FIDYAH DAN PUASA |
FIDYAH DAN PUASA
Fidyah secara harfiah adalah harta atau semisalnya yang
digunakan untuk menyelamatkan atau membebaskan tawanan atau semisalnya, dari
bahaya yang mengancamnya.
Sedangkan secara istilah, fidyah adalah pengganti yang diupayakan oleh
seorang mukallaf agar
terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkannya.
Dalam kaitannya dengan puasa, fidyah adalah sejumlah harta yang dibayarkan oleh
seseorang yang terkena beban kewajiban berpuasa (mukallaf), sebagai pengganti atau kompensasi tidak
berpuasa, agar terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkannya (mengabaikan
kewajiban berpuasa, sesuai ketentuannya).
Selain istilah fidyah, juga terdapat istilah kaffarat. Hubungan diantara dua istilah ini adalah,
bahwa kaffaratmemiliki
cakupan lebih sempit. Karena kaffarat hanya
terkait dengan penggantian / kompensasi / denda yang muncul akibat perbuatan
dosa. Jika fidyah dibayarkan
antara lain sebagai pengganti puasa yang tidak mungkin lagi dilakukan oleh
seseorang (semisal karena penyakit yang secara medis tidak mungkin sembuh), dan
semacam ini bukan merupakan dosa, maka kaffarat dibayarkan
oleh seseorang yang membatalkan puasa dengan sebab melakukan hubungan intim
sebadan pria-wanita, dan ini adalah sebuah dosa.
Meski ketentuan fidyah tidak hanya
terkait ritual ibadah puasa, namun coretan berikut membatasi pembahasan
pada fidyah yang
terkait dengan puasa, sebagai permasalahan yang relevan saat ini.
Menurut sebagian versi tafsir, ayat
berikut adalah salah satu ayat yang dijadikan pijakan ketentuan fidyah.
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ
عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ
فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ
تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿البقرة/184﴾
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu.
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya
(jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang
miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka
itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)
* NB : Ini adalah terjemah
versi CD Holy Quran
Mahallusy syahid dalam ayat di atas adalah :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ
Sebenarnya banyak sekali versi
penafsiran dan penjelasan tentang ayat ini, termasuk juga hukum fiqhiyyah yang
terkait dengannya. Artikel ini mengacu pada hukum fiqhiyyah versi Syafi’iyyah,
dengan pola penalaran sejumlah tafsir. Lebih ringkasnya, setidaknya ada dua
versi penjelasan atau terjemah dari penggalan ayat ini.
1. Wajib atas orang-orang (yang sebenarnya) kuat berpuasa (tapi tidak berpuasa), untuk membayar fidyah,
yakni memberi makan fakir miskin
2.
Wajib atas orang-orang yang (tidak) kuat berpuasa, untuk membayar
fidyah, yakni memberi makan fakir miskin
Penjelasan Pertama
“Wajib atas orang-orang (yang
sebenarnya) kuat berpuasa (tapi
tidak berpuasa), untuk membayar fidyah, yakni memberi makan
fakir miskin”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari
Abdurrahman bin Abi Laila, dari Mu’adz bin Jabal, radliyallâhu anhu, bahwa terdapat tiga tahapan
pensyari’atan puasa. Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam pernah berpuasa tiga hari dalam tiap bulan,
dan berpuasa hari Arafah (9 Dzulhijjah). Lalu Allah menurunkan ayat
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Tahapan kedua ini, kaum muslimin wajib
berpuasa Ramadan dengan taraf kewajiban takhyîr (opsional),
bisa dengan melakukan puasa bulan Ramadan, bisa pula tidak berpuasa dan
menggantinya dengan membayar fidyah. Sehingga dalam tahapan ini, ayat
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ
adalah benar-benar sebagai opsi pilihan
bagi kaum muslimin saat itu. Hal ini terjadi selama setahun.
Lalu pada tahapan ketiga, Allah menurunkan
ayat
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ
الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ
شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Sehingga orang yang mampu atau kuat
melakukan puasa, wajib hukumnya melakukan puasa. Orang sakit dan musafir
(syarat dan ketentuan berlaku, hehe..), boleh tidak berpuasa, tetapi wajib
meng-qadla’nya di hari
lain. Sedangkan bagi orang-orang yang berusia lanjut yang tidak kuat lagi
berpuasa, orang-orang sakit yang secara medis tak mungkin sembuh, serta wanita
hamil dan menyusui yang khawatir akan keselamatan anaknya jika dia tetap nekad
berpuasa, boleh tidak berpuasa, akan tetapi wajib membayar fidyah. Khusus untuk
dua orang terakhir (wanita hamil dan menyusui dengan kasus seperti ini), selain
membayar fidyah, juga wajib meng-qadla’ puasa
di hari lain.
Dengan demikian, ayat ini
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ
طَعَامُ مِسْكِينٍ
di-naskh hukumnya
untuk semua kaum muslimin selain orang-orang yang disebutkan di atas (lansia
yang tak kuat puasa, penderita sakit tak bakal sembuh, wanita hamil dan
menyusui yang mengkhawatirkan anaknya).
Penjelasan kedua
Wajib atas orang-orang yang (tidak) kuat berpuasa, untuk membayar
fidyah, yakni memberi makan fakir miskin
Jadi lafadh “yuthîqûna” maknanya adalah “menguat-nguatkan diri”,
alias sebenarnya “tidak kuat”. Tafsir Jalalain menafsirinya dengan menyisipkan
kata “lâ” antara
lafadh alladzîna dan yuthîqûnahû. Ini berpijak pada pemaknaan thâqah (mashdar / noun / kata benda dari yuthîqûna), yang diartikan sebagai “kuat dengan
kepayahan”, atau “menguat-nguatkan diri”, sebawah level dari al-wus’u (الوسع),
“kuat secara normal”, bukan kuat yang dipaksa-paksakan. Penafsiran ini didukung
kenyataan adanya qira’ah (versi
riwayat bacaan) dari riwayat Hafshah, bahwa ayat ini berbunyi
وَعَلَى الذين لا يُطِيقُونَهُ
dengan penyisipan “lâ”.
Demikian sekilas coretan amburadul
seputar tafsir ayat Al-Baqarah 184.
Siapa saja yang wajib membayar fidyah?
A.
Orang yang tidak mampu melakukan puasa, karena terlampau tua,
kondisi fisik lemah, atau penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Mereka
boleh tidak berpuasa, dan diharuskan menggantinya dengan pembayaran fidyah, jika : puasa menjadikannya payah di luar batas
kewajaran, atau setara dengan kepayahan yang memperbolehkan tayammum, yakni :
1.
yang dapat menyebabkan kematian,
2.
hilangnya fungsi anggota tubuh, memperlambat kesembuhan, atau
3.
menambah sakit yang telah dialami.
B.
Wanita hamil atau menyusui yang khawatir atas keselamatan
janinnya atau berkurang air susunya, diperbolehkan tidak berpuasa, dan
menggantinya dengan fidyah 1 mud
tiap harinya, selain juga wajib meng-qadla’ puasa
di hari lain. Ini berbeda dengan wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa
karena semata-mata khawatir atas keselamatan dirinya, tanpa ada kekhawatiran
akan keselamatan janin dan berkurangnya air susu, maka yang wajib baginya hanya
meng-qadla’ puasa
yang ditinggalkannya.
C.
Orang yang membatalkan puasa demi menyelamatkan nyawa atau
fungsi anggota badan orang lain, atau hewan hampir mati yang hanya bisa
diselamatkan dengan cara membatalkan puasa, seperti tindak penyelamatan korban
yang tenggelam (yakni dengan cara berenang yang pasti akan membatalkan puasa).
Ini adalah peng-qiyas-an dari wanita hamil atau menyusui yang tidak puasa demi
orang lain (yakni anaknya).
D.
Orang yang memiliki tanggungan qadla’ puasa Ramadan, dan tidak segera dilunasi,
padahal pasca Ramadan hingga Ramadan lagi, dia memiliki kesempatan melunasinya
(tidak dalam kondisi sakit sepanjang tahun, juga tidak bepergian sepanjang
tahun). Orang semacam ini, selain wajib meng-qadla’ puasa, juga wajib membayar
fidyah 1 mud untuk satu hari puasa. Jika pun sampai Ramadan ketiga belum juga dilunasi
tanpa adanya udzur, maka kewajiban qadla’ puasa
tetap, dan ditambah fidyah sekali lagi. Demikian seterusnya, fidyah akan
berlipat dengan bertambahnya ketertundaan hingga Ramadan tahun depannya lagi.
E. Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan qadla’ puasa, disebabkan tidak segera meng-qadla’nya, padahal ada kesempatan. Atau orang yang
memiliki tanggungan qadla’ karena
tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa adanya udzur, dan meninggal sebelum meng-qadla’nya. Orang yang meninggal dalam keadaan semacam
ini, kerabat atau orang yang mendapat izin, wajib melakukan satu diantara dua
opsi
1.
membayar fidyah 1 mud untuk tiap harinya, atau
2. qadla’ puasa yang dilakukan oleh kerabat atau orang yang mendapat
izin dari yang meninggal atau kerabatnya.
Ketentuan Fidyah
Bentuk fidyah dalam hal ini adalah memberi makanan
kepada fakir miskin sejumlah 1
mud (mud adalah ukuran volume, setara dengan 679,79 gram beras
putih) untuk tiap harinya. Bahan makanan yang diberikan sebagai fidyah, ketentuannya sama dengan pembayaran zakat
fitrah, yakni bahan makanan pokok daerah setempat.
Wallâhu a’lam bish-shawâb
Sumber: Pustaka
1.
Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab
2.
Taqrîrât as-Sadîdah
3.
Tafsîr al-Alûsi
4.
Tafsîr al-Jalâlain