DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO

DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.

Minggu, 06 Oktober 2013

Kesempurnaan Agama Islam

(QS Al-Maaidah: [5] : 3) Dengan Latar Belakang Masjid Darul Muwahhidin Tampak Dari Gerbang Utama
Pengertian Kesempurnaan Agama Islam

Firman Allah ta’ala dalam QS Al-Maaidah: [5] : 3 :

(الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا)

 
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islamitu jadi agama bagimu”


Ibnu Katsir ketika mentafsirkan (QS. al-Maidah [5]:3) berkata, “Tidak ada sesuatu yang halal melainkan yang Allah halalkan, tidak ada sesuatu yang haram melainkan yang Allah haramkan dan tidak ada agama kecuali perkara yang disyariatkan-Nya.”

Imam Jalaluddin As Suyuti dalam kitab tafsir Jalalain ketika mentafsirkan “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu” yakni hukum-hukum halal maupun haram yang tidak diturunkan lagi setelahnya hukum-hukum dan kewajiban-kewajibannya.

Rasulullah Shallallau ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa-apa yang Allah halalkan dalam kitabNya adalah halal, dan apa-apa yang diharamkan dalam kitabNya adalah aram, dan apa-apa yang didiamkanNya adalah dibolehkan. Maka, terimalah kebolehan dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak lupa terhadap segala sesuatu.” Kemudian beliau membaca (Maryam: 64): “Dan tidak sekali-kali Rabbmuitu lupa.” (HR. Al Hakim dari Abu Darda’, beliau menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Al Bazzar)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Orang muslim yang paling besar dosanya (kejahatannya) terhadap kaum muslimin lainnya adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang sebelumnya tidak diharamkan (dilarang) bagi kaum muslimin, tetapi akhirnya sesuatu tersebut diharamkan (dilarang) bagi mereka karena pertanyaannya.” (HR Bukhari 6745, HR Muslim 4349, 4350)

Kesimpulannya, yang dimaksud dengan “telah sempurna agama Islam” adalah telah sempurna atau telah tuntas segala laranganNya, apa yang telah diharamkanNya dan apa yang telah diwajibkanNya, selebihnya adalah perkara yang dibolehkanNya atau selebihnya hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Firman Allah ta’ala yang artinya “dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS Maryam[19]:64)

Semua kewajiban dan larangan bersumber dari Allah Azza wa Jalla dan disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan hasil akal pikiran manusia.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani).

Jadi inti dari agama adalah perintahNya dan laranganNya

Apa pun yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah perintahNya dan begitupula apa pun yang dilarang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hakikatnya adalah laranganNya

Rasulullah mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Dari Miqdam bin Ma’dikariba Ra. ia berkata: Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda; “Hampir tiba suatu zaman di mana seorang lelaki yang sedang duduk bersandar di atas kursi kemegahannya, lalu disampaikan orang kepadanya sebuah hadits dari haditsku maka ia berkata: “Pegangan kami dan kamu hanyalah kitabullah (Al-Qur’an) saja. Apa yang dihalalkan oleh Al-Qur’an kami halalkan. Dan apa yang ia haramkan kami haramkan”. (Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabdanya): “Padahal apa yang diharamkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam samalah hukumnya dengan apa yang diharamkan Allah Subhanhu wa Ta’ala”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada beberapa perkara yakni PerintahNya dan LaranganNya serta selebihnya adalah perkara mubah (boleh).

Segala perkara terkait dengan dosa adalah merupakan hak Allah Azza wa Jalla untuk menetapkannya atau mensyariatkannya bagi manusia agar terhindar dari dosa atau terhindar dari siksaan api neraka.

Perkara yang terkait dengan dosa adalah

1. Segala perkara yang jika ditinggalkan berdosa (kewajiban)

2. Segala perkara yang jika dilanggar atau dikerjakan berdosa (larangan dan segala apa yang telah diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla)

PerintahNya meliputi perkara wajib yakni perkara yang jika ditinggalkan berdosa dan perkara sunnah (mandub) yakni perkara yang jika dikerjakan berpahala dan jika dtinggalkan tidak berdosa atau tidak apa apa

LaranganNya meliputi perkara haram yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar berdosa dan perkara makruh yakni perkara yang jika dikerjakan atau dilanggar tidak berdosa atau dibenciNya dan jika ditinggalkan berpahala.

Selebihnya adalah perkara mubah (boleh) yakni perkara yang tidak diperintahkanNya maupun tidak dilarangNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla membawa risalah atau agama atau perkara yang disyariatkanNya yakni apa yang telah diwajibkanNya (jika ditinggalkan berdosa), apa yang telah dilarangNya dan apa yang telah diharamkanNya (jika dilanggar berdosa) dan selebihnya adalah apa yang telah dibolehkanNya. Allah ta’ala tidak lupa.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban (ditinggalkan berdosa), maka jangan kamu sia-siakan dia; dan Allah telah memberikan beberapa larangan (dikerjakan berdosa), maka jangan kamu langgar dia; dan Allah telah mengharamkan sesuatu(dikerjakan berdosa), maka jangan kamu pertengkarkan dia; dan Allah telah mendiamkan beberapa hal sebagai tanda kasihnya kepada kamu, Dia tidak lupa, maka jangan kamu perbincangkan dia.” (Riwayat Daraquthni, dihasankan olehan-Nawawi)

Jelaslah kewajiban dan larangan adalah perkara syariat atau urusan agama sehingga orang yang menyatakan kewajiban atau larangan tanpa dasar dari Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk orang yang membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa perkara baru (bid’ah) dalam perkara syariat atau perkara baru (bid’ah) dalam urusan agama yakni mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya, melarang yang sebenarnya tidak dilarang Nya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya adalah tertolak atau terlarang

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Telah menceritakan kepada kami Ya’qub telah menceritakan kepada kami Ibrahimbin Sa’ad dari bapaknya dari Al Qasim bin Muhammad dari ‘Aisyah radliallahu‘anha berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya (tidak diturunkan keterangan padanya) maka perkara itu tertolak.” (HR Bukhari 2499)

Imam Malik berkata: “Barangsiapa yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”

Berikut contoh riwayat yang menjelaskan perkataan Imam Malik di atas

Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”

Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.

Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”

Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.

Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”

Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.

Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”

Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?”

Begitupula kita tidak boleh sholat subuh tiga rakaat walaupun menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).

Sedangkan Azan dalam sholat ied tidak boleh walaupun menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih

اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ

“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”

Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.

Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.

Jadi terlarang mengangap baik sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya sebaliknya terlarang menganggap buruk sesuatu menurut akal pikiran sendiri sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya.

Oleh karenanya para mufti yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu berhati-hati dalam berijtihad dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) agar tidak menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu sehingga melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Untuk itulah setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat para mufti selalu merujuk kepada pendapat Imam Mazhab yang empat karena jumhur ulama telah sepakat dari dahulu sampai sekarang bahwa Imam Mazhab yang empat diakui kompetensinya sebagai Imam Mujtahid Mutlak sehingga menjadi pemimpin atau imam ijtihad dan istinbat kaum muslim sampai akhir zaman.

