Minggu, 27 Juli 2014

Zakat Fitrah Dengan Uang

Permasalahan mengenai boleh atau tidaknya membayar zakat fitrah dengan menggunakan uang masing seringkali diperselisihkan dimasyarakat, untuk itu disini akan dijelaskan secara ringkas mengenai pendapat para ulama’ mengenai masalah ini, dengan tujuan agar hal ini tidak terus menerus menjadi perdebatkan.

Terdapat 2 pendapat berbeda mengenai hukum membayarkan zakat fitrah dengan menggunakan uang senilai zakat yang dikeluarkan.

Pendapat pertama:
Menurut pendapat mayoritas ulama’, dari kalangan madzhab Maliki, Syafi’i
dan Hanbali, mengeluarkan zakat fitrah dengan uang tidak diperbolehkan.
Salah satu dalilnya adalah hadits yang menyatakan bahwa Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhu mengatakan:

ﻓَﺮَﺽَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟﻔِﻄْﺮِﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺗَﻤْﺮٍ، ﺃَﻭْ ﺻَﺎﻋًﺎ ﻣِﻦْ ﺷَﻌِﻴﺮٍ

"Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau satu sha'gandum,” (Shahih Bukhari, no. 1503 dan
Shahih Muslim, no. 984).

Dari hadits diatas para ulama’ yang mendukung pendapat ini menyatakan bahwa apabila seseorang mengeluarkan zakat dengan uang yang senilai dengan apa yang telah ditetapkan, berarti ia mengeluarkan zakat tidak sesuai dengan ketentuan yang telah diwajibkan.

Pendapat kedua:
Sedangkan madzhab Hanafi berpendapat bahwa membayar zakat fitrah dengan uang yang senilai hukumnya boleh.

Para ulama’ madzhab Hanafi memahami bahwa tujuan disyari’atkannya zakat fitrah adalah agar semua orang Islam tercukupi kebutuhannya pada hari raya idul fitri, sebagaimana dijelaskan dalam satu hadits:

ﺃَﻏْﻨُﻮﻫُﻢْ ﻋَﻦْ ﺍﻟْﻤَﺴْﺄَﻟَﺔِ ﻓِﻲ ﻣِﺜْﻞِ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ

"Cukupilah kebutuhan (fakir miskin), agar mereka tidak meminta-minta pada hari seperti ini." (Sunan Daruqutni, no. 67)

Sedangkan mencukupi kebutuhan orang-orang fakir dan miskin tidak harus dengan makanan pokok, namun bisa juga dengan menggunakan uang, bahkan membayar zakat dengan uang itu lebih afdhol, karena dengan uang seseorang bisa memenuhi kebutuhannya seketika, sebab dengan uang mereka bisa membeli berbagai kebutuhannya.

Dari penjelasan singkat diatas kita tahu bahwa masalah ini termasuk permasalahan khilafiyah dimana para ulama’ yang berbeda pendapat masing-masing memiliki dasar yang kuat. Karena itu tak sepatutnya masalah ini terus menerus diperdebatkan, diperselisihkan apalagi sampai menimbulkan pertikaian dan perpecahan.

Wallahu a’lam.
Referensi:
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, juz 3 hal.
2044 - 2046 (Fiqih Perbandingan)
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ: ﺗﺠﺐ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻣﻦ ﺃﺭﺑﻌﺔ ﺃﺷﻴﺎﺀ: ﺍﻟﺤﻨﻄﺔ ﻭﺍﻟﺸﻌﻴﺮ ﻭﺍﻟﺘﻤﺮ ﻭﺍﻟﺰﺑﻴﺐ - ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ - ﺩﻓﻊ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻋﻨﺪﻫﻢ: ﻳﺠﻮﺯ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻴﺔ ﺃﻥ ﻳﻌﻄﻲﻋﻦ ﺟﻤﻴﻊ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﺩﺭﺍﻫﻢ ﺃﻭ ﺩﻧﺎﻧﻴﺮ ﺃﻭ ﻓﻠﻮﺳﺎ ﺃﻭ ﻋﺮﻭﺿﺎ ﺃﻭ ﻣﺎ ﺷﺎﺀ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﻘﻴﻘﺔ ﺇﻏﻨﺎﺀﺍﻟﻔﻘﻴﺮ، ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ‏« ﺃﻏﻨﻮﻫﻢ ﻋﻦﺍﻟﻤﺴﺄﻟﺔ ﻓﻲ ﻣﺜﻞ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻴﻮﻡ ‏» ﻭﺍﻹﻏﻨﺎﺀ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﺎﻟﻘﻴﻤﺔ، ﺑﻞ ﺃﺗﻢ ﻭﺃﻭﻓﺮ ﻭﺃﻳﺴﺮ؛ ﻷﻧﻬﺎ ﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﺩﻓﻊﺍﻟﺤﺎﺟﺔ، ﻓﻴﺘﺒﻴﻦ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺺ ﻣﻌﻠﻞﺑﺎﻹﻏﻨﺎﺀ.
ﺩﻓﻊ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻋﻨﺪﻫﻢ: ﻻ ﻳﺠﺰﺉ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﺠﻤﻬﻮﺭ ﺇﺧﺮﺍﺝ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻋﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺻﻨﺎﻑ، ﻓﻤﻦ ﺃﻋﻄﻰ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻟﻢ ﺗﺠﺰﺋﻪ، ﻟﻘﻮﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ : ‏« ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺻﺪﻗﺔ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺗﻤﺮ، ﻭﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﻴﺮ ‏» ﻓﺈﺫﺍ ﻋﺪﻝ ﻋﻦ ﺫﻟﻚ ﻓﻘﺪ ﺗﺮﻙ ﺍﻟﻤﻔﺮﻭﺽ.

Al-Mabsuth, juz 3 hal. 107 (Madzhab Hanafi)

ﻓﺈﻥ ﺃﻋﻄﻰ ﻗﻴﻤﺔ ﺍﻟﺤﻨﻄﺔ ﺟﺎﺯ ﻋﻨﺪﻧﺎ؛ ﻷﻥ ﺍﻟﻤﻌﺘﺒﺮﺣﺼﻮﻝ ﺍﻟﻐﻨﻰ ﻭﺫﻟﻚ ﻳﺤﺼﻞ ﺑﺎﻟﻘﻴﻤﺔ ﻛﻤﺎ ﻳﺤﺼﻞﺑﺎﻟﺤﻨﻄﺔ، - ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ - ﻭﻛﺎﻥ ﺍﻟﻔﻘﻴﻪ ﺃﺑﻮ ﺟﻌﻔﺮ -ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ - ﻳﻘﻮﻝ : ﺃﺩﺍﺀ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﺃﻓﻀﻞ؛ ﻷﻧﻪﺃﻗﺮﺏ ﺇﻟﻰ ﻣﻨﻔﻌﺔ ﺍﻟﻔﻘﻴﺮ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺸﺘﺮﻱ ﺑﻪ ﻟﻠﺤﺎﻝ ﻣﺎﻳﺤﺘﺎﺝ ﺇﻟﻴﻪ

Al-Mudawwanah, juz 1 hal. 392 (Madzhab Maliki)
ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ: ﻭﻻ ﻳﺠﺰﺉ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺃﻥ ﻳﻌﻄﻲ ﻣﻜﺎﻥ ﺯﻛﺎﺓﺍﻟﻔﻄﺮ ﻋﺮﺿﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﺮﻭﺽ، ﻗﺎﻝ: ﻭﻟﻴﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﺃﻣﺮﺍﻟﻨﺒﻲ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ -، ﻭﺃﻥ ﻣﺎﻟﻜﺎ ﺃﺧﺒﺮﻧﻲﺃﻥ ﺯﻳﺪ ﺑﻦ ﺃﺳﻠﻢ ﺣﺪﺛﻪ ﻋﻦ ﻋﻴﺎﺽ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦﺳﻌﺪ ﺑﻦ ﺃﺑﻲ ﺳﺮﺡ ﺍﻟﻌﺎﻣﺮﻱ، ﺃﻧﻪ ﺳﻤﻊ ﺃﺑﺎ ﺳﻌﻴﺪ
ﺍﻟﺨﺪﺭﻱ ﻳﻘﻮﻝ: ﻛﻨﺎ ﻧﺨﺮﺝ ﺯﻛﺎﺓ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦﻃﻌﺎﻡ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺷﻌﻴﺮ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺗﻤﺮ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺃﻗﻂ ﺃﻭ ﺻﺎﻋﺎ ﻣﻦ ﺯﺑﻴﺐ .

Al-Majmu’, juz 6 hal. 144 (Madzhab Syafi’i)

ﻣﺴﺄﻟﺔ: ﻻ ﺗﺠﺰﺉ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﺑﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ ﻭﺃﺣﻤﺪ ﻭﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ. ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﻳﺠﻮﺯﻭﺣﻜﺎﻩ ﺍﺑﻦ ﺍﻟﻤﻨﺬﺭ ﻋﻦ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ﻭﻋﻤﺮ ﺑﻦﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻭﺍﻟﺜﻮﺭﻱ

Al-Mughni, juz 3 hal. 87 (MadzhabHanbali)
‏( ﻭﻣﻦ ﺃﻋﻄﻰ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ، ﻟﻢ ﺗﺠﺰﺋﻪ‏) ﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﺩﺍﻭﺩ ﻗﻴﻞ
ﻷﺣﻤﺪ ﻭﺃﻧﺎ ﺃﺳﻤﻊ: ﺃﻋﻄﻲ ﺩﺭﺍﻫﻢ - ﻳﻌﻨﻲ ﻓﻲ ﺻﺪﻗﺔﺍﻟﻔﻄﺮ - ﻗﺎﻝ : ﺃﺧﺎﻑ ﺃﻥ ﻻ ﻳﺠﺰﺋﻪ ﺧﻼﻑ ﺳﻨﺔ ﺭﺳﻮﻝﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .- ﻭﻗﺎﻝ ﺃﺑﻮ ﻃﺎﻟﺐ، ﻗﺎﻝﻟﻲ ﺃﺣﻤﺪ ﻻ ﻳﻌﻄﻲ ﻗﻴﻤﺘﻪ، ﻗﻴﻞ ﻟﻪ: ﻗﻮﻡ ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ، ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻛﺎﻥ ﻳﺄﺧﺬ ﺑﺎﻟﻘﻴﻤﺔ، ﻗﺎﻝ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻗﻮﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻭﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻗﺎﻝ ﻓﻼﻥ، ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ: ﻓﺮﺽ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ - ﺻﻠﻰﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .- ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : } ﺃﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺃﻃﻴﻌﻮﺍ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ
{ ‏[ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ: 59(

ﺩﻭﻥﺍﻟﺴﻨﻦ : ﻗﺎﻝ ﻓﻼﻥ، ﻗﺎﻝ ﻓﻼﻥ . ﻭﻇﺎﻫﺮ ﻣﺬﻫﺒﻪ ﺃﻧﻪ ﻻ ﻳﺠﺰﺋﻪ ﺇﺧﺮﺍﺝ ﺍﻟﻘﻴﻤﺔ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻛﻮﺍﺕ. ﻭﺑﻪﻗﺎﻝ ﻣﺎﻟﻚ، ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻲ ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺜﻮﺭﻱ، ﻭﺃﺑﻮ ﺣﻨﻴﻔﺔ: ﻳﺠﻮﺯ.

