MADZHAB DALAM ISLAM II
4 MADZHAB DALAM ISLAM
|
Bermazhab atau mengaji (bertalaqqi) pada ulama bermazhab adalah kebutuhan bagi kaum muslim yang hidup pada zaman ini. Salah satu alasannya adalah dikarenakan
hadits yang telah dibukukan hanyalah sebagian saja dan sebagian lagi
dalam bentuk hafalan, dimana para penghafal hadits tersebut sudah tidak
dapat kita temukan lagi.
Syarat sebagi seorang mujtahid untuk menyampaik an kepada khalayak ramai adalah mengetahui dan memahami seluruh ayat-ayat Al Qur’an dan seluruh hadits karena keseluruha nnya saling terkait.
Walaupun Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas namun pemahaman yang dalam haruslah dilakukan oleh orang-oran g yang berkompete n (ahlinya).
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Kitab yang dijelaskan ayat-ayatn ya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Pada hakikatnya kita diperintah kan untuk mengikuti orang yang mengetahui Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Maka bertanyala h kepada orang yang mempunyai pengetahua n jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
Misalnya kita membeli air, apa hukumnya, tentunya mubah saja, namun bila
kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air
yang harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air,
dari mubah berubah menjadi wajib tentunya. karena perlu untuk shalat
yang wajib.
Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul shallallah u alaihi wasallam, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yang ada di imam imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib,
Karena kita tak bisa beribadah hal hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya
Hal yang harus kita ingat bahwa Al Qur’an pada awalnya tidaklah dibukukan. Ayat-ayat Al Qur’an hanya dibacakan dan dihafal (imla) kemudian dipahami bersama dengan yang menyampaik annya.
Hal yang akan dipertanya kan terhadap sebuah pendapat / pemahaman seperti :
Apakah yang kamu pahami telah disampaika n / dikatakan oleh ulama-ulama terdahulu yang tersambung lisannya kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam ?
Siapakah ulama-ulam a terdahulu yang mengatakan hal itu ?
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanl ah
(apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa).
Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-si aplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaik an satu ayat yang diperoleh dari orang yang disampaika n secara turun temurun sampai kepada lisannya Sayyidina Muhammad bin Abdullah Shallallah u alaihi wasallam.
Kita tidak diperkenan kan menyampaik an
apa yang kita pahami dengan akal pikiran sendiri dengan cara membaca
dan memahami namun kita sampaikan apa yang kita dengar dan pahami dari
lisan mereka yang sanad ilmunya tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallah u alaihi wasallam karena hanya perkataan Rasulullah shallallah u alaihi wasallam yang merupakan kebenaran atau ilmuNya
Dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah, sebaiknyal ah kita bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab. Tidak boleh kita memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandark an dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri (pemahaman secara ilmiah).
Para ulama telah menyampaik an bahwa jika memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan belajar sendiri (secara otodidak) melalui cara muthola’ah (menelaah kitab) dan memahaminy a dengan akal pikiran sendiri, kemungkina n besar akan berakibat negative seperti,
1. Ibadah fasidah (ibadah yang rusak) , ibadah yang kehilangan ruhnya atau aspek bathin
2. Tasybihill ah Bikholqihi , penyerupaa n Allah dengan makhluq Nya
Begitupula Rasulullah telah melarang kita untuk memahami Al Qur’an dengan akal pikiran kita sendiri
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Barangsiap a menguraika n Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhn ya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah
bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau
dengan apa saja yang diinginkan nya.” (Diriwayat kan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda…”Barangsiap a yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediaka n tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmid zi)
Imam Syafi’i ~rahimahul lah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimulla h mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustami y , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahf i 60) ; “Barangsiap a tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Baya n Juz 5 hal. 203
Sanad ilmu / sanad guru sama pentingnya dengan sanad hadits.
Sanad hadits adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan matan/ redaksi hadits dari lisan Rasulullah .
Sedangkan Sanad ilmu atau sanad guru adalah otentifika si atau kebenaran sumber perolehan penjelasan baik Al Qur’an maupun As Sunnah dari lisan Rasulullah .
Contoh sanad Ilmu atau sanad guru Imam Syafi’i ra
1. Baginda Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam
2. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
3. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
4. Al-Imam Malik bin Anas ra
5. Al-Imam Syafei’ Muhammad bin Idris ra
Al Imam Syafi’i ra mendapatka n penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Malik bin Anas ra,
Al-Imam Malik bin Anas ra mendapatka n penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra,
Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra mendapatka n penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra,
Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra mendapatka n penjelasan Al Qur’an dan As Sunnah dari lisannya Baginda Nabi Muhammad Shallallah u alaihi wasallam
Salah satu cara mempertaha nkan sanad ilmu atau sanad guru adalah dengan mengikuti pendapat/ pemahaman pemimpin ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak) alias Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para pengikut Imam Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as Sunnah.