Para Imam Mujtahid dalam beristinbat menghindari metodologi istinbat (menetapkan hukum perkara) seperti al-Maslahah al-Mursalah atau Al-Istislah atau istihsan yakni “Menetapkan hukum suatu masalah yang tak ada nash-nya atau tidak ada ijma’ terhadapnya, dengan berdasarkan pada kemaslahatan semata yang oleh syara’ (dalam Al Qur’an dan As Sunnah) tidak dijelaskan ataupun dilarang”

Metode istinbat, al maslahah-mursalah atau istislah atau istihsan pertama kali diperkenalkan oleh Imam Malik ra (W. 97 H.), pendiri mazhab Malik namun pada akhirnya beliau meninggalkannya. Sejak setelah abad ketiga hijriyah tidak ada lagi ahli usul fiqih yang menisbatkan maslahahmursalah kepada Imam Malik ra.

Menurut Imam Syafi’i, al-Istihsan itu sekali-kali bukan dalil syar’i. Beliau menganggap orang yang menggunakan al-Istihsan sama dengan menetapkan syari’at berdasarkan hawa nafsu atau berdasarkan pendapat sendiri yang mungkin benar dan mungkin pula salah.

Ibnu Hazm termasuk salah seorang uluma yang menolak al-Istihsan. Beliau menganggap bahwa al-Istihsan itu menganggap baik terhadap sesuatu menurut hawa nafsunya, dan itu bisa benar dan bisa pula salah, misalnya mengharamkan sesuatu tanpa dalil.

Firman Allah Azza wa Jalla yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkanpadaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)

Kaum Nasrani melampaui batas (ghuluw) dalam beragama tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya namun mereka melampaui batas (ghuluw) dalam beragama karena mereka melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya, mengharamkan yang sebenarnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

Firman Allah ta’ala yang artinya , “Kemudian Kami iringi di belakang mereka dengan rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik. (QS. al Hadid [57]: 27)

Hal yang dimaksud dengan Rahbaaniyyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara. Kaum Nasrani melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya

Para Sahabat juga hampir melakukan tindakan ghuluw (melampaui batas) dalam beragama seperti

1. Mewajibkan dirinya untuk terus berpuasa dan melarang dirinya untuk berbuka puasa

2. Mewajibkan dirinya untuk sholat (malam) dan melarang dirinya untuk tidur

3. Melarang dirinya untuk menikah

Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegur dan mengkoreksi mereka dengan sabdanya yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )

Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“

Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)

Jadi jelaslah pelaku bid’ah dalam urusan agama adalah orang-orang yang melampaui batas (ghuluw) dalam beragama yakni orang-orang yang melarang yang tidak dilarangNya, mengharamkan yang tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkanNya akan masuk neraka karena mereka menjadikan ulama-ulama mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah.

Begitupula  kita tidak dapat melarang suatu perbuatan dengan perkataan manusia seperti “Lau Kaana Khairan Lasabaquunaa ilaihi” (kalau sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Sahabat telah mendahului kita mengamalkannya) karena perkataan tersebut bukan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bukan pula sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Amal kebaikan tidak sebatas hanya apa yang telah dilakukan oleh para Sahabat.

Perkara yang ditinggalkan bagi kaum muslim hanya tiga perkara yakni perkara haram , perkara makruh dan perkara syubhat (perkara yang meragukan)

Hal yang harus kita ingat selalu bahwa perkara muhdats (bid’ah) dalam perkara muamalah dan kebiasaan (adat) selama tidak melanggar satupun laranganNya, hukum asalnya adalah mubah (boleh)

Pada hakikatnya segala sesuatu pada dasarnya mubah (boleh).

Maksud dari prinsip ini adalah bahwa hukum asal dari segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah halal dan mubah.
Tidak ada yang haram kecuali apa-apa yang disebutkan secara tegas oleh nash yang shahih sebagai sesuatu yang haram. Dengan kata lain jika tidak terdapat nash yang shahih atau tidak tegas penunjukan keharamannya, maka sesuatu itu tetaplah pada hukum asalnya yaitu mubah (boleh)

Kaidah ini disandarkan pada firman Allah subhanahu wa ta’la

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]:29)

“Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah [45]:13)

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin…” (QS. Luqman [31]:20)

Ayat-ayat di atas menegaskan bahwa segala apa yang ada di muka bumi seluruhnya adalah nikmat dari Allah yang diberikan kepada manusia sebagai bukti kasih sayang-Nya.

Dia hanya mengharamkan beberapa bagian saja, itu pun karena hikmah tertentu untuk kebaikan manusia itu sendiri. Dengan demikian wilayah haram dalam syariat Islam itu sangatlah sempit, sedangkan wilayah halal sangatlah luas.

Begitupula kaidah yang serupa berbunyi,

Laa tusyro’u ‘ibadatun illaa bi syar’illah, wa laa tuharramu ‘adatun illaa bitahriimillah…

“Tidak boleh dilakukan suatu ibadah (mahdhah) kecuali yang disyariatkan oleh Allah; dan tidak dilarang suatu muamalah atau kebiasaan atau adat (ibadah ghairu mahdah) kecuali yang diharamkan oleh Allah.”

Jadi sesuatu perkara yang tidak dilakukan, dicontohkan atau disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum tentu bid’ah dholalah selama perkara tersebut termasuk ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah atau kebiasaan (adat) dan tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.

Kebiasaan adalah suatu sikap atau perbuatan yang sering dilakukan

Muamalah adalah secara bahasa sama dengan kata (mufa'alatan) yang artinya saling bertindak atau saling mengamalkan. Jadi muamalah pada hakikatnya adalah kebiasaan yang saling berinteraksi sehingga melahirkan hukum atau urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata dsb)

Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang sering dilakukan dalam suatu masyarakat.

Dalam ushul fiqih landasan semua itu dikenal dengan Urf

Firman Allah ta'ala yang artinya

Jadilah engakau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (al-‘urfi), serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (QS. Al-A’raf [7]:199)

Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, dimana umat manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.

Dari segi objeknya ‘Urf dibagi kepada : al-‘urf al-lafzhi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) dan al-‘urf al-amali ( kebiasaan yang berbentuk perbuatan).

Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan yang bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).

Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’, ‘urf terbagi dua; yaitu al’urf al-shahih ( kebiasaan yang dianggap sah) dan al-‘urf al-fasid ( kebiasaan yang dianggap rusak).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa ‘urf al-shahih, yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’ atau kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya atau kebiasaan yang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah.

Perkara baru (bid’ah) dalam perkara ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan atau adat pun, jika menyalahi laranganNya atau jika bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka termasuk bid’ah yang sayyiah alias bid’ah dholalah.

Berikut pendapat Imam Syafi’i ra

قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ، وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج     )

Artinya ; Imam Syafi’i ra berkata –Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah bid’ah yang sesat (bid’ah dholalah). Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah bid’ah yang terpuji (bid’ah mahmudah atau bid’ah hasanah), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)

Ibn Hajar al-’Asqalani dalam kitab Fath al-Bari menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ     .

“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi’ah menurut tahqiq para ulama adalah bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong hal yang buruk dalam syara’ berarti termasuk bid’ah yang buruk” (Fath al-Bari, j. 4, hlm. 253).

Contoh perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah yang meliputi muamalah, kebiasaan atau adat adalah

1. Kebiasaan memberikan sedakah kepada anak yatim setiap hari Jum’at sebelum sholat Jum’at bukanlah perkara terlarang karena tidak menyalahi satupun laranganNya

2. Kebiasaan membaca surah al Ikhlas setiap rakaat kedua

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)

Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”

3. Kebiasaan menjaga wudhu

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada Bilal ketika shalat Shubuh: “Hai Bilal, katakanlah Kepadaku apakah amalanmu yang paling besar pahalanya yang pernah kamu kerjakan dalam Islam, karena tadi malam aku mendengar derap sandalmu di dalam surga? ‘ Bilal menjawab; ‘Ya Rasulullah, sungguh saya tidak mengerjakan amal perbuatan yang paling besar pahalanya dalam Islam selain saya bersuci dengan sempurna, baik itu pada waktu malam ataupun siang hari. lalu dengannya saya mengerjakan shalat selain shalat yang telah diwajibkan Allah kepada saya.” (HR Muslim 4497)

4. Kebiasaan Imam Syafi’i bersholawat dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Al- Mazani bertutur sebagai berikut: Saya bermimpi melihat Imam Al-Syafi’i. Lalu saya bertanya pada beliau, “Apa yang telah diperbuat Allah terhadap diri Anda?”

Beliau menjawab, Allah telah mengampuni diriku berkat shalawat yang aku cantumkan di dalam kitab Al-Risalah, yaitu: Allahumma shalli ‘ala Muhammadin kullama dzakaraka al-Dzakiruna wa Shalli ‘ala Muhammadin kullama ghafala ‘an dzikrik al-Ghafiluna.”

Jadi boleh kita membuat sholawat sebagaimana kita ingin mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selama matan atau redaksi sholawat tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah

5. Kebiasaan sedekah tahlil (tahlilan)

Sedekah tahlil atau tahlilan disampaikan oleh para ulama yang sholeh dari keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Wali Songo

Sebelum kedatangan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dalam tradisi lama, bila ada orang meninggal, maka sanak famili dan tetangga berkumpul di rumah duka. Mereka bukannya mendoakan mayit tetapi begadang dengan bermain judi atau mabuk-mabukan atau ke-riang-an lainnya.

Para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait mengajarkan nilai-nilai Islam secara luwes dan tidak secara frontal menentang tradisi Hindu yang telah mengakar kuat di masyarakat, namun membiarkan tradisi “berkumpul di rumah duka” berjalan, hanya saja diisi dengan kegiatan yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits serta mendatangkan manfaat bagi ahli kubur, keluarga ahli kubur dan para pembaca tahlil.

Sedekah tahlil (tahlilan) adalah sedekah atas nama ahli kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan para tamu berdoa untuk ahli kubur dan bersedekah atas nama ahli kubur dengan pembacaan Al Baqarah (1-5,163,255,284-286) , Al Ahzab (33,56), Al Fatihah, surah Yasin, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Sholawat, Istighfar, Tasbih, Tahlil dan lain lain

Sedekah tahlil (tahlilan) bisa dilakukan kapan saja mau hari ke 3,7,40,100,1000 tidak ada masalah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan bersedekah walaupun sebutir kurma , apalagi melebihi sebutir kurma

“Shodaqohlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma“. (HR. Al Bukhori)

Sedekah tahlil (tahlilan) hukum asalnya adalah boleh, menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa menimbulkan bahaya atasnya.

Begitupula dengan pendapat Imam Asy Syafi’i berkata dalam Al Umm (I/318) ”Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan.”

Makna sebenarnya ma’tam adalah perkumpulan ratapan dan tangisan. Orang orang Jahiliyah jika ada yg mati di keluarga mereka maka mereka membayar para “penangis” untuk meratap dirumah mereka, semacam adat istiadat mereka seperti itu, memang sudah ada orangnya yang bertugas dan dibayar. Perkumpulan ratapan dan tangisan yang tidak disukai oleh Imam Syafii, dan tentunya Imam Syafii mengetahui bahwa hal itu buruk dan dimasa beliau masih ada sisa sisanya yaitu tidak meratap dan menjerit-menjerit, tapi disebut perkumpulan duka, namun beliau tak menjatuhkan hukum haram, akan tetapi makruh, karena ma’tam yg ada dimasa beliau sudah jauh berbeda dg ma’tam yg dimasa Jahiliyah, karena jika ma’tam yg dimasa jahiliyah sudah jelas jelas haram, dan beliau melihat dimasa beliau masih ada sisa sisa perkumpulan tangisan dirumah duka, maka beliau memakruhkannya

Hal yang harus kita ingat bahwa kalimat “benci/membenci” pada lafadh para muhadditsin yg dimaksud adalah “Kariha/yakrahu/Karhan” yg berarti Makruh.

Makruh mempunyai dua makna, yaitu :makna bahasa dan makna syariah. Makna makruh secara bahasa adalah benci, makna makruh dalam syariah adalah hal hal yg jika dikerjakan tidak mendapat dosa, dan jika ditinggalkan mendapat pahala.

Dalam istilah para ahli hadits jika bicara tentang suatu hukum, maka tak ada istilah kalimat benci, senang, ngga suka, hal itu tak ada dalam fatwa hukum, namun yg ada adalah keputusan hukum, yaitu haram, makruh, mubah, sunnah, wajib

Jika ada fatwa para Imam dalam hukum, tidak ada istilah benci/suka, tapi hukumlah yg disampaikan, maka jelas sudah makna ucapan imam syafi’i itu adalah hukumnya, yaitu makruh, bukan haram

Jika mereka menetapkan hukum pastilah diikuti dengan dalil dari Al-Qur’an maupun Hadits.

Ke-makruh-an timbul jika ahli waris dapat menimbulkan suasana hati yang disebut oleh Imam Asy Syafi’i sebagai “memperbaharui kesedihan” atau kemungkinan timbul suasana hati yang tidak ikhlas akan ketetapan Allah Azza wa Jalla terhadap ahli kubur.

6. Kebiasaan memperingati Maulid Nabi adalah kebiasaan yang tidak menyalahi satupun laranganNya

Peringatan Maulid Nabi dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita telah meneladani Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, bagi kehidupan kita hari ini maupun esok.

Begitupula memperingati hari kelahiran diri sendiri dapat kita pergunakan untuk intropeksi diri sejauh mana kita mempersiapkan diri bagi kehidupan di akhirat kelak adalah bukan perkara dosa atau terlarang.

Allah Azza wa Jalla berfirman, “Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad “, “Perhatikan masa lampaumu untuk hari esokmu” (QS al Hasyr [59] : 18)

Kemungkinan terjadi kesalahan adalah cara kita mengisi peringatan Maulid Nabi atau cara kita mengisi peringatan hari kelahiran itu sendiri seperti janganlah berlebih-lebihan atau bermewah-mewahan.