Rabu, 25 Juni 2014

Sujud Sahwi

Dalil dan Cara Sujud Sahwi (Dua sujud
sebelum salam)

by salafytobat

SUJUD SAHWI
Bismillah, Sujud artinya ketundukan baik itumenundukan kepala ke tempat yang lebih rendah ataupun suatu perbuatan yang mengisyaratkan kepada ketundukan itu sendiri, contohnya ketaatan.

Sedangkan Sahwi artinya Lupa, yaitu meninggalkan sesuatu dengan tidak sengaja. Jadi Sujud Sahwi adalah sujud dalam shalat yang dilakukan karena ada salah satu perbuatan shalat yang tertinggal secara tidak sengaja

Dalil sujud sahwi (dua kali sujud):
Contoh cara melakukan sujud sahwi sebelum salam dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah bin Buhainah,

ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺃَﺗَﻢَّ ﺻَﻠَﺎﺗَﻪُ ﺳَﺠَﺪَ ﺳَﺠْﺪَﺗَﻴْﻦِ ﻓَﻜَﺒَّﺮَ ﻓِﻲ ﻛُﻞِّ ﺳَﺠْﺪَﺓٍ ﻭَﻫُﻮَﺟَﺎﻟِﺲٌ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳُﺴَﻠِّﻢ
َ
“Setelah beliau menyempurnakan shalatnya, beliau sujud dua kali. Ketika itu beliau bertakbir pada setiap akan sujud dalam posisi duduk. Beliau
lakukan sujud sahwi ini sebelum salam.” (HR. Bukhari no. 1224 dan Muslim no. 570)

Contoh cara melakukan sujud sahwi sesudah salam dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah,

ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺛُﻢَّ ﻛَﺒَّﺮَ ﺛُﻢَّ ﺳَﺠَﺪَ ﺛُﻢَّ ﻛَﺒَّﺮَ ﻓَﺮَﻓَﻊَ ﺛُﻢَّ ﻛَﺒَّﺮَﻭَﺳَﺠَﺪَ ﺛُﻢَّ ﻛَﺒَّﺮَ ﻭَﺭَﻓَﻊ
َ
“Lalu beliau shalat dua rakaat lagi (yang tertinggal), kemudia beliau salam. Sesudah itu beliau bertakbir, lalu bersujud. Kemudian bertakbir lagi, lalu beliau bangkit. Kemudian bertakbir kembali, lalu beliau sujud kedua kalinya. Sesudah itu bertakbir, lalu beliau bangkit.” (HR. Bukhari no. 1229 dan Muslim no. 573)

Sujud sahwi sesudah salam ini ditutup lagi dengan salam sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Imron bin Hushain,

ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﺭَﻛْﻌَﺔً ﺛُﻢَّ ﺳَﻠَّﻢَ ﺛُﻢَّ ﺳَﺠَﺪَ ﺳَﺠْﺪَﺗَﻴْﻦِ ﺛُﻢَّ ﺳَﻠَّﻢَ .

“Kemudian beliau pun shalat satu rakaat (menambah raka’at yang kurang tadi). Lalu beliau salam. Setelah itu beliau melakukan sujud sahwi dengan dua kali sujud. Kemudian beliau salam lagi.” (HR. Muslim no. 574)

HUKUM SUJUD SAHWI

Madzhab Hanafi : Wajib dan berdosa bagi siapa yang meninggalkannya tetapi tidak membatalkan shalat. Dalil mereka sebagaimana diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri bahwasannya Rasulullah Saw bersabda : “jikalau salah satu diantara kalian ragu- ragu dalam shalatnya sehingga dia tidak mengetahui sudah mendapatkan berapa rakaat, tiga atau empat rakaat maka, hendaknya dia menghilangkan keragu-raguannya dan memantapkan keyakinannya kemudian hendaknya dia sujud dua kali sebelum salam, seandainya dia telah shalat sebanyak lima rakaat shalatnya tetap sah”

Madzhab Hanafi memaknai kalimat perintah dalam hadits tersebut sebagai perintah yang wajib dilaksanakan maka dari itu mereka mewajibkan sujud sahwi bagi yang lupa dalam mengerjakan rukun maupun kewajiban dalam shalat.

Madzhab Syafi‘i : Hanya wajib dalam keadaan tertentu yaitu ketika Imam melakukan sujud sahwi maka dalam keadaan seperti ini makmum wajib
melakukannya karena mengikuti Imam, jikalau makmum tidak mengerjakannya maka shalatnya batal dan wajib baginya mengulang shalat kembali.

Jikalau Imam tidak melakukan sujud sahwi maka tidaklah wajib bagi makmum untuk melakukannya melainkan hukumnya berubah menjadi sunnah dan sunnah ini hanya berlaku untuk individu masing-masing.

Madzhab Maliki : Sunnah baik itu bagi Imam maupun individu masing-masing.

Madzhab Hambali : Wajib hanya ketika seseorang meninggalkan rukun ataupun kewajiban-kewajiban dalam shalat, sunnah jika meniggalkan selain dua hal tersebut.

TATA CARA SUJUD SAHWI

Sujud Sahwi ialah sujud dua kali dengan mengucapkan takbir ketika merendahkan kepala hingga menyentuh lantai kemudian mengangkatnya lagi sambil mengucapkan takbir, di sujud yang kedua juga seperti sujud pertama kemudian duduk dan salam, tata cara ini dilakukan bagi yang mengerjakan sujud sahwi sebelum salam. Adapun yang mengatakan sujud sahwi dilakukan setelah salam maka dimulai dari duduk.

Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai tempat sujud sahwi, apakah dilakukan setelah salam atau sebelum salam.

