DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO

DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.

Rabu, 31 Juli 2013

Qodlo' / Qadla Fidyah Puasa



FIDYAH DAN PUASA

FIDYAH DAN PUASA

 Fidyah secara harfiah adalah harta atau semisalnya yang digunakan untuk menyelamatkan atau membebaskan tawanan atau semisalnya, dari bahaya yang mengancamnya.
Sedangkan secara istilah, fidyah adalah pengganti yang diupayakan oleh seorang mukallaf agar terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkannya.
Dalam kaitannya dengan puasa, fidyah adalah sejumlah harta yang dibayarkan oleh seseorang yang terkena beban kewajiban berpuasa (mukallaf), sebagai pengganti atau kompensasi tidak berpuasa, agar terhindar dari sesuatu yang dikhawatirkannya (mengabaikan kewajiban berpuasa, sesuai ketentuannya).
Selain istilah fidyah, juga terdapat istilah kaffarat. Hubungan diantara dua istilah ini adalah, bahwa kaffaratmemiliki cakupan lebih sempit. Karena kaffarat hanya terkait dengan penggantian / kompensasi / denda yang muncul akibat perbuatan dosa. Jika fidyah dibayarkan antara lain sebagai pengganti puasa yang tidak mungkin lagi dilakukan oleh seseorang (semisal karena penyakit yang secara medis tidak mungkin sembuh), dan semacam ini bukan merupakan dosa, maka kaffarat dibayarkan oleh seseorang yang membatalkan puasa dengan sebab melakukan hubungan intim sebadan pria-wanita, dan ini adalah sebuah dosa.
Meski ketentuan fidyah tidak hanya terkait ritual ibadah puasa, namun coretan berikut membatasi pembahasan pada fidyah yang terkait dengan puasa, sebagai permasalahan yang relevan saat ini.
Menurut sebagian versi tafsir, ayat berikut adalah salah satu ayat yang dijadikan pijakan ketentuan fidyah.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ ﴿البقرة/184﴾

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 184)
 * NB : Ini adalah terjemah versi CD Holy Quran
 Mahallusy syahid dalam ayat di atas adalah :

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Sebenarnya banyak sekali versi penafsiran dan penjelasan tentang ayat ini, termasuk juga hukum fiqhiyyah yang terkait dengannya. Artikel ini mengacu pada hukum fiqhiyyah versi Syafi’iyyah, dengan pola penalaran sejumlah tafsir. Lebih ringkasnya, setidaknya ada dua versi penjelasan atau terjemah dari penggalan ayat ini.

1.   Wajib atas orang-orang (yang sebenarnya) kuat berpuasa (tapi tidak berpuasa), untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin
2.    Wajib atas orang-orang yang (tidak) kuat berpuasa, untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin

Penjelasan Pertama

“Wajib atas orang-orang (yang sebenarnya) kuat berpuasa (tapi tidak berpuasa), untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin”

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abdurrahman bin Abi Laila, dari Mu’adz bin Jabal, radliyallâhu anhu, bahwa terdapat tiga tahapan pensyari’atan puasa. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah berpuasa tiga hari dalam tiap bulan, dan berpuasa hari Arafah (9 Dzulhijjah). Lalu Allah menurunkan ayat

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Tahapan kedua ini, kaum muslimin wajib berpuasa Ramadan dengan taraf kewajiban takhyîr (opsional), bisa dengan melakukan puasa bulan Ramadan, bisa pula tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Sehingga dalam tahapan ini, ayat
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

adalah benar-benar sebagai opsi pilihan bagi kaum muslimin saat itu. Hal ini terjadi selama setahun.
Lalu pada tahapan ketiga, Allah menurunkan ayat

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Sehingga orang yang mampu atau kuat melakukan puasa, wajib hukumnya melakukan puasa. Orang sakit dan musafir (syarat dan ketentuan berlaku, hehe..), boleh tidak berpuasa, tetapi wajib meng-qadla’nya di hari lain. Sedangkan bagi orang-orang yang berusia lanjut yang tidak kuat lagi berpuasa, orang-orang sakit yang secara medis tak mungkin sembuh, serta wanita hamil dan menyusui yang khawatir akan keselamatan anaknya jika dia tetap nekad berpuasa, boleh tidak berpuasa, akan tetapi wajib membayar fidyah. Khusus untuk dua orang terakhir (wanita hamil dan menyusui dengan kasus seperti ini), selain membayar fidyah, juga wajib meng-qadla’ puasa di hari lain.
Dengan demikian, ayat ini

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

di-naskh hukumnya untuk semua kaum muslimin selain orang-orang yang disebutkan di atas (lansia yang tak kuat puasa, penderita sakit tak bakal sembuh, wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan anaknya).