Ulama yang tidak mau bermazhab , pada hakikatnya telah memutuskan rantai sanad ilmu atau sanad guru, berhenti pada akal pikirannya sendiri dimana didalamnya ada unsur hawa nafsu atau kepentinga n.
Marilah kita tegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mengikuti pemahaman / pendapat
Imam Mazhab yang empat dan penjelasan dari para ulama pengikut Imam
Mazhab sambil merujuk darimana mereka mengambil yaitu Al Quran dan as
Sunnah. Hal ini telah diuraikan dalam tulisan pada http:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2012/01/01/ tegakkan-uk huwah-isla miyah/
Marilah memahami Al Qur’an dan As Sunnah dengan bertalaqqi (mengaji) kepada ulama yang bermazhab ditambah dengan mutho’laah (menelaah) kitab-kita b Imam Mazhab dan para pengikutny a.
Ikutilah Imam Mazhab yang telah disepakati dalam suatu wilayah / negara agar mudah saling belajar dan saling mengingatkan .
Di negara kita, pada umumnya adalah bermazhab Imam Syafi’i .
Imam Syafi”i ~rahimahul lah adalah imam mazhab yang cukup luas wawasannya karena bertalaqqi (mengaji)
langsung kepada Salafush Sholeh dari berbagai tempat, mulai dari tempat
tinggal awalnya di Makkah, kemudian pindah ke Madinah, pindah ke
Yaman, pindah ke Iraq, pindah ke Persia, kembali lagi ke Makkah, dari
sini pindah lagi ke Madinah dan akhirnya ke Mesir. Perlu dimaklumi bahwa
perpindaha n beliau itu bukanlah untuk berniaga, bukan untuk turis, tetapi untuk mencari ilmu, mencari hadits-had its, untuk pengetahua n agama. Jadi tidak heran kalau Imam Syafi’i ~rahimahul lah lebih banyak mendapatka n hadits dari lisannya Salafush Sholeh, melebihi dari yang didapat oleh Imam Hanafi ~rahimahul lah dan Imam Maliki ~rahimahul lah
Namun dalam hal menetapkan perkara kewajiban yang jika ditinggalk an berdosa, menetapkan perkara larangan yang jika dilanggar berdosa dan menetapkan perkara pengharama n yang jika dilanggar berdosa atau membuat fatwa atau menetapkan penegakkan hukum syari’ah maka sebaiknya tetap memperband ingkan pendapat antara Imam Mazhab yang empat. Oleh karenanya pada perguruan tinggi Islam, fakultas syari’ah diperlukan jurusan perbanding an mazhab dan hukum.
Contoh ulama yang masih berpegang teguh kepada pemahaman/ pendapat Imam Mazhab yang empat adalah Mufti Mesir Profesor Doktor Ali Jum`ah sebagaiman a contoh yang terurai dalam tulisan padahttp:// mutiarazuhu d.wordpres s.com/ 2011/10/30/ hukum-penut up-muka/
Imam Mazhab yang empat, mereka bermazhab pada Rasulullla h melalui bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh . Jadi, kita mengikuti Imam Mazhab yang empat dengan bertalaqqi (mengaji) pada ulama bermazhab artinya bermazhab kepada Rasulullah shallallah u alaihi wasallam
Sedangkan mereka yang mengaku-ak u mengikuti pemahaman Salafush Sholeh , kenyataann ya mereka tidak bertalaqqi (mengaji) pada Salafush Sholeh. Mereka mengikuti pemahaman Salafush Sholeh melalui upaya pemahaman terhadap lafaz/ perkataan
Salafush Sholeh dengan akal pikiran mereka sendiri. Sehingga boleh
dikatakan mereka bermazhab dengan akal pikiran mereka sendiri atau
dengan kata lain mereka telah menjadikan akal pikirannya sendiri sebagai berhala atau yang disebut menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi)
Hal yang harus kita ingat selalu janganlah menjadikan akal pikiran kita sebagai berhala
Allah Azza wa Jalla berfirman,
اتَّخَذُوا أَحْبَارَه ُمْ وَرُهْبَان َهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31 )
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuha n selain Allah?”
Nabi menjawab, “tidak”
« أما أنهم لم يكونوا يعبدونهم ولكنهم كانوا إذا أحلوا لهم شيئاً استحلوه وإذا حرموا عليهم شيئاً حرموه »
“Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalk an sesuatu bagi mereka, mereka menganggap nya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamk an bagi mereka sesuatu, mereka mengharamk annya“
Pada riwayat yang lain disebutkan , Rasulullah bersabda ” mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalk an sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutin ya. Yang demikian itulah penyembaha nnya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-oran g
yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah
Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhn ya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 87).