Madzhab Hanafi mengatakan sujud sahwi dilakukan oleh seseorang yang shalat setelah salam kekanan saja[1] kemudian membaca tasyahhud setelah dua kali sujud dan salam setelah tasyahhud, jikalau tidak membaca tasyahhud maka ia telah meninggalkan hal-hal yang wajib tetapi shalatnya tetap sah, dan setelah tasyahhud sujud sahwi, wajib baginya salam, jikalau ia tidak salam maka telah meninggalkan hal yang wajib.

Apakah wajib berniat ketika sujud sahwi?

Sebagian dari ulama fikih Hanafi tidak mewajibkan niat, karena sujud sahwi ada untuk memperbaiki kekurangan yang ada dalam shalat, dan tidaklah
wajib berniat di setiap bagian-bagian yang temasuk dalam satu kesatuan seperti shalat maka, sujud sahwi tidak wajib baginya niat. Sedangkan sebagian yang lain mewajibkan niat, karena itu juga termasuk shalat dan tidaklah sah shalat tanpa niat, sebagaimana wajibnya niat untuk sujud tilawah maupun sujud syukur.

Sedangkan Madzhab Syafi‘i mengatakan bahwasannya sujud sahwi ialah sujud dua kali seperti dalam shalat dikerjakan sebelum salam, setelah tasyahhud dan shalawat atas Nabi Saw, berniat di dalam hati tidak diucapkan dengan lisan, karena berbicara dalam shalat dapat membatalkan shalat.

Madzhab Maliki mengatakan bahwa sujud sahwi yaitu dua sujud dan bertasyahhud setelah dua sujud tanpa doa dan shalawat keatas Nabi Saw,
jikalau sujud sahwi dikerjakan setelah salam maka ia harus sujud dan bertasyahhud dan wajib mengulangi salam kembali, seandainya ia tidak
mengulangi salamnya maka shalatnya tidak batal.

Madzhab Hambali: sujud sahwi yaitu dimulai dari takbir kemudian sujud dua kali setelah salam ataupun sebelum salam. Hanya saja mereka mengatakan bahwasannya sujud sahwi dilakukan sebelum salam adalah lebih baik kecuali dalam dua hal yakni:
Pertama: ketika kurang ataupun kelebihan rakaat dalam shalat, maka ia harus melengkapi kekurangannya kemudian sujud setelah salam.

Kedua: Ketika Imam ragu-ragu mengenai suatu hal di dalam shalat, kemudian ia menghilangkankeragu-raguannya dan memantapkan piihannya maka dalam hal ini sujud sahwi lebih baik dilakukan setelah salam.

SEBAB-SEBAB MENGERJAKAN SUJUD SAHWI
1. Ketika meninggalkan bacaan fatihah
2. Mengeraskan bacaan di dua rakaat terakhir
3. Meninggalkan Tuma’ninah
4. Meninggalkan duduk yang wajib dalam shalat, yaitu semua duduk kecuali duduk tasyahhud akhir. Barang siapa meninggalkan duduk tasyahhud awal atau duduk diantara dua sujud maka baginya sujud sahwi
5. Meninggalkan bacaan Tasyahhud pertama dan kedua
6. Memindahkan rukun bacaan dari satu tempat ke tempat yang lain, seperti membaca fatihah ketika ruku, membaca tasyahhud ketika sujud dan lain sebagainya, kecuali membaca surah sebelum fatihah maka tidak wajib baginya sujud sahwi.
7. Ragu-ragu dalam jumlah rakaat shalat
8. Meninggalkan hal-hal yang sunah dalam shalat tidaklah wajib sujud sahwi melainkan ada beberapa hal yang masuk pengecualian menurut tiap-tiap madzhab, seperti doa kunut ketika shalat subuh dan shalat witir di pertengahan bulan Ramadhan dan itu menurut Madzhab Syafi’i.

Sedangkan ulama fikih yang lain hanya memasukkan doa kunut diwaktu shalat witir saja.

Apakah sujud sahwi hanya dilakukan ketika seseorang hanya lupa satu kali atau lebih?

Para ulama sepakat, bagi siapa saja yang lupa terus-menerus atau berkali-kali lebih dari satu kali di dalam shalat maka kesemua itu juga termasuk jenis lupa. Jadi, cukup baginya sujud sahwi, walaupun banyaknya kelupaan tersebut bukan bagian dari shalat, seperti berbicara atau membalas salam dengan tidak sengaja. Ada juga sebagian yang berkata bahwa jumlah sujud sahwi ditentukan oleh jumlah tempat-tempat yang ia lupa.

Wallahu a‘lam bi’s s-Shawwâb

Bacaan dalam sujud sahwi ada 3 pendapat:
1. Do’a Ketika Sujud Sahwi
Sebagian ulama menganjurkan do’a ini ketika sujud sahwi,

ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﻣَﻦْ ﻟَﺎ ﻳَﻨَﺎﻡُ ﻭَﻟَﺎ ﻳَﺴْﻬُﻮ

“Subhana man laa yanaamu wa laa yas-huw” (Maha Suci Dzat yang tidak mungkin tidur dan lupa).[4]
2. Bacaannya sama dengan sujud dalam shalat:
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺭَﺑِّﻰَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ

“Subhaana robbiyal a’laa” [Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi]
atau:
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﺑِﺤَﻤْﺪِﻙَ ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺍﻏْﻔِﺮْ ﻟِﻰ

“Subhaanakallahumma robbanaa wa bi hamdika, allahummaghfirliy.” [Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu,
ampunilah dosa-dosaku] [6]

[1] Jikalau ia telah mengucapkan salam kedua maka telah gugur kewajibannya untuk mengerjakan sujud sahwi tetapi jikalau ia mengerjakan salam yang kedua dengan segaja maka ia telah berdosa karena meninggalkan yang wajib.

Sumber: Fiqh ‘ala madzhabi arba’ah.

Jumat, 18 April 2014

DALIL TAHLIL TAHLILAN 7 40 100 1000 HARI

Pada saat ulama menyebarkan Islam di Indonesia, di wilayah Indonesia sudah ada kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Kebiasaan (adat) ini sudah mengakar dimasyarakat disaat itu, artinya telah menjadi adat masyarakat. Oleh karenanya, ulama yang mendakwah Islam kemudian mengubah hal-hal yang bertentangan dengan syara’ (yaitu yang berisi kemusyrikan) dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a,/ dzikir berjama’ah, permohonan ampun (istighfar), pembacaan al-Qur’an dan dzikir-dzikir lainnya, tanpa mengubah kebiasaan (adat) sehingga tidak lagin bertentangan dengan syariat. Tentunya semua itu bukan tanpa pertimbangan dengan syariat Islam, bahkan hal itu sudah dipertimbangan dan dipantau dengan kaca mata syariat Islam oleh para ulama dengan sangat bijaksana.

Jika kita mengkaji, apa yang menjadi pertimbangan dan kebijaksaan ulama lebih mendalam maka kita akan menemukan banyak hal yang membenarkan hal itu, sebab adat (kebiasaan) itu hukumnya boleh dalam syariat Islam, sesuai kaidah ushul fiqh “ al ‘adatu muhkamatun” adat itu merupakan hukum, dengan catatan bahwa adat tersebut tidak lagi bertentangan dengan Al qur’an dan As sunnah dan juga ijma’ para ulama salaf(terdahulu)

Oleh karena itu mari kita mencoba menyingkap beberapa ilmu yang menjadi pertimbangan para ulama tentang hal ini.
Kita tarik satu masalah , yaitu tentang pelaksanan dzikir dan do’a berjamaah guna menghibur shohibul mushibah dan mendoakan mayit yang baru saja meninggal dunia atau biasa dikenal dengan acara “tahlilan “.

Pelaksanaan tahlilan atau dzikir bersama untuk mendo’akan saudara muslim yang telah mendahului kita pada malam ke 1 sampai malam ke 7 merupakan suatu sunnah yang baik, begitu juga dengan hari hari berikutnya, yang biasa dilakukan oleh masyarakat muslim yaitu pada hari ke 7, 40, 100, dan haul.

Salah satu keterangan yang digunakan diantaranya
Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad didalam az-Zuhd dan al-Hafidz Abu Nu’aim didalam al-Hilyah tentang anjuran memberi makan setelah kematian ;

قال الإمام أحمد بن حنبل رضي الله عنه في كتاب الزهد له حدثنا هاشم بن القاسم قال ثنا الاشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الأيام. قال الحافظ أبو نعيم في الحلية حدثنا أبو بكر بن مالك ثنا عبد الله بن أحمد ابن حنبل ثنا أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا الأشجعي عن سفيان قال قال طاووس إن الموتى يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام.

“Imam Ahmad bin Hanbal radliyallahu ‘anh berkata : “Menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, ia berkata, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata : Thawus berkata, “sesungguhnya orang mati terfitnah (ditanya malaikat) didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka mengajurkan supaya memberikan makanan (yang pahala) untuk mereka pada hari-hari tersebut”.

Al-Hafidz Abu Nu’aim berkata : “Menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Malik, menceritakan kepada kami Abdulllah bin Ahmad Ibnu Hanbal, menceritakan kepada kami Hisyam bin al-Qasim, menceritakan kepada kami al-Asyja’iy dari Sufyan, ia berkata, Thawus berkata : sesungguhnya orang mati terfitnah didalam kubur mereka selama 7 hari, maka mereka menganjurkan agar bersedekah makanan yang pahalanya untuk mereka pada hari-hari tersebut”

Hal ini sesuai dengan hadis Shohih yang diriwayatkan oleh imam Muslim dan imam Bukhori tentang masalah sampainya pahala sedekah kepada mayit:

“dari A’isyah, bahwasanya ada seorang lelaki mendatangi Nabi S.A.W dan berkata, Ya Rasulallah, sesungguhnya ibuku telah mati, dan dia tidak memberikan wasiyat, dan aku menyangkanya, apabila dia berbicara dia akan bersedekah, apakah dia akan mendapakat pahala bila aku bersedekah atasnya? Nabi menjawab : Na’am (iya).( Shohih Muslim , hadits no 1672)

“Dari Ibnu Abbas ra menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang menemui Rasulullah SAW dan mengatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia, lantas apakah ibunya akan mendapat manfaat jika dia bersedekah atas namanya? Rasulullah SAW menjawab : “Ya (bermanfaat baginya).” Kemudian lelaki itu menyedekahkan kebunnya atas nama ibunya dengan disaksikan oleh Rasul SAW.
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad)

Hadits lain yang bersesuaian sebagai pendukung hadits diatas, yang diriwayatkan oleh imam ahmad bin Hanbal,

قال ابن جريج في مصنفه عن الحارث ابن أبي الحارث عن عبيد بن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فأما المؤمن فيفتن سبعا، وأما المنافق فيفتن أربعين صباحا.

“Ibnu Juraij didalam mushnafnya berkata, dari al-Harits Ibnu Abi al-Harits dari ‘Ubaid bin Umair, ia berkata ; dua laki-laki terfitnah yakni mukmin dan munafik, adapun orang mukmin terfitnah selama 7 hari, sedangkan orang munafik terfitnah selama 40 hari”.

Demikian juga mendo’akan orang mati dan dzikir-dzikir lain adalah tidak apa-apa (boleh) dilakukan di hari-hari apa saja atau menentukannya sesuai keadaan tertentu apalagi dipandangan sebagai sebuah kemaslahatan dan tidak ada larangannya, sebab pengkhususan hari-hari tertentu dalam melakukan amal-amal kebaikan adalah boleh. al-Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaniy asy-Syafi’i mengatakan ketika mengomentari hadits al-Bukhari no. 1118, sebagai berikut ;

“Dan didalam hadits ini jalurnya diperselisihkan, yang menunjukkan atas kebolehkan (jaiz) pengkhususan sebagian hari-hari dengan amal-amal shalihah dan berkelanjutan (terus-terusan) melakukannya”.

Dengan demikian, tidaklah masalah menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan amal-amal shalih, dan ini tidak hanya dalam hal tahlilan saja, termasuk kegiatan-kegiatan lainnya,

Menentukan hari-hari tertentu untuk melakukan dzikir bersama atau tahlilan pada malam ke 7, 40, 100 dst , ini tergolong kedalam Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik) sebagaimana yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khotab ra. Dalam hadis berikut :

“Dari Abdurrahman bin Abdul Qarai, beliau berkata: “Saya keluar bersama Umar Bin khatab (Khalifah Rasyidin) pada suatu malam bulan Ramadhan ke Mesjid Madinah. Di dalam mesjid itu orang-orang shalat tarawih bercerai-berai. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan beberapa orang di belakangnya. Maka Umar RA berkata : ”Saya berpendapat akan mempersatukan orang-orang ini. Kalau disatukan dengan seorang imam sesungguhnya lebih baik, serupa dengan shalat Rasulullah”. Maka beliau satukan orang-orang itu shalat di belakang seorang Imam, namanya Ubai bin Ka’ab.
Kemudian pada suatu malam kami datang lagi ke mesjid, lalu kami melihat orang shalat berjama’ah di belakang seorang Imam. Umar RA. berkata : ”INI ADALAH BID’AH YANG BAIK”. (Shahih Bukhari Juz I hal. 242)

Coba kita perhatikan yang dilakukan para ulama yaitu mengumpulkan masyarakat yang melakukan kebiasaan (adat) yang isinya adalah ibadah (non-Islam) yang bertentangan dengan syariat Islam. Dengan menggantinya berupa amalan-amalan Islami seperti do’a/ dzikir berjama’ah , seperi halnya Khalifah Umar bin Khottob yang mengumpulkan umat yang bercerai berai dalam sholat tarawih menjadikan satu jamaah dengan satu imam yang dianggap lebih syar’i.

Lalu jika ditanya apa bid’ah hasanah dibenarkan dalam islam? Jawabnya jika memang bid’ah hasanah tidak dibenarkan maka sama saja menuding khalifah Umar bin Khattab Ra sebagai pendosa karena telah melakukan perbuatan yang tidak diajarkan oleh Rosul.

Diantara dalil adanya pentakhsisan hadis “KULLU BID’ATIN DHOLALAH (SETIAP BID’AH ITU SESAT)” menjadi dua bagian yaitu Bid’ah Sayyiah(buruk) dan Bid’ah Hasanah (baik), yaitu terletak pada keumuman lafadznya yaitu menggunakan KULLUN yang bermakna majmu’ dan juga hadis hadis berikut (selain dari hadis diatas tentang perkataan umar adanya Bid’ah Hasanah) sebagai pentakhsisnya :

(1 )Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Sahabat (Ahlul Yamaamah) yg mereka itu para Huffadh (Hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra.

Berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra :
“Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas Ahlul Yamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlul Qur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata : Bagaimana aku berbuat suatu hal yg tidak diperbuat oleh Rasulullah..??
Maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dgn Umar, dan engkau (Zeyd) adalah pemuda, cerdas dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat) kau telah mencatat wahyu dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd : “Demi Allah, sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung-gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yg tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”
“Maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dgn mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an.” (Shahih Bukhari Hadits no.4402 & 6768)

(2) Dan dikuatkan dengan Hadis berikut :

من سنّ في الاسلام سنّة حسنة فعل بها بعده كتب له مثل أجر من عمل بها ولا ينقص من أجورهم شئ . من سنّ في الاسلام سنّة سيّئة فعل بها بعده كتب عليه مثل وزر من عمل بها ولا ينقص من أوزارهم شئ . (رواه مسلم)

“Barangsiapa yang mengadakan dalam islam SUNNAH HASANAH (sunnah yg baik) maka diamalkan orang (dikemudian hari) sunnahnya itu, maka diberikan kepadanya pahala sebagai pahala orang yang mengerjakan tersebut, dengan tidak mengurangi sedikit pun dari pahala orang yg mengerjakan kemudian hari itu
Dan Barangsiapa yang mengadakan dalam islam SUNNAH SAYIAH (sunnah yg buruk) maka diamalkan orang (dikemudian hari) sunnah yg buruk itu, maka diberikan kepadanya dosa seperti dosa orang yang mengerjakan tersebut, dengan tidak dikurangi sedikit pun dari dosa orang yg mengerjakan kemudian itu”. (HR. Muslim)

Hadis hadis diatas merupakan beberapa dalil yang digunakan oleh para imam mujtahid untuk ber ijthad. Ijtihad merupakan penetapan Hukum yang di formulasikan dari Al Qur’an dan As Sunnah, jadi intinya perbuatan Bid’ah yang hasanah tidak lepas dari Al qur’an dan As Sunnah, sebagaimana diterangkan dalam Hadis yang Shohih tentang Ijtihad:

Dari Rasululloh Saw ketika beliau mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bersabda, yang artinya:

“Bagaimana engkau menghukumi?.” Muadz berkata: “Aku akan menghukumi dengan apa yang ada di dalam Kitabullah.” Beliau bersabda: “Maka jika tidak ada dalam Kitabullah?.” Muadz menjawab: “Maka dengan sunnah Rasululloh Saw.” Beliau berkata lagi: “Maka jika tida ada dalam sunnah Rasululloh ?.” Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan fikiranku.” Rasululloh Saw bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq pesuruh Rasululloh Saw.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Darami)

WalHasil hal-hal seperti ini (tahlilan)merupakan hasil ijthad para ulama yang dapat dipertanggung jawabkan dengan Al qur’an dan As sunnah yang jauh dari kata kata sesat , khurafat, dholalah atau lainnya.