Penjelasan kedua

Wajib atas orang-orang yang (tidak) kuat berpuasa, untuk membayar fidyah, yakni memberi makan fakir miskin
 Jadi lafadh “yuthîqûna” maknanya adalah “menguat-nguatkan diri”, alias sebenarnya “tidak kuat”. Tafsir Jalalain menafsirinya dengan menyisipkan kata “” antara lafadh alladzîna dan yuthîqûnahû. Ini berpijak pada pemaknaan thâqah (mashdar / noun / kata benda dari yuthîqûna), yang diartikan sebagai “kuat dengan kepayahan”, atau “menguat-nguatkan diri”, sebawah level dari al-wus’u (الوسع), “kuat secara normal”, bukan kuat yang dipaksa-paksakan. Penafsiran ini didukung kenyataan adanya qira’ah (versi riwayat bacaan) dari riwayat Hafshah, bahwa ayat ini berbunyi

وَعَلَى الذين لا يُطِيقُونَهُ
dengan penyisipan “”.

Demikian sekilas coretan amburadul seputar tafsir ayat Al-Baqarah 184.

Siapa saja yang wajib membayar fidyah?

A.     Orang yang tidak mampu melakukan puasa, karena terlampau tua, kondisi fisik lemah, atau penyakit yang sulit diharapkan kesembuhannya. Mereka boleh tidak berpuasa, dan diharuskan menggantinya dengan pembayaran fidyah, jika : puasa menjadikannya payah di luar batas kewajaran, atau setara dengan kepayahan yang memperbolehkan tayammum, yakni :
1.      yang dapat menyebabkan kematian,
2.      hilangnya fungsi anggota tubuh, memperlambat kesembuhan, atau
3.      menambah sakit yang telah dialami.

B.     Wanita hamil atau menyusui yang khawatir atas keselamatan janinnya atau berkurang air susunya, diperbolehkan tidak berpuasa, dan menggantinya dengan fidyah 1 mud tiap harinya, selain juga wajib meng-qadla’ puasa di hari lain. Ini berbeda dengan wanita hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena semata-mata khawatir atas keselamatan dirinya, tanpa ada kekhawatiran akan keselamatan janin dan berkurangnya air susu, maka yang wajib baginya hanya meng-qadla’ puasa yang ditinggalkannya.
C.    Orang yang membatalkan puasa demi menyelamatkan nyawa atau fungsi anggota badan orang lain, atau hewan hampir mati yang hanya bisa diselamatkan dengan cara membatalkan puasa, seperti tindak penyelamatan korban yang tenggelam (yakni dengan cara berenang yang pasti akan membatalkan puasa). Ini adalah peng-qiyas-an dari wanita hamil atau menyusui yang tidak puasa demi orang lain (yakni anaknya).
D.    Orang yang memiliki tanggungan qadla’ puasa Ramadan, dan tidak segera dilunasi, padahal pasca Ramadan hingga Ramadan lagi, dia memiliki kesempatan melunasinya (tidak dalam kondisi sakit sepanjang tahun, juga tidak bepergian sepanjang tahun). Orang semacam ini, selain wajib meng-qadla’ puasa, juga wajib membayar fidyah 1 mud untuk satu hari puasa. Jika pun sampai Ramadan ketiga belum juga dilunasi tanpa adanya udzur, maka kewajiban qadla’ puasa tetap, dan ditambah fidyah sekali lagi. Demikian seterusnya, fidyah akan berlipat dengan bertambahnya ketertundaan hingga Ramadan tahun depannya lagi.
E. Orang yang meninggal dunia dan masih memiliki tanggungan qadla’ puasa, disebabkan tidak segera meng-qadla’nya, padahal ada kesempatan. Atau orang yang memiliki tanggungan qadla’ karena tidak berpuasa di bulan Ramadan tanpa adanya udzur, dan meninggal sebelum meng-qadla’nya. Orang yang meninggal dalam keadaan semacam ini, kerabat atau orang yang mendapat izin, wajib melakukan satu diantara dua opsi
1.      membayar fidyah 1 mud untuk tiap harinya, atau
2.  qadla’ puasa yang dilakukan oleh kerabat atau orang yang mendapat izin dari yang meninggal atau kerabatnya.
 Ketentuan Fidyah
Bentuk fidyah dalam hal ini adalah memberi makanan kepada fakir miskin sejumlah 1 mud (mud adalah ukuran volume, setara dengan 679,79 gram beras putih) untuk tiap harinya. Bahan makanan yang diberikan sebagai fidyah, ketentuannya sama dengan pembayaran zakat fitrah, yakni bahan makanan pokok daerah setempat.
 Wallâhu a’lam bish-shawâb
  
Sumber:  Pustaka
1.       Al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab
2.       Taqrîrât as-Sadîdah
3.       Tafsîr al-Alûsi
4.       Tafsîr al-Jalâlain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar