arab dan Islam). Peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad shalallah ‘alaih wasallam untuk menerima perintah salat lima waktu diyakini terjadi pada 27 Rajab ini.
Bulan Rajab juga merupakan salah satu bulan haram atau muharram yang artinya bulan yang dimuliakan. Dalam tradisi Islam dikenal ada empat bulan haram, ketiganya secara berurutan adalah: Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan satu bulan yang tersendiri, Rajab.
Dinamakan bulan haram karena pada bulan-bulan tersebut orang Islam dilarang mengadakan peperangan. Tentang bulan-bulan ini, Al-Qur’an menjelaskan:
“ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”
Maket Background Peringatan Rojabiyah PPDM Wonokusumo

Hukum Puasa Rajab
Ditulis oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.
Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.
Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"
Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.
Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.
Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.
Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Pon Pes Darul Muwahhidin Rutin Menyelenggarakan Peringatan Isro' Mi'roj
Dengan Acara Pengajian Umum

Hadis Keutamaan Rajab
Berikut beberapa hadis yang menerangkan keutamaan dan kekhususan puasa bulan Rajab:
Diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah shalallahu ‘alahi wassalam memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:“Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).
"Barang siapa berpuasa pada bulan Rajab sehari, maka laksana ia puasa selama sebulan, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya 7 pintu neraka Jahim, bila puasa 8 hari maka dibukakan untuknya 8 pintu surga, dan bila puasa 10 hari maka digantilah dosa-dosanya dengan kebaikan."
Riwayat al-Thabarani dari Sa'id bin Rasyid: “Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
"Sesungguhnya di surga terdapat sungai yang dinamakan Rajab, airnya lebih putih daripada susu dan rasanya lebih manis dari madu. Barangsiapa puasa sehari pada bulan Rajab, maka ia akan dikaruniai minum dari sungai tersebut".
Riwayat (secara mursal) Abul Fath dari al-Hasan, Nabi Muhammad Saw bersabda: "Rajab itu bulannya Allah, Sya'ban bulanku, dan Ramadan bulannya umatku."
Sabda Rasulullah SAW lagi : “Pada malam mi’raj, saya melihat sebuah sungai yang airnya lebih manis dari madu, lebih sejuk dari air batu dan lebih harum dari minyak wangi, lalu saya bertanya pada Jibril a.s.: “Wahai Jibril untuk siapakan sungai ini ?”Maka berkata Jibrilb a.s.: “Ya Muhammad sungai ini adalah untuk orang yang membaca salawat untuk engkau di bulan Rajab ini”.
Mengamalkan Hadis Daif Rajab
Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau kurang kuat).
Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).
Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan:
“Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”