Mereka yang mengada-ad a atau membuat perkara baru (bid’ah) yang bukan kewajiban menjadi kewajiban (ditinggal kan berdosa) atau sebaliknya , yang tidak diharamkan menjadi haram (dikerjaka n berdosa) atau sebaliknya dan yang tidak dilarang menjadi dilarang (dikerjaka n berdosa) atau sebaliknya adalah yang disebut sebagai ahli bid’ah.
Oleh karenanya ahli bid’ah termasuk pelaku perbuatan syirik, karena penyembaha n kepada selain Allah, penyembaha n diantara pembuat bid’ah (perkara baru) dengan pengikutny a, perbuatan yang tidak ada ampunannya .
Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda
إِنَّ اللهَ حَجَبَ اَلتَّوْبَ ةَ عَنْ صَاحِبِ كُلِّ بِدْعَةٍ
“Sesungguhn ya Allah menutup taubat dari semua ahli bid’ah”. [Ash-Shahi hah No. 1620]
Mereka yang tanpa disadari telah mengada-ad a dalam perkara agama, mengada-ad a dalam perkara perintah dan larangan berdasarka n akal pikiran mereka sendiri. Agama adalah perintahNy a dan laranganNy a
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani)
Mereka terjerumus kedalam kekufuran disebabkan antara lain,
1. Tanpa disadari telah menjadi ahli bid’ah, mengada-ad a atau membuat perkara baru (bid’ah) dalam perkara larangan maupun kewajiban yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkan Nya.
2. Terjerumus kekufuran dalam i'tiqod
Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabih at) memiliki makna-makn a khusus yang berbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Barangsiap a memahami kata wajh Allah, yad , ain dan istiwa sebagaiman a makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat) , ia kafir secara pasti.”
Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/ 1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat
Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna
Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu dari berpegang dengan
dzahir ayat dan hadis mutasyabih at, karena hal itu salah satu pangkal kekufuran” .
Begitupula peringatan yang disampaika n oleh khataman Khulafaur Rasyidin, Imam Sayyidina Ali ra dalam riwayat berikut,
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata : “Sebagian golongan dari umat
Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-oran g kafir.“
Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab
kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena
pengingkar an?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkar an. Mereka mengingkar i Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati- Nya dengan sifat-sifa t benda dan anggota-an ggota badan.” (Imam Ibn Al-Mu’alli m Al-Qurasyi (w. 725 H) dalam Kitab Najm Al-Muhtadi Wa Rajm Al-Mu’tadi ).
Mereka terjerumus dalam kekufuran sehingga menjadi musyrik, dan mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahada t
Firman Allah ta’ala yang artinya, “orang-ora ng yang paling keras permusuhan nya terhadap orang beriman adalah orang-oran g Yahudi dan orang-oran g musyrik” ( QS Al Maaidah [5]: 82 )
Jadi kalau mempunyai rasa permusuhan terhadap manusia yang telah bersyahada t atau memerangi manusia yang telah bersyahada t maka boleh jadi telah menjadi musyrik karena terjerumus kedalam kekufuran.
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallah u alaihi wasallam bersabda, “Sesungguh nya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-oran g yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-ora ng yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallah u alaihi wasallam bersabda: “Ya, karena mengada-ad akan di dalam agama (mengada-a da dalam perkara yang merupakan hak Allah ta’ala menetapkan nya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharama n) , apabila mereka mengerjaka n agama dengan pemahaman berdasarka n akal pikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarka n akal pikiran, sesungguhn ya agama itu dari Tuhan, perintah-N ya dan larangan-N ya.” (Hadits riwayat Ath-Thabar ani).
Firman Allah Azza wa Jalla,
“wai’tashi muu bihabli allaahi jamii’an walaa tafarraquu waudzkuruu ni’mata allaahi ‘alaykum idz kuntum a’daa-an fa-allafa bayna quluubikum fa-ashbaht um bini’matih i ikhwaanan“
“Dan berpegangl ah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah secara berjama’ah , dan janganlah kamu bercerai berai , dan ingatlah nikmat Allah atas kamu semua ketika kamu bermusuh-m usuhan maka Dia (Allah) menjinakka n antara hati-hati kamu maka kamu menjadi bersaudara ” (QS Ali Imron [3]: 103)
“Orang-ora ng beriman itu sesungguhn ya bersaudara ”. ( Qs. Al-Hujjara t :10)
“Hai orang-oran g yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangk an suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiN ya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-oran g
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan
orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan- Nya kepada siapa yang dikehendak i-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian -Nya), lagi Maha Mengetahui .” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Diriwayatk an hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallah u
alaihi wasallam bersabda: “Demi Allah, kalian tidak akan masuk surga
hingga kalian beriman. Belum sempurna keimanan kalian hingga kalian
saling mencintai. ” (HR Muslim)
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar