Edisi Ujian Madrasah Berbasis Komputer
Pondok Pesantren Darul Muwahhidin ( PPDM ) Wonosumo Desa Payungrejo Kecamatan Kutorejo Kabupaten Mojokerto Dirintis oleh KH Ihsan Ya'qub dan berkembang menjadi Majlis Ta'lim pada masa KH Harun Ihsan selanjutnya Direalisasikan Pendiriannya oleh KH Mas'ud Harun dan pada tahap berikutnya diasuh oleh KH Ahmad Thoyyib Harun.
DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.
Rabu, 18 Maret 2020
Senin, 13 Januari 2020
Hukum Mengucapkan Lafadh Sayyidina di luar dan di dalam Sholat
Pandangan Ulama Ahlussunnah Waljama'ah
Pada gambar di atas menyatakan tidak boleh, kita hargai pendapat itu, tapi supaya adil kita hadirkan pendapat dari 4 Madzhab tentang masalah ini.
Andaipun tidak sepakat, ya tidak apa-apa juga.
Andaipun tidak sepakat, ya tidak apa-apa juga.
Berikut kutipannya.
Dalam kitab Hasyiah Syarwani ala Tuhfatul Muhtaj li Ibni Ibni Hajar Al-Haitami, beliau Imam asy-Syarwani mengatakan:
(قَوْلُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ) وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ ظَهِيرَةَ وَصَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ وَإِنْ تَرَدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ، وَأَمَّا حَدِيثُ «لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ» فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ وَقَوْلُ الطُّوسِيِّ أَنَّهَا مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ شَرْحُ م ر اهـ سم عِبَارَةُ شَرْحِ بَافَضْلٍ وَلَا بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ اهـ وَقَالَ الْمُغْنِي ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ اعْتِمَادُ عَدَمِ اسْتِحْبَابِهَا اهـ وَتَقَدَّمَ عَنْ شَيْخِنَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ طَلَبُ زِيَادَةِ السِّيَادَةِ وَعِبَارَةُ الْكُرْدِيِّ وَاعْتَمَدَ النِّهَايَةُ اسْتِحْبَابَ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ اعْتَمَدَهُ الزِّيَادِيُّ وَالْحَلَبِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَفِي الْإِيعَابِ الْأَوْلَى سُلُوكُ الْأَدَبِ أَيْ فَيَأْتِي بِسَيِّدِنَا وَهُوَ مُتَّجِهٌ اهـ. قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ إلَخْ يُؤْخَذُ مِنْ هَذَا مِنْ سَنِّ الْإِتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ فِي الْأَذَانِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ تَعْظِيمُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِوَصْفِ السِّيَادَةِ حَيْثُ ذَكَرَ اهـ. حاشية الشرواني على تحفة المحتاج لابن حجر الهيتمي ج ٢ / ص ٨٦.
Dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri, Syaikh Ibrahim Albajuri mengatakan:
الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
Yang lebih utama adalah mengucapkan “sayyidina” (sebelum nama Nabi Saw), karena yang lebih utama adalah bersopan santun (kepada beliau).
Kedua ibarat di atas didasarkan kepada hadis:
قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (HR. Muslim).
Bagaimana dengan pendapat Madzhab lain?
وَذَكَرَ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ الْإِتْيَانَ بِهَا فِي الصَّلَاةِ يَنْبَنِي عَلَى الْخِلَافِ هَلْ الْأَوْلَى امْتِثَالُ الْأَمْرِ أَوْ سُلُوكُ الْأَدَبِ؟ ( قُلْت ) وَاَلَّذِي يَظْهَرُ لِي وَأَفْعَلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السَّيِّدِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69)
“Dia menyebutkan dari Syaikh Ibnu Abdissalam bahwa menambah lafad ‘Sayyid’ dalam shalat didasari perbedaan pendapat apakah yang utama mengikuti perintah Nabi atau melaksanakan etika? Saya berkata: Yang jelas bagi saya dan yang saya lakukan di dalam shalat atau lainnya adalah menyebut “Sayyid” (Mawahib al-Jalil 1/69)
وَنُدِبَ السِّيَادَةُ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ عَيْنُ سُلُوكِ الْأَدَبِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ ، ذَكَرَهُ الرَّمْلِيُّ الشَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ (رد المحتار – ج 4 / ص 91
“Dianjurkan membaca ‘Sayyid’, karena menyampaikan realitas adalah bentuk etika yang sebenarnya. Hal ini lebih utama daripada meninggalkannya. Hal itu juga disampaikan oleh Ramli al Syafii dan beberapa ulama lainnya” (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar, 4/91)
ﻭﺫﻛﺮ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﻟﺴﺨﺎﻭﻱ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺒﺪﻳﻊ ﻛﻼﻣﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ اﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69) “
Pendapat yang pertama (membaca Sayidina di luar shalat dan tidak membaca Sayidina dalam shalat) disampaikan oleh al-Hafidz as-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ dan Ibnu Muflih al-Hanbali.
Bagaimana dengan hadits yang berbunyi...
لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.
وَحَدِيثُ { لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ } بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ
Hadits yang berbunyi "Laa Tusayyiduunii fis sholati" adalah hadits yang batil dan tidak ada asalnya. (Asna al Matholib)
Karena Dari segi gramatika Arab pun menurut KH Muhyiddin Abdusshomad Jember tidak tepat. Asal kata “Sayyid” adalah سَادَ- يَسُوْدُ bukan سَادَ-يَسِيْدُ maka yang benar adalah لَا تُسَوِّدُوْنِيْ bukan لَا تُسَيِّدُوْنِيْ.
Oleh karena itu, pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW
Dalam kitab Hasyiah Syarwani ala Tuhfatul Muhtaj li Ibni Ibni Hajar Al-Haitami, beliau Imam asy-Syarwani mengatakan:
(قَوْلُهُ عَلَى مُحَمَّدٍ) وَالْأَفْضَلُ الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ ظَهِيرَةَ وَصَرَّحَ بِهِ جَمْعٌ وَبِهِ أَفْتَى الشَّارِحُ لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ بِمَا أُمِرْنَا بِهِ وَزِيَادَةُ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ الَّذِي هُوَ أَدَبٌ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ وَإِنْ تَرَدَّدَ فِي أَفْضَلِيَّتِهِ الْإِسْنَوِيُّ، وَأَمَّا حَدِيثُ «لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ» فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ وَقَوْلُ الطُّوسِيِّ أَنَّهَا مُبْطِلَةٌ غَلَطٌ شَرْحُ م ر اهـ سم عِبَارَةُ شَرْحِ بَافَضْلٍ وَلَا بَأْسَ بِزِيَادَةِ سَيِّدِنَا قَبْلَ مُحَمَّدٍ اهـ وَقَالَ الْمُغْنِي ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ اعْتِمَادُ عَدَمِ اسْتِحْبَابِهَا اهـ وَتَقَدَّمَ عَنْ شَيْخِنَا أَنَّ الْمُعْتَمَدَ طَلَبُ زِيَادَةِ السِّيَادَةِ وَعِبَارَةُ الْكُرْدِيِّ وَاعْتَمَدَ النِّهَايَةُ اسْتِحْبَابَ ذَلِكَ وَكَذَلِكَ اعْتَمَدَهُ الزِّيَادِيُّ وَالْحَلَبِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَفِي الْإِيعَابِ الْأَوْلَى سُلُوكُ الْأَدَبِ أَيْ فَيَأْتِي بِسَيِّدِنَا وَهُوَ مُتَّجِهٌ اهـ. قَالَ ع ش قَوْلُهُ م ر لِأَنَّ فِيهِ الْإِتْيَانَ إلَخْ يُؤْخَذُ مِنْ هَذَا مِنْ سَنِّ الْإِتْيَانِ بِلَفْظِ السِّيَادَةِ فِي الْأَذَانِ وَهُوَ ظَاهِرٌ لِأَنَّ الْمَقْصُودَ تَعْظِيمُهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - بِوَصْفِ السِّيَادَةِ حَيْثُ ذَكَرَ اهـ. حاشية الشرواني على تحفة المحتاج لابن حجر الهيتمي ج ٢ / ص ٨٦.
Dalam kitab Hasyiah Al-Bajuri, Syaikh Ibrahim Albajuri mengatakan:
الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ
Yang lebih utama adalah mengucapkan “sayyidina” (sebelum nama Nabi Saw), karena yang lebih utama adalah bersopan santun (kepada beliau).
Kedua ibarat di atas didasarkan kepada hadis:
قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ
Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (HR. Muslim).
Bagaimana dengan pendapat Madzhab lain?
وَذَكَرَ عَنْ الشَّيْخِ عِزِّ الدِّينِ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ أَنَّ الْإِتْيَانَ بِهَا فِي الصَّلَاةِ يَنْبَنِي عَلَى الْخِلَافِ هَلْ الْأَوْلَى امْتِثَالُ الْأَمْرِ أَوْ سُلُوكُ الْأَدَبِ؟ ( قُلْت ) وَاَلَّذِي يَظْهَرُ لِي وَأَفْعَلُهُ فِي الصَّلَاةِ وَغَيْرِهَا الْإِتْيَانُ بِلَفْظِ السَّيِّدِ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ . (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69)
“Dia menyebutkan dari Syaikh Ibnu Abdissalam bahwa menambah lafad ‘Sayyid’ dalam shalat didasari perbedaan pendapat apakah yang utama mengikuti perintah Nabi atau melaksanakan etika? Saya berkata: Yang jelas bagi saya dan yang saya lakukan di dalam shalat atau lainnya adalah menyebut “Sayyid” (Mawahib al-Jalil 1/69)
وَنُدِبَ السِّيَادَةُ لِأَنَّ زِيَادَةَ الْإِخْبَارِ بِالْوَاقِعِ عَيْنُ سُلُوكِ الْأَدَبِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهِ ، ذَكَرَهُ الرَّمْلِيُّ الشَّافِعِيُّ وَغَيْرُهُ (رد المحتار – ج 4 / ص 91
“Dianjurkan membaca ‘Sayyid’, karena menyampaikan realitas adalah bentuk etika yang sebenarnya. Hal ini lebih utama daripada meninggalkannya. Hal itu juga disampaikan oleh Ramli al Syafii dan beberapa ulama lainnya” (Ibnu Abidin, Rad al-Mukhtar, 4/91)
ﻭﺫﻛﺮ اﻟﺤﺎﻓﻆ اﻟﺴﺨﺎﻭﻱ ﻓﻲ ﺁﺧﺮ اﻟﺒﺎﺏ اﻷﻭﻝ ﻣﻦ اﻟﻘﻮﻝ اﻟﺒﺪﻳﻊ ﻛﻼﻣﻪ ﻭﺫﻛﺮ ﻋﻦ اﺑﻦ ﻣﻔﻠﺢ اﻟﺤﻨﺒﻠﻲ ﻧﺤﻮ ﺫﻟﻚ (مواهب الجليل في شرح مختصر الشيخ خليل – ج 1 / ص 69) “
Pendapat yang pertama (membaca Sayidina di luar shalat dan tidak membaca Sayidina dalam shalat) disampaikan oleh al-Hafidz as-Sakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ dan Ibnu Muflih al-Hanbali.
Bagaimana dengan hadits yang berbunyi...
لاَ تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلاَةِ
Janganlah kalian mengucapkan kalimat “sayyid” kepadaku dalam shalat.
وَحَدِيثُ { لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ } بَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ كَمَا قَالَهُ بَعْضُ مُتَأَخِّرِي الْحُفَّاظِ
Hadits yang berbunyi "Laa Tusayyiduunii fis sholati" adalah hadits yang batil dan tidak ada asalnya. (Asna al Matholib)
Karena Dari segi gramatika Arab pun menurut KH Muhyiddin Abdusshomad Jember tidak tepat. Asal kata “Sayyid” adalah سَادَ- يَسُوْدُ bukan سَادَ-يَسِيْدُ maka yang benar adalah لَا تُسَوِّدُوْنِيْ bukan لَا تُسَيِّدُوْنِيْ.
Oleh karena itu, pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah pelarangan memanggil “sayyid” kepada Rasulullah SAW
Disadur dari Pustaka M2HM Ensiklopedia Islam Aswaja
Langganan:
Postingan (Atom)