Sedangkan peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.

Berikut penjelasan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat tentang Maulid Nabi

Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.

Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah, dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : “ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi shallallahu alaihi wasallam”

Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah, dengan karangan maulidnya yang terkenal “al aruus” juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, “Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yang membacanya serta merayakannya”.

Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: “Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kepada orang yang menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam sebagai hari besar”.

7. Kebiasaan membaca surat Yasin setiap malam Jum’at.

Bagi mereka yang berpegang hanya pada hadits yang telah terbukukan saja, menganggap kebiasaan ini tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebiasaan Rasulullah yang terbukukan adalah membaca surat Al Kahfi setiap malam Jum’at.

Sedangkan perlu kita ingat bahwa jumlah hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits)

Oleh karenanya kita dapat menanyakan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan pengajaran agama dalam bentuk lisan maupun praktek yang didapatkan dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada apa yang disampaikan dan dipraktekan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Berikut informasi bagaimana cara para mufti Mesir mengeluarkan fatwa terhadap kebiasaan atau adat perayaan Syamu Nasim.

Saat ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim ‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D. Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-, berpegang teguh kepada metode Al-Azhar. Sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah satunya oleh para ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif.

Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.

Di Mesir sempat beredar selebaran-selebaran tentang pengharaman merayakan Syamu Nasim oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Dan yang lebih parah pengharaman itu disandarkan pada mufti Mesir Dr. Syauqi Ibrahim. Jika dalam menebarkan kebaikan saja sudah salah jalan lalu bagai mana masyarakat bisa menerima seruan mereka. Semoga orang yang melakukan pembohongan publik atas nama  mufti Mesir, Dr. Syauqi Ibrahim di berikan hidayah dan taufiq-Nya.

Sumber

Sabtu, 05 Oktober 2013

Jumlah Nabi dan Rosul / Rasul

Nash / Dalil Al Qur an Mengenai Kewajiban Beriman
Sebagaimana telah Masyhur, bahwa Islam terdiri atas 6 Pilar keimanan. Yaitu  Sesuai dan berdasarkan Ayat diatas dan sabda Rosul Sayyidina Muwammad SAW :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بني الإسلام على خمس : شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، والحج ، وصوم رمضان
(متفق عليه واللفظ للبخاري)

Adapun Jumlah Nabi / Rosul menurut Hadits ini berjumlah 313. Yaitu :
والمشهور ان المرسلين ثلاثمائة وثلاثا عشر كما في حديث ابي ذر وهاهي اسماؤهم على ماروى عنانس : ادم , شيث, انوش, قيناق, مهيائيل, اختوخ, ادريس, متوشلخ, نوح, هود, عبهف, مرداريم, شارع, صالح, ارفخشذ, صفوان, حنظلة, لوط, عصان, ابراهيم, اسمعيل, اسحق, يعقوب, يوسف, شمائيل, شعيب, موسى, لوطان, يعوا, هرون, كليل, يوشع, دانيال, بونش, بليا, ارميا, يونس, الياس, سليمان, داود, اليسع, ايوب, اوس, ذانين, الهميع, ثابت, غابر, هميلان,ذوالكفل,عزير, عزقلان, عزان, الوون, زاين, عازم, هريد, شاذن, سعد, غالب, شماس, شمعون, فياض, قضا, سارم, عيناض, سايم, عوضون, بيوزر, كزول, باسل, باسان, لاخين, غلضات, رسوغ, رشعين, المون, لوغ,برسوا, الاظيم, رشاد, شريب, هيبل, ميلان, عمران, هرييب, جريت, شماع, صريخ, سفان, قبيل, ضعضع, عيصون, عيصف, صديف, برواء,حاصيم, هيان, عاصم, وجان,مصداع, عاريس, شرحبيل, خربيل, حزقيل, اشموئيل, غمصان, كببر, سباط, عباد بثلخ, ريهان, عمدان, مرقان, حنان, لوحنا, ولام, بعيول, بصاص, هبان, افليق, قازيم, نصير, اوريس, مضعس, جذيمة, شروحيل, معنائيل, مدرك, حارم, بارغ هرميل, جابد, زرقان, اصفون, برجاج, ناوى, هزرابن اشبيل, عطاف, مهيل, زنجيل, شمطان, القوم, حوبلد, صالح, سانوخ, راميل, زاميل, قاسم, باييل, بازل, كبلان, باتر, حاجم, جاوح, جامر, حاجن, راسل, واسم, رادن, سادم, شوشا, جازان,صاحد, صحبان, كلوان, صاعد,غفران, غاير, لاحون,بلدخ, هيدان, لاوى, هيراء, ناصى, حانك, حافيخ, كاشيخ, لافث, نايم, حاشم, هجام, ميزاد,اسيمان, رحيلا, لاطف, برطفون, ابان, عورائض, مهمتصر,عانين, نماخ, هندويل, مبصل, مضعتام, طميل, طابيح, مهمم حجرم, عدون, منبد, بارون, روان, معبن, مزاحم, يانيد, لامى, فردان,جابر, سالوم, عيص, هربان, جابوك, عابوج, مينات, قانوح, دربان, صاخم, حارض, حراض, حرقيا, نعمان, ازميل, مزحم, ميداس, يانوح, يونس, ساسان, فريم, فريوش, صحيب, ركن, عامر, سحنق, زاخون, حينيم, عياب, صباح, عرفون, مخلاد, مرحم, صانيد, غالب, عبدالله, ادرزين, عدسار, زهران, بايع, نظير, هورين, كايواشيم, فتوان, عابون,رباخ, صابح, مسلون, حجان, روبال, رابون, معيلا, سايعان, ارجيل, بيغين, متضح, رحين, محراس, ساخين, حرفان, مهمون, حوضان, البؤن, وعد, رخيول, بيغان, بتيحور, حوظبان, عامل, زحرام, عيس, صبيح, يطبع, جارح, صهيب, صبحان, كلمان, يوخى, سميون, عرضون, حوحر, يلبق, بارع, عائيل, كنعان, حفدون, حسمان, يسمع, عرفور, عرمين, فضحان, صفا, شمعون, رصاص, اقلبون, شاخم, خائيل, احيال, هياج, زكريا, يحيى, جرجيس, عيسى بن مريم, محمد صلى الله عليه وسلم عليهم اجمعين
“Dan menurut pendapat yang masyhur, sesungguhnya para rasul itu berjumlah 313, seperti yang disebutkan dalam haditsriwayat Abu Dzar Ra. Dan inilah nama-nama rasul itu seperti yang diriwayatkan dari sahabat Anas Ra.:
1. Adam As.
2. Tsits As.
3. Anuwsy As.
4. Qiynaaq As.
5. Mahyaa’iyl As.
6. Akhnuwkh As.
7. Idris As.
8. Mutawatsilakh As.
9. Nuh As.
10. Hud As.
11. Abhaf As.
12. Murdaaziyman As.
13. Tsari’ As.
14. Sholeh As.
15. Arfakhtsyad As.
16. Shofwaan As.
17. Handholah As.
18. Luth As.
19. Ishoon As.
20. Ibrahim As.
21. Isma’il As.
22. Ishaq As.
23. Ya’qub As.
24. Yusuf As.
25. Tsama’il As.
26. Su’aib As.
27. Musa As.
28. Luthoon As.
29. Ya’wa As.
30. Harun As.
31. Kaylun As.
32. Yusya’ As.
33. Daaniyaal As.
34. Bunasy As.
35. Balyaa As.
36. Armiyaa As.
37. Yunus As.
38. Ilyas As.
39. Sulaiman As.
40. Daud As.
41. Ilyasa’ As.
42. Ayub As.
43. Aus As.
44. Dzanin As.
45. Alhami’ As.
46. Tsabits As.
47. Ghobir As.
48. Hamilan As.
49. Dzulkifli As.
50. Uzair As.
51. Azkolan As.
52. Izan As.
53. Alwun As.
54. Zayin As.
55. Aazim As.
56. Harbad As.
57. Syadzun As.
58. Sa’ad As.
59. Gholib As.
60. Syamaas As.
61. Syam’un As.
62. Fiyaadh As.
63. Qidhon As.
64. Saarom As.
65. Ghinadh As.
66. Saanim As.
67. Ardhun As.
68. Babuzir As.
69. Kazkol As.
70. Baasil As.
71. Baasan As.
72. Lakhin As.
73. Ilshots As.
74. Rasugh As.
75. Rusy’in As.
76. Alamun As.
77. Lawqhun As.
78. Barsuwa As.
79. Al-‘Adzim As.
80. Ratsaad As.
81. Syarib As.
82. Habil As.
83. Mublan As.
84. Imron As.
85. Harib As.
86. Jurits As.
87. Tsima’ As.
88. Dhorikh As.
89. Sifaan As.
90. Qubayl As.
91. Dhofdho As.
92. Ishoon As.
93. Ishof As.
94. Shodif As.
95. Barwa’ As.
96. Haashiim As.
97. Hiyaan As.
98. Aashim As.
99. Wijaan As.
100. Mishda’ As.
101. Aaris As.
102. Syarhabil As.
103. Harbiil As.
104. Hazqiil As.
105. Asymu’il As.
106. Imshon As.
107. Kabiir As.
108. Saabath As.
109. Ibaad As.
110. Basylakh As.
111. Rihaan As.
112. Imdan As.
113. Mirqoon As.
114. Hanaan As.
115. Lawhaan As.
116. Walum As.
117. Ba’yul As.
118. Bishosh As.
119. Hibaan As.
120. Afliq As.
121. Qoozim As.
122. Ludhoyr As.
123. Wariisa As.
124. Midh’as As.
125. Hudzamah As.
126. Syarwahil As.
127. Ma’n’il As.
128. Mudrik As.
129. Hariim As.
130. Baarigh As.
131. Harmiil As.
132. Jaabadz As.
133. Dzarqon As.
134. Ushfun As.
135. Barjaaj As.
136. Naawi As.
137. Hazruyiin As.
138. Isybiil As.
139. Ithoof As.
140. Mahiil As.
141. Zanjiil As.
142. Tsamithon As.
143. Alqowm As.
144. Hawbalad As.
145. Solih As.
146. Saanukh As.
147. Raamiil As.
148. Zaamiil As.
149. Qoosim As.
150. Baayil As.
151. Yaazil As.
152. Kablaan As.
153. Baatir As.
154. Haajim As.
155. Jaawih As.
156. Jaamir As.
157. Haajin As.
158. Raasil As.
159. Waasim As.
160. Raadan As.
161. Saadim As.
162. Syu’tsan As.
163. Jaazaan As.
164. Shoohid As.
165. Shohban As.
166. Kalwan As.
167. Shoo’id As.
168. Ghifron As.
169. Ghooyir As.
170. Lahuun As.
171. Baldakh As.
172. Haydaan As.
173. Lawii As.
174. Habro’a As.
175. Naashii As.
176. Haafik As.
177. Khoofikh As.
178. Kaashikh As.
179. Laafats As.
180. Naayim As.
181. Haasyim As.
182. Hajaam As.
183. Miyzad As.
184. Isyamaan As.
185. Rahiilan As.
186. Lathif As.
187. Barthofun As.
188. A’ban As.
189. Awroidh As.
190. Muhmuthshir As.
191. Aaniin As.
192. Namakh As.
193. Hunudwal As.
194. Mibshol As.
195. Mudh’ataam As.
196. Thomil As.
197. Thoobikh As.
198. Muhmam As.
199. Hajrom As.
200. Adawan As.
201. Munbidz As.
202. Baarun As.
203. Raawan As.
204. Mu’biin As.
205. Muzaahiim As.
206. Yaniidz As.
207. Lamii As.
208. Firdaan As.
209. Jaabir As.
210. Saalum As.
211. Asyh As.
212. Harooban As.
213. Jaabuk As.
214. Aabuj As.
215. Miynats As.
216. Qoonukh As.
217. Dirbaan As.
218. Shokhim As.
219. Haaridh As.
220. Haarodh As.
221. Harqiil As.
222. Nu’man As.
223. Azmiil As.
224. Murohhim As.
225. Midaas As.
226. Yanuuh As.
227. Yunus As.
228. Saasaan As.
229. Furyum As.
230. Farbusy As.
231. Shohib As.
232. Ruknu As.
233. Aamir As.
234. Sahnaq As.
235. Zakhun As.
236. Hiinyam As.
237. Iyaab As.
238. Shibah As.
239. Arofun As.
240. Mikhlad As.
241. Marhum As.
242. Shonid As.
243. Gholib As.
244. Abdullah As.
245. Adruzin As.
246. Idasaan As.
247. Zahron As.
248. Bayi’ As.
249. Nudzoyr As.
250. Hawziban As.
251. Kaayiwuasyim As.
252. Fatwan As.
253. Aabun As.
254. Rabakh As.
255. Shoobih As.
256. Musalun As.
257. Hijaan As.
258. Rawbal As.
259. Rabuun As.
260. Mu’iilan As.
261. Saabi’an As.
262. Arjiil As.
263. Bayaghiin As.
264. Mutadhih As.
265. Rahiin As.
266. Mihros As.
267. Saahin As.
268. Hirfaan As.
269. Mahmuun As.
270. Hawdhoon As.
271. Alba’uts As.
272. Wa’id As.
273. Rahbul As.
274. Biyghon As.
275. Batiihun As.
276. Hathobaan As.
277. Aamil As.
278. Zahirom As.
279. Iysaa As.
280. Shobiyh As.
281. Yathbu’ As.
282. Jaarih As.
283. Shohiyb As.
284. Shihats As.
285. Kalamaan As.
286. Bawumii As.
287. Syumyawun As.
288. Arodhun As.
289. Hawkhor As.
290. Yaliyq As.
291. Bari’ As.
292. Aa’iil As.
293. Kan’aan As.
294. Hifdun As.
295. Hismaan As.
296. Yasma’ As.
297. Arifur As.
298. Aromin As.
299. Fadh’an As.
300. Fadhhan As.
301. Shoqhoon As.
302. Syam’un As.
303. Rishosh As.
304. Aqlibuun As.
305. Saakhim As.
306. Khoo’iil As.
307. Ikhyaal As.
308. Hiyaaj As.
309. Zakariya As.
310. Yahya As.
311. Jurhas As.
312. Isa As.
313. Muhammad Saw
Sebagian Santri Putra Saat Mengikuti Dirosah Madrasah Diniyah Darul Muwahhidin

Haji dan Umroh


Tuntunan Ibadah Haji
Haji dan Umroh
A. Pengertian
1. Haji
Haji menurut bahasa artinya menyengaja. Menurut syara' ialah berkunjung ke Baitulloh untuk melaksanakn nusuk ( ibadah ) haji sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Dalam pengertian umum, istilah ibadah haji tercakup di dalamnya haji dan umroh.

2. Umroh
- Umroh menurut bahasa artinya berkunjung.
- Menurut istilah adalah berkunjung ke Baitulloh untuk melaksanakan nusuk (ibadah).
Aturan, syarat, rukun, sunnat dan larangan-larangan umroh persis sama dengan haji, kecuali pada rukun dan wajib umroh ada beberapa sedikit perbedaan. Yang karenanya, umroh disebut juga al hajju al ashghor atau haji kecil.

B. Hukum Melaksanakan ibadah haji dan juga Umroh hukumnya :
1. fardlu (wajib) 'ain, bagi yang sudah memenuhi syarat :
a. islam
b. merdeka
c. baligh
d. mampu (istitho'ah)
e. berakal
Difardlukannya ibadah haji dan umroh hanya sekali dalam seumur hidup

2. sunat, bagi :
a. muslim yang belum baligh
b. hamba sahaya
c.-
- muslim yang telah melaksanakan haji/umroh
- haji/ umroh untuk memenuhi kewajiban seorang muslim atau untuk memenuhi rukun islam orang lain.

C. Dasar Hukum
1. Al Quran surat Ali Imron ayat 97
فِيهِ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ مَقَامُ إِبْرَاهِيمَ ۖ وَمَنْ دَخَلَهُ كَانَ آمِنًا ۗ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
''semata-mata karena Alloh, menjadi kewajiban manusia untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitulloh bagi yang mampu dalam perjalanannya''

2. Hadits riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله ، وإقام الصلاة ، وإيتاء الزكاة ، والحج ، وصوم رمضان
متفق عليه واللفظ للبخاري
''Islam didirikan di atas lima perkara, yaitu :
(1) persaksian bahwa tiada tuhan selain Alloh dan Muhammad SAW. adalah utusan Alloh,
(2) mendirikan sholat,
(3) mengeluarkan zakat,
(4) berkunjung ke Baitulloh,
(5) berpuasa di bulan Romadlon
(H.R. Bukhori dan Muslim)

Rukun dan Wajib dalam Haji dan Umroh
a. Pengrtian rukun dan wajib Dalam selain ibadah haji, pengertian rukun dan wajib sama, ialah sesuatu yang harus ada atau harus dilaksanakan ketika melakukan suatu pekerjaan (ibadah). Seperti membaca Al Fatihah dalam sholat. Tanpa membaca fatihah, solat seseorang dihukumi tidak sah karena fatihah termasuk rukun atau bacaan yang wajib dibaca ketika sholat.

Dalam ibadah haji rukun dan wajib dibedakan. Haji seseorang tidak sah bila meninggalkan salah satu rukun haji. Tetapi bila yang ditingalkannya bagian dari wajib haji, maka hajinya tetap sah tapi diharuskan membayar dam (denda).

b. Rukun dan wajib dalam haji dan umroh

Rukun Haji
1. Ihrom
2. Wuquf di arofah
3. Thowaf
4. Sa'i
5. Bercukur
6. Tartib

c.Wajib Haji
1. Ihrom dari miqot
2. Mabit di muzdalifah
3. Mabit di mina
4. Melontar jumroh
5. Menghindari muharromat

Rukun Umroh
1. Ihrom
2. Thowaf
3. Sa'i
4. Bercukur
5. Tertib

Wajib umroh
1. Ihrom dari miqot
2. Menghindari muharromat

d. Muharromat (larang- larangan ihrom)
Yang dimaksud dengan muharromat dalam ibadah haji/umroh ialah larangan dari mengerjakan pelanggaran atau dari meninggalkan kewajiban. Akibat dari melanggar larangan ini diwajibkan dam.

D. Dam
Dam artinya darah. dalam ibadah haji/umroh dam berarti sangsi atau dendaan karena adanya pelangggaran. Bentuk dam bermacam macam tergantung jenis pelanggarannya.

Menurut sifatnya dam terbagi dua :
1. Dam tartib (berurutan), ialah sifat dam yang memiliki beberapa poin dan pemenuhannya hanya satu dan HARUS berurutan dari yang pertama.
2. Dam takhyir (pilihan), ialah sifat dam yang memiliki beberapa poin dan pemenuhannya BOLEH memilih salah satunya.

Jenis Pekerjaan/Pelanggaran
(A) -
1. mengerjakan haji tamattu'
2. mengerjakan haji qiron
3. tidak thowaf wada' (menurut qoul yang menghukumi wajib)
4. tidak mabit di muzdalifah
5. tidak mabit di mina
6. ihromnya tidak dari miqot
7. tidak melontar jumroh Termasuk jenis dam Tartib (berurutan)

Cara Membayar Dam
• Menyembelih seekor domba/kambing
• Puasa selama 10 hari, 3 hari dilakukan ketika berihrom dan 7 hari setelah pulang ke kampung halaman

(B)-
• jima' mufsid (ialah jima' yang dilakukan sebelum tahallul awwal) jenis dam Tartib cara membayar dam
• Menyembelih seekor unta
• Seekor sapi
• 7 ekor domba
• Puasa lamanya seharga anak unta dibagi satu mud kali 1 hari

(C) - Nikah atau menikahkan Tidak ada dam, hanya status pernikahannya tidak sah

(D) -
1. memotong rambut
2. memotong kuku
3. melanggar cara berpakaian*
4. memakai wewangian
5. memakai minyak rambut
6. bercumbu
7. jima' antara dua tahallul
8. jima' setelah jima' mufsid

* khusus bagi laki-laki, yaitu tidak boleh mengenakan pakaian yang dijahit atau melingkar.

Termasuk jenis dam Takhyir (memilih) cara membayar dam:
Boleh memilih :
• menyembelih seekor domba
• shodaqoh makanan sebanyak 3 kali ukuran zakat fithrah ( 10 liter) dibagikan kepada 6 orang faqir miskin

(E) Membunuh binatang darat yang halal dimakan dan liar termasuk jenis dam Takhyir cara membayar dam Boleh memilih :
• Menyembelih binatang yang sebangsa dengan yang dibunuh
• Shodaqoh seharga hewan tersebut
• Puasa yang lamanya seharga hewan yang dibunuh dibagi satu mud kali satu hari

(F) Mencabut/merusak pepohonan
Cara membayar dam :
shodaqoh makanan seharga pepohonan yang dirusak


ُE. Miqot artinya batas.
Miqot ada dua macam, yaitu :
1. Miqot zamani artinya batas waktu
2. Miqot makani artinya batas tempat

MIQOT ZAMANI untuk umroh tidak ada, artinya semua hari dan tanggal dalam setahun (hijriyyah) boleh dipakai untuk ibadah umroh

MIQOT ZAMANI untuk haji adalah sejak masuk bulan haji (syawwal, dzul qo'dah dan dzul hijjah) dari tanggal 1  syawwal sampai dengan tanggal 9 dzulhijjah.

Jadi tidak sah hajinya bila berihrom sebelum atau sesudah waktu tersebut. Rentang waktu antara tanggal 1 syawwal dan 9 dzul hijjah adalah waktu untuk memulai atau berniat ihrom haji, bukan untuk melaksanakan pekerjaan haji. Karena seluruh pekerjaan haji memiliki waktu sendiri-sendiri dan harus dilaksanakan pada waktunya, dan pekerjaan haji dimulai pada tanggal 9 dzul hijjah yaitu wuquf di arofah. Ketika seorang jamaah memulai ihrom haji pada tanggal 1 syawwal misalnya, maka setelah itu status yang bersangkutan disebut muhrim (orang yang ihrom). Sebagaimana ihrom yang berarti mengharamkan, maka seorang muhrim (haji) pun sedang mengharamkan (diri) dari melaksanakan larangan- larangan haji.
Jadi, ketika memulai ihrom dari tanggal 1 syawwal, maka sejak tanggal itu seluruh larangan haji terkena kepadanya sampai yang bersangkutan melakukan tahallul (kurang lebih 70 hari).

MIQOT MAKANI bagi penduduk/muqim di makkah adalah pintu rumahnya, dan bagi yang diluar Makkah yaitu :

• bagi yang datang dari arah Madinah miqotnya Dzul Hulaifah
• bagi yang datang dari arah Sirya, Mesir dan afrika miqotnya Juhfah
• bagi yang datang dari arah Yaman miqotnya Yulamlam dan Qornul Manazil
• bagi yang datang dari arah timur kota Makkah miqotnya Dzatu 'Iroq

RINCIAN DAN PENJELASAN PEKERJAAN HAJI DAN UMROH

A. Ihrom
Ihrom adalah suatu keadaan (berhubungan dengan tempat dan waktu) antara niat memasuki ibadah haji atau 'umroh sampai tahallul.

Ihrom bukanlah pengertian dari pekerjaan yang mandiri seperti halnya thowaf atau sa'i.

Lafadz niat ihrom haji adalah :


نويت الحج والـعمرة وأحرمت بهما لله تعالى

لبيك عمرة حجة

" Ya Alloh, saya datang untuk memenuhi panngilan untuk melaksanakan haji"

Hal-hal yang sunat dilakukan oleh orang berihrom :
1. Membersihkan diri sebelum berihrom dari kotoran, memotong kuku dan bercukur

2. Mandi sebelum berihrom

3. Memakai wewangian sebelum berihrom

4. Memakai pakaian serba putih dan suci

5. Sholat sunat ihrom sebanyak dua rokaat sebelum berihrom

6. Menghadap qiblat ketika niat berihrom

7. Memperbanyak bacaan talbiyah selama berihrom kecuali ketika melontar jumroh, thowaf dan sa'i. Pada ketiga pekerjaan tersebut ada bacaan-bacaan tersendiri

Kalimat talbiyah


لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

B. Wuquf di ‘Arofah
Jama'ah Sedang Wuquf di Arofah / Arafah
Wuquf artinya diam.
Masa wuquf di 'arofah yaitu antara tanggal 9 dzulhijjah (ba'da dzuhur) sampai dengan terbit fajar tanggal 10 dzulhijjah.
Wuquf di 'arofah sebenarnya cukup dengan hadir sejenak diantara masa wuquf tersebut.Yang paling utamanya bisa mencakup tanggal 9 dan 10.

Hal-hal yang disunatkan ketika wuquf
1. Meninggalkan pembicaraan yang kurang berguna
2. Berbuat hanya yang bersifat taqorrub kepada Alloh, seperti dzikir, membaca quran, tahlil, berdo'a dan membaca talbiyah.
3. Bersikap tadlorru' (merendahkan diri) dan ilhah (merengek) ketika berdo'a

C. Mabit di Muzdalifah
Mabit artinya menginap. Masa mabit di muzdalifah cukup dengan hadir sejenak diantara tengah malam sampai terbit fajar tanggal 10 dzulhijjah, dan setelah selesai wuquf di 'arofah.

Disunatkan berdiam di Masy'aril Harom, yaitu suatu bangunan atau tugu perbatasan antara Muzdalifah dan Mina, sampai pagi sambil memperbanyak istighfar. Dan memungut batu untuk melontar jumroh 'aqobah tanggal 10 di Mina.

D. Mabit dan Melontar Jumroh di Mina


Pekerjaan yang dilakukan ketika berada di Mina intinya ada dua, yaitu :
1. mabit, tanggal 11 - 12 - 13 dzulhijjah
2. melontar jumroh :
• jumroh 'aqobah pada tanggal 10 dzulhijjah, awal waktunya setelah lewat tengah malam tanggal 10 (malam idul adlha), utamanya dilakukan antara terbit matahari sampai tergelincir.
• jumroh uula (kubro), jumroh wustho, dan jumroh 'aqobah pada tanggal 11 - 12 - 13 dzulhijjah dan dilakukan secara berurutan, awal waktunya setelah tergelincir matahari (setiap hari melakukan lemparan jumroh). Setiap satu kali melontar Jumroh adalah 7 kali lemparan dengan 7 buah batu (kerikil), dan tidak boleh disatukan sekaligus.
Batu-batu yang sudah dipakai melempar, tidak digunakan untuk lemparan berikutnya.

Pekerjaan lain yang dilakukan ketika di Mina yaitu :
• memotong hewan qurban dan
hewan untuk dam
• bercukur sebagai tanda tahallul (tahallul awwal)

E. Thowaf
Jama'ah Sedang Thowaf / Thawaf
Thowaf artinya berkeliling. Maksudnya adalah mengelilingi ka'bah dengan syarat-syarat tertentu.

Macam-macam thowaf :
1. Thowaf Ifadloh (T. rukun haji)
2. Thowaf Rukun 'Umroh
3. Towaf Wada' (menurut pendapat yang menyatakan sunnah)
4. Thowaf Sunat
5. Thowaf Qudum (thowaf selamat datang)
6. Thowaf Nadzar (thowaf yang dijanjikan)
Setiap memasuki Masjidil Harom disunatkan melakukan thowaf sebagai pengganti sholat tahiyyatul masjid.