Pustaka : PISS-KTB

RISALAH RAMADHAN

Marhaban Ya Syahro Romadlon

RISALAH RAMADHAN I : KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN

1. Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:  
Adalah Rasulullah saw memberi  khabar  gembira  kepada  para  sahabatnya dengan  bersabda,  
“Telah  datang  kepadamu  bulan  Ramadhan,  bulan  yang diberkahi.  Allah  mewajibkan  kepadamu  puasa  didalamnya;  pada  bulan  ini pintu-pintu  Surga  dibuka,  pintu-pintu  neraka  ditutup  dan  para  setan  diikat; juga  terdapat  pada  bulan  ini malam  yang  lebih  baik  daripada  seribu  bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa'.” (HR. Ahmad dan An-Nasa'i) 
2. Dari Ubadah bin AshShamit, bahwa Rasulullah bersabda:  
“Telah  datang  kepadamu  bulan  Ramadhan,  bulan  keberkahan,  Allah mengunjungimu  pada  bulan  ini  dengan  menurunkan  rahmat,  menghapus dosa-dosa  dan mengabulkan  do'a.  Allah melihat  berlomba-lombanya  kamu pada  bulan  ini  dan  membanggakanmu  kepada  para  malaikat-Nya,  maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Allah di bulan ini.” (HR.Ath-Thabrani, dan para periwayatnya terpercaya). 
Al-Mundziri berkata:  "Diriwayatkan oleh An-Nasa'i dan Al-Baihaqi, keduanya dari  Abu  Qilabah, dari Abu Hurairah, tetapi setahuku dia tidak pernah mendengar darinya."  
3. Dari  Abu  Hurairah  radhiallahu  'anhu,  bahwa  Rasulullah  shallallahu  'alahi wasallam bersabda:  
"Umatku pada bulan Ramadhan diberi lima keutamaan yang  tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu: bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di  sisi  Allah  daripada  aroma  kesturi,  para malaikat memohonkan  ampunan bagi  mereka  sampai  mereka  berbuka,  Allah  Azza Wa Jalla  setiap  hari menghiasi  Surga-Nya  lalu  berfirman  (kepada  Surga), “Hampir  tiba  saatnya para hamba-Ku yang shalih dibebaskan dari beban dan derita serta mereka menuju kepadamu, 'pada bulan ini para jin yang jahat diikat sehingga mereka tidak  bebas  bergerak seperti pada bulan lainnya, dan diberikan kepada ummatku  ampunan  pada  akhir  malam.  "Beliau ditanya, 'Wahai Rasulullah apakah malam itu Lailatul Qadar' Jawab beliau, 'Tidak. Namun orang yang beramal tentu diberi balasannya jika menyelesaikan  amalnya.'”  (HR. Ahmad)'" 
Isnad  hadits  tersebut  dha'if,  dan  di  antara  bagiannya  ada  nash-Nash  lain yang memperkuatnya.  
KEUTAMAAN PUASA
1. Dalil :  
Diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Nabi bersabda:  
“Setiap amal yang dilakukan anak Adam adalah untuknya, dan satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya bahkan sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman, ‘Kecuali  puasa, itu untuk-Ku dan Aku yang langsung membalasnya. la telah meninggalkan syahwat, makan dan minumnya karena-Ku.’ Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum daripada aroma kesturi."  
2. Bagaimana ber-taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah?  
Perlu diketahui, bahwa ber-taqarrub kepada Allah tidak dapat dicapai dengan meninggalkan  syahwat  ini  -yang  selain  dalam  keadaan  berpuasa  adalah mubah- kecuali setelah ber-taqarrub kepada-Nya dengan meninggalkan apa yang  diharamkan  Allah  dalam  segala  hal,  seperti:  dusta,  kezhaliman  dan pelanggaran  terhadap  orang  lain  dalam  masalah  darah,  harta  dan kehormatannya. Untuk itu, Nabi bersabda : 
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh dengan puasanya dari makan dan minum.” (HR. Al-Bukhari).  
Inti pernyataan  ini, bahwa  tidak  sempurna ber-taqarrub  kepada Allah Ta'ala dengan  meninggalkan  hal-hal  yang  mubah  kecuali  setelah  ber-taqarrub kepada-Nya dengan meninggalkan hal-hal yang haram.  Dengan demikian, orang yang melakukan hal-hal yang haram kemudian ber-taqarrub kepada Allah dengan meninggalkan hal-hal yang mubah, ibaratnya orang yang meninggalkan hal-hal yang wajib dan ber-taqarrub dengan hal-hal yang sunat.  
Jika seseorang dengan makan dan minum berniat agar kuat badannya dalam shalat  malam  dan  puasa  maka  ia  mendapat  pahala  karenanya. Juga  jika dengan  tidurnya  pada  malam  dan  siang  hari  berniat  agar  kuat  beramal (bekerja) maka tidurnya itu merupakan ibadah.  Jadi, orang yang berpuasa senantiasa dalam keadaan ibadah pada siang dan malam harinya.  Dikabulkan do'anya ketika berpuasa dan berbuka. Pada siang harinya ia adalah orang yang berpuasa dan sabar, sedang pada malam harinya ia adalah orang yang memberi makan dan bersyukur.  
3. Syarat mendapat pahala puasa :  
Di  antara  syaratnya,  agar  berbuka  puasa  dengan  yang  halal.  Jika  berbuka puasa dengan yang haram maka  ia  termasuk orang yang menahan diri dari yang  dihalalkan Allah dan memakan  apa  yang  diharamkan  Allah,  dan  tidak dikabulkan do'anya.   
Orang berpuasa yang berjihad :  
Perlu  diketahui  bahwa  orang  mukmin  pada  bulan  Ramadhan  melakukan  dua jihad, yaitu :  
1. Jihad untuk dirinya pada siang hari dengan puasa.  
2. Jihad pada malam hari dengan shalat malam.  
Barangsiapa  yang memadukan  kedua  jihad  ini, memenuhi  segala  hak-haknya dan  bersabar  terhadapnya,  niscaya  diberikan  kepadanya  pahala  yang  tak terhitung.

Pustaka : PISS-KTB

Rabu, 17 Juli 2013

Madzhab Dalam Islam II

MADZHAB DALAM ISLAM II

4 MADZHAB DALAM ISLAM
Bermazhab atau mengaji (bertalaqqi) pada ulama bermazhab adalah  kebutuhan bagi kaum muslim yang hidup pada zaman ini. Salah satu alasannya adalah dikarenakan hadits yang telah dibukukan hanyalah sebagian saja dan sebagian lagi dalam bentuk hafalan, dimana para penghafal hadits tersebut sudah tidak dapat kita temukan lagi.
Syarat sebagi seorang mujtahid untuk menyampaikan kepada khalayak ramai adalah mengetahui dan memahami seluruh ayat-ayat Al Qur’an dan seluruh hadits karena keseluruhannya saling terkait.
Walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-orang yang berkompeten (ahlinya).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Pada hakikatnya kita diperintahkan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul shallallahu alaihi wasallam, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,
Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaikannya.
Hal yang akan dipertanyakan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaikan / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulama terdahulu yang mengatakan hal itu ?
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaikan secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallahu alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenankan menyampaikan apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, sebaiknyalah kita bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab. Tidak boleh kita memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).
Para ulama telah menyampaikan bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak)  melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminya dengan akal pikiran sendiri, kemungkinan besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihillah Bikholqihi , penyerupaan Allah dengan makhluq Nya
Begitupula Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan matan/redaksi hadits dari lisan Rasulullah.
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifikasi atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah.
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Al Imam Syafi’i ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatkan penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
Salah satu cara mempertahankan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentingan.
Marilah kita tegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mengikuti pemahaman / pendapat Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para ulama pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/01/01/tegakkan-ukhuwah-islamiyah/
Marilah memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab ditambah dengan mutho’laah (menelaah) kitab-kitab Imam Mazhab dan para pengikutnya.
Ikutilah Imam Mazhab yang telah disepakati dalam suatu wilayah / negara agar mudah saling belajar dan saling mengingatkan.
Di negara kita, pada umumnya adalah bermazhab Imam Syafi’i .
Imam Syafi”i ~rahimahullah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertalaqqi (mengaji) langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah,  pindah ke Yaman, pindah ke Iraq,  pindah ke Persia,  kembali lagi ke Makkah, dari sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa perpindahan beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-hadits, untuk pengetahuan agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahullah  lebih banyak mendapatkan hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahullah dan Imam Maliki ~rahimahullah
Namun dalam hal menetapkan perkara kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa, menetapkan perkara larangan yang jika dilanggar berdosa dan menetapkan perkara pengharaman yang jika dilanggar berdosa atau membuat fatwa atau menetapkan penegakkan hukum syari’ah maka sebaiknya tetap memperbandingkan pendapat antara Imam Mazhab yang empat. Oleh karenanya pada perguruan tinggi Islam, fakultas syari’ah diperlukan jurusan  perbandingan mazhab dan hukum.
Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/pendapat Imam Mazhab yang empat adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaimana contoh yang terurai dalam tulisan padahttp://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/10/30/hukum-penutup-muka/
Imam Mazhab yang empat,  mereka bermazhab pada Rasululllah melalui bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh . Jadi, kita mengikuti Imam Mazhab yang empat  dengan bertalaqqi (mengaji)  pada ulama bermazhab artinya bermazhab kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Sedangkan mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh , kenyataannya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh. Mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman terhadap lafaz/perkataan Salafush Sholeh dengan akal pikiran mereka sendiri. Sehingga boleh dikatakan mereka bermazhab dengan akal pikiran mereka sendiri atau dengan kata lain mereka telah menjadikan akal pikirannya sendiri sebagai berhala atau yang disebut menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi)
Hal yang harus kita ingat selalu janganlah menjadikan akal pikiran kita sebagai berhala
Allah Azza wa Jalla berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه »
Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ” mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Mereka yang mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggalkan berdosa) atau sebaliknya, yang tidak diharamkan menjadi haram (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya dan yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjakan berdosa) atau sebaliknya adalah yang disebut sebagai ahli bid’ah.
Oleh karenanya ahli bid’ah termasuk pelaku perbuatan syirik, karena penyembahan kepada selain Allah, penyembahan diantara pembuat bid’ah (perkara baru) dengan pengikutnya,  perbuatan yang tidak ada ampunannya.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
Sesungguhnya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahihah No. 1620]
Mereka yang tanpa disadari telah mengada-ada dalam perkara agama, mengada-ada dalam perkara perintah dan larangan berdasarkan akal pikiran mereka sendiri. Agama adalah perintahNya dan laranganNya
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Mereka terjerumus kedalam kekufuran disebabkan antara lain,
1. Tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah, mengada-ada atau membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara larangan maupun kewajiban yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkanNya.
2. Terjerumus kekufuran dalam i'tiqod
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiapa memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan dzahir ayat dan hadis mutasyabihat, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran”.
Begitupula peringatan yang disampaikan oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’allim Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi).
Mereka terjerumus dalam kekufuran sehingga menjadi musyrik, dan mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )
Jadi kalau mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahadat atau memerangi manusia yang telah bersyahadat maka boleh jadi telah menjadi musyrik karena terjerumus kedalam kekufuran.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).
Firman Allah Azza wa Jalla,
“wai’tashimuu bihabli allaahi jamii’an walaa tafarraquu waudzkuruu ni’mata allaahi ‘alaykum idz kuntum a’daa-an fa-allafa bayna quluubikum fa-ashbahtum bini’matihi ikhwaanan“
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah, dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-musuhan maka Dia (Allah) menjinakkan antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara” (QS Ali Imron [3]: 103)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara”. ( Qs. Al-Hujjarat :10)
“Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Diriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian saling mencintai.” (HR Muslim)
Wassalam
By : Zon Jonggol
Source Piss-KTB