Syarat-syarat thowaf :
1. Bersih dari hadats kecil dan hadats besar dan dari najis

2. Menutupi aurat

3. Thowaf dimulai dari hajar aswad (batu hitam di salah satu sudut ka'bah)

4. Pundak harus lurus sejajar dengan hajar aswad pada awal dan akhir thowaf

5. Ka'bah selamanya berada di sebelah kiri. jadi berkelilingnya ke arah kiri

6. Thowaf dilakukan di luar ka'bah dan syadzarwan (bagian dasar ka'bah) serta di luar hijir Ismail

7. Thowaf sebanyak 7 keliling. Artinya setiap satu kali thowaf adalah 7 keliling

8. Langkah dalam thowaf hendaklah murni berupa langkah, tidak ada langkah dengan tujuan lain (seperti mengejar orang lain)

9. Thowaf harus di dalam masjid

Hal-hal yang disunatkan ketika thowaf:
1. Istilam (melambaikan tangan ke arah ka'bah) dan mencium hajar aswad

2. Istilam ke Rukun Yamani (salah satu sudut ka'bah yang menghadap ke arah negara Yaman)

3. Thowafnya dengan berjalan kaki

4. Telanjang kaki, kecuali kalau
terpaksa

5. Berjalan agak cepat pada 3 putaran pertama

6. Thowafnya terus menerus

7. Sholat sunat thowaf dua rokaat atau lebih setelah thowaf. Utamanya dilakukan di belakang maqom Ibrohim

F. Sa'i
Sa'i artinya berjalan. Maksudnya adalah berjalan antara Shofa dan Marwah.

Syarat-syarat sa'i :
1. Dimulai dari shofa dan berakhir di marwah

2. Sa'i dilakukan 7 jalan dengan hitungan yang jelas

3. Sa'i harus dilakukan setelah thowaf

4. Sahnya sa'i tergantung kepada sahnya thowaf Sa'i 'umroh dilakukan setelah thowaf 'umroh, dan sa'i haji bisa setelah thowaf ifadloh atau thowaf qudum

Orang yang sa'inya menggunakan kursi roda dan sejenisnya, maka rodanya harus menyentuh anak tangga terbawah bukit shofa, sedangkan di marwah cukup memasuki bangunannya saja.

Sa'i selalu didahului dengan thowaf, namun tidak berarti setelah thowaf harus sa'i.

Sunat-sunat sa'i :
1. bersih dari hadats dan najis
2. Menutup aurat
3. Naik ke bukit shofa dan marwah sehingga ka’bah bisa terlihat dari atasnya
4. Berlari-lari kecil (jigjrig/ngincik) diantara dua pal hijau bagi laki-laki yang mampu
5. Berturut-turut pada stiap jalanan sa'i, antara ketujuh jalanan sa'i, dan antara thowaf
dan sa'i

G. Bercukur
Bercukur, yaitu menghilangkan 3 lembar rambut kepala. Caranya bisa dengan memotong, menggunting, mencabut, memakai obat dsb.
Ketika bercukur disunatkan :
1. menghadap qiblat
2. berdo'a dan membaca dzikir sebelumnya
3. membaca takbir sebelum dan sesudahnya

H. Tartib
Tartib artinya tersusun. Maksudnya, tersusunnya pelaksanaan rukun-rukun haji dan 'umroh sesuai dengan urutan dan aturannya.
• Tartib dalam 'umroh ialah menyusun semua rukun 'umroh.
• Tartib dalam haji ialah :

1. mendahulukan ihrom dan wuquf dari seluruh pekerjaan haji
2. mendahulukan thowaf dari sa'i.

Dalam pelaksanaannya, masing-masing antara rukun dan wajib haji tidak diatur harus diselesaikan/didahulukan salah satunya baru kemudian yang satunya lagi. Tetapi diantara keduanya dijadikan satuan pekerjaan yang utuh.

I. Tahallul
Tahallul artinya menjadi halal, maksudnya terbebas dari semua yang diharamkan.

Dari semua rangkaian kewajiban haji, ada tiga pekerjaan yang disebut pekerjaan utama. Yaitu melontar jumroh aqobah tanggal 10, bercukur, dan thowaf ifadloh. Dari mengerjakan ke tiga hal tersebut akan didapat dua macam/tahapan tahallul' yaitu :

1. Tahallul awal (pertama),
Ialah apabila sudah mengerjakan dua dari yang tiga di atas. Dan setelah tahallul ini, semua larangan ihrom menjadi halal kecuali jima' (bersetubuh), muqoddimahnya dan nikah.

2. Tahallul tsani (kedua),
Ialah bila sudah menyelesaikan ketiga-tiganya. Dan tahallul ini menghalalkan jima'
Urutan mengerjakan ketiga hal di atas bisa bervariasi, diantaranya :

a) Jumroh ‘aqobah dahulu, kemudian bercukur. Setelah itu menuju makkah untuk thowaf ifadloh. Dan dalam pada itu (thowaf) si pelaku sudah dalam keadaan tahallul awal.

b) Jumroh ‘aqobah dahulu, kemudian berangkat ke makkah untuk thowaf ifadloh serta sa'inya (bila setelah thowaf qudum tidak sa'i). Baru setelah itu bercukur (masih di makkah).
Berarti tahallul awalnya dilakukan di makkah setelah thowaf (atau sa'i)

J. Nafar
Nafar artinya bubar atau keluar. Maksudnya adalah keluar dari ibadah haji setelah melaksanakan semua kewajibannya.
Pelaksanaan nafar bisa dengan dua cara;
1. Nafar awwal, keluar pada tahap pertama. Ini dilakukan oleh jamaah pada tanggal 12 dzul hijjah dengan meninggalkan pekerjaan tanggal 13.

2. Nafar tsani, keluar pada tahap ke dua. Ini dilakukan oleh jamaah pada tanggal 13 Dzul hijjah dengan melaksanakan pekerjaan (kewajiban) pada tanggal 13.
Jamaah yang melakukan nafar awal brarti meninggalkan pekerjaan untuk tanggal 13, namun demikian, walau pekerjaan pada tanggal 13 termasuk wajib tetapi jamaah yang melakukan nafar awal tidak terkena konsekwensi dam dan hajinya sah.

URUTAN PEKERJAAN HAJI Rukun Haji
1. Ihrom
2. Wuquf di arofah
3. Thowaf
4. Sa'i
5. Bercukur
6. Tartib

Wajib Haji
a. Ihrom dari miqot
b. Mabit di muzdalifah
c. Mabit di mina
d.-
d1. Melontar jumroh jumroh aqobah pada tanggal 10

d2. Melontarjumroh ula, wustho dan 'aqobah
e. Menghindari muharromat

Urutan/skema pekerjaan haji
1+ a --- 2---b---d1---5---3---4---c + d2

urutan/skema pekerjaan umroh
1+ a---2--- 3---4

CARA PELAKSANAAN HAJI DAN UMROH
Cara melaksanakan haji dan umroh bisa dengan tiga cara, yaitu :
1. Tamattu' yaitu melaksanakan umroh dahulu kemudian haji

2. Ifrod yaitu melaksakan haji dahulu kemudian umroh

3. Qiron yaitu melaksanakan haji dan umroh secara bersamaan

Wallohu almu’in wa bihii nasta’iin

Sumber utama;
Hasyiyah Albajuri dan Hasyiyah I'anatuth Tholibin

Demikian semoga bermanfaat.
Aamiin........