Ada sebagian golongan yang menganggap dan melarang hal semacam ini merupakan buat-buatan atau menambah-namabah syariat yang sudah sempurna dengan dalil ayat Al Qur’an :

“Hari inilah KUSEMPURNAKAN agamamu ini untuk kamu sekalian dengan Kucukupkan NikmatKu kepada kamu, dan yang Kuridhoi Islam inilah menjadi agama kamu.” (QS. Al Maidah : 3)

Berdasarkan penjelasan diatas hal semacam ini tidaklah menyimpang dari ayat ini, karena apa yang dilakukan para ulama tersebut bukanlah menambah nambah syariat dan tidak ada dasarnya, jadi jelaslah perkataan seperti itu adalah pemahaman yang sempit tentang makna sempurna dalam ayat tersebut dan hanya dalih untuk saling menyalahkan antara sesama muslim.

Sebagai tambahan untuk menutup kemungkinan sebagian golongan yang berpendapat dzikir berjamaah dan jahr merupakan perbuatan yang tidak diajarkan Rosululloh , padahal hal seperti ini Rosululloh Saw dan para Shahabatlah yang mengajarkan , karena itu saya lengkapi dengan hadis hadis Berikut :

Dalil dzikir bersama :

مَا مِنْ قَوْمٍ اجْتَمَعُوْا يَذْكُرُوْنَ اللهَ لَا يُرِيْدُوْنَ بِذَالِكَ إلَّا وَجْهَهُ تَعَالَى إلَّا نَادَاهُمْ مُنَادٍ مِنَ السَّمَاءِ أَنْ قُوْمُوْأ مَغْفُوْرًا لَكُمْ –أخرجه الطبراني

Tidaklah suatu kaum berkumpul untuk berdzikir dan tidak mengharap kecuali ridha Allah kecuali malaikat akan menyeru dari langit : Berdirilah kalian dalam keadaan terampuni dosa-dosa kalian.(HR. Ath-Thabrani)

Dalil dibolehkannya dzikir dengan Jahr (keras)
Rasulullah SAW bersabda :

يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَناَ عِنْدَ ظَنِّي عّبْدِي بِي وَأنَا مَعَهُ عِنْدَ ذَكَرَنِي، فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرًا مِنْهُ –منقق عليه

Allah Ta’ala berfirman : Aku kuasa untuk berbuat seperti harapan hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku senantiasa menjaganya dan memberinya taufiq serta pertolongan kepadanya jika ia menyebut nama-Ku. Jika ia menyebut nama-Ku dengan lirih, Aku akan memberinya pahala dan rahmat dengan sembunyi-sembunyi, dan jika ia menyebut-Ku secara berjama’ah atau dengan suara keras maka Aku akan menyebutnya di kalangan malaikat yang mulia.(HR Bukhari-Muslim)

Diantara dalil-dalil dzikir bersama:

Rasulullah SAW bersabda : “Apabila kalian melewati taman-taman surga, maka hendaklah kalian bersenang-senang padanya.” Para Sahabat beliau bertanya : “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau maksud dengan taman-taman surga?” Beliau pun menjawabnya : “Halaqah-halaqah dzikir.”
(HR. At-Tirmidzi dalam Sunan nya, juz 5 hal. 498 Kitabud Da`awat bab Ma Ja`a fi Aqdit Tasbih bil Yadi no hadits 3510 dari Anas bin Malik ra.)

Abu Said Al-Khudri ra menceritakan : Mu’awiyah bin Abi Sufyan pernah keluar dari rumahnya menuju masjid dan mendapati di masjid itu halaqah (posisi duduk segerombol orang dengan formasi lingkaran). Maka Mu’awiyah menanyai mereka: “Untuk apa kalian duduk-duduk di sini?” Mereka pun menjawab : “Kami duduk untuk berdzikir kepada Allah.” Mua’wiyah pun mengulang pertanyaannya sembari memastikan : “Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk itu?” Mereka pun menjawab: “Demi Allah, kami tidak duduk di sini kecuali untuk itu.” Maka Mu’awiyah menyatakan kepada mereka : “Tidaklah aku meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai kejujuran kalian. Dan tidaklah ada seorang pun yang kedudukannya dekat dengan Nabi SAW yang lebih sedikit dariku dalam meriwayatkan hadits Nabi SAW. Dan sesungguhnya Nabi SAW pernah di suatu hari keluar dari kamarnya ke masjid beliau dan mendapati satu halaqah dari para Sahabat beliau. Maka beliau pun menanyakan kepada mereka yang duduk di halaqah itu: (“Mengapa kalian duduk di sini?”) Mereka pun menjawab : (“Kami duduk di sini adalah untuk berdzikir kepada Allah dan bertahmid kepada-Nya karena Dia telah menunjuki kami kepada Islam dan telah memberi kami kenikmatan dengan agama ini.”).
Kemudian Rasulullah SAW mengatakan kepada mereka : (“Demi Allah kalian tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan itu?”). Maka mereka pun segera menjawab : (“Demi Allah kami tidak duduk di sini kecuali untuk keperluan tersebut.”) . Setelah mendapat jawaban demikian Nabi pun menyatakan kepada mereka : (“Ketahuilah, sesungguhnya aku tidaklah meminta kalian bersumpah karena aku mencurigai kalian. Akan tetapi, telah datang kepadaku Malaikat Jibril. Dia memberitahukan kepadaku bahwa Allah Yang Maha Agung dan Maha Mulia telah berbangga dengan majelis kalian di hadapan para Malaikat-Nya.”
(HR. Muslim dalam Shahih nya, juz 17 hal. 190 Kitab Adz-Dzikir wad Du’a wat Taubah wal Istighfar , Bab Fadl-lul Ijtima’ `ala Tilawatil Qur’an wa `ala Adz-Dzikri . Hadits ke 2701/40, Kitab Al-Haj no. 436 dan HR. Nasa’i dalam Kitab Al-Qudhat Bab 37)

Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah mempunyai malaikat yang berputar-putar di jalan-jalan untuk mencari orang-orang yang berdzikir. Maka bila mereka mendapati satu kaum yang sedang berdzikir kepada Allah, maka mereka pun saling panggil-memanggil dengan menyatakan : Kemarilah kalian karena di sini ada yang kalian cari.” Selanjutnya Nabi SAW menceritakan: “Maka para Malaikat itu merendahkan sayap-sayap mereka, demikian bertumpuk-tumpuk sampai ke langit terdekat (dengan bumi).”
Nabi SAW pun berkata : “Maka Tuhan mereka Yang Maha Agung dan Maha Mulia menanyai mereka dan Allah Maha Tahu dari mereka : “Apa yang diucapkan oleh hamba-hamba- Ku?” Maka para malaikat itu menjawab : “Mereka bertasbih kepada-Mu dan mereka bertakbir kepada-Mu dan mereka bertahmid kepada-Mu dan mereka mengagungkan Engkau.”
Kemudian Allah menanyai para malaikat itu : “Apakah mereka yang berdzikir itu pernah melihat Aku?” Para Malaikat pun menjawab : “Tidak, demi Allah mereka tidak pernah melihat Engkau.” Allah menanyakan lagi : “Bagaimana seandainya mereka melihat Aku.” Maka para Malaikat pun menyatakan : “Seandainya mereka melihat Engkau, niscaya ibadah mereka kepada-Mu akan lebih kuat, dan mereka akan lebih kuat semangatnya dalam mengagungkan-Mu dan lebih banyak bertasbih kepada-Mu.”
Kemudian Allah menanyai para malaikat itu: “Apakah yang mereka minta dari-Ku?” Para malaikat pun menjawab : “Mereka meminta dari-Mu surga.” Allah bertanya lagi kepada para Malaikat-Nya: “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab oleh malaikat : “Tidak pernah mereka melihatnya demi Allah.” Selanjutnya Allah bertanya lagi : “Bagaimana pula kalau mereka pernah melihatnya?” Malaikat menjawab : “Seandainya mereka pernah melihatnya, niscaya mereka akan lebih besar keinginannya untuk mendapatkannya, dan lebih kuat semangatnya untuk meminta dan mencapainya.” Allah bertanya lagi : “Dan apakah yang mereka berlindung daripadanya? ” Para Malaikat itu menjawab : “Mereka memohon perlindungan kepada-Mu dari api neraka.” Allah pun bertanya : “Apakah mereka pernah melihatnya?” Dijawab oleh Malaikat : “Tidak, demi Allah mereka belum pernah melihatnya.” Kemudian Allah menanyakan lagi : “Bagaimana pula kalau seandainya mereka pernah melihatnya?” Malaikat menjawab : “Mereka akan lebih kuat semangat menghindarinya dan akan lebih takut daripadanya.” Maka Allah menyatakan kepada para Malaikat itu : “Aku jadikan kalian sebagai saksi, bahwa Aku mengampuni dosa-dosa mereka.” Maka berkatalah salah satu dari para Malaikat itu: “Di majelis dzikir itu ada si fulan yang sesungguhnya bukan dari mereka yang berdzikir itu. Dia datang ke majelis itu untuk satu keperluan.” Allah pun menyatakan: “Mereka itu adalah majelis yang tidak akan celaka siapa pun yang duduk di majelis itu.”

(HR. Bukhari dalam Shahih nya, lihat Fathul Bari juz 11 hal. 208 no hadits 6408 Kitabud Da’awaat bab Fadl-lu Dzikrillahi `Azza wa Jalla dan HR. Muslim dalam Shahih nya Kitab Ad-Dzikir no.25)

Demikianlah sebagian dalil-dalil dzikir bersama dari sekian banyak hadits-hadits shahih yang menerangkannya.

Semoga dapat kita ambil manfaat dengan pemahaman yang sebaik-baiknya.. amiin ya Robbal ‘alamiin.

Kamis, 27 Maret 2014

Aliran Sesat

ALIRAN SESAT

DI indonesia aliran dan fahaman sesat tumbug dgn subur sbagian mrka ada yg merapat ke penguasa utk mncari perlindungan sebagian yg lain bersandar pda bantuan asing utk menopang kehidupannya namun tak sedikit merka yg berdiri sendiri mengoyak ngoyak akidah umat

- AJARAN TEGUH ESA
Teguh Esa adalah novelis yang dikagumi anak muda era 1980 an ia berpendapat hadist2 bukhori dan muslim sesat dan menyesatkan karena sikapnya yg nyeleneh trsbut pada tahun 1982 Majelis Ulama Indonesia menganggapnya sebagai ingkar sunnah

- ALIRAN PEMBAHARU ISA BUGIS
Aliran/sekte ini menolak semua cerita mukjizat Nabi dan Rosul seperti diceritakan Al Qur'an, kisah Nabi Isa saat membelah laut dengan tongkatnya misinya menurut pahaman Isa Bugis hanyalah dongeng lampu aladin yang berasal dari bagdad iraq, ia juga menolak ilmu2 islam sprti fiqih, tauhid dll, menurut pahaman isa bugis ilmu trsbut tidak pernah di ajarkan islam dan oleh karena itu orang yang mempelajarinya termasuk syirik, ulama yang mengajarkan seperti itu menurutnya harus di singkirkan ke pulau seribu

- GERAKAN LEMBAGA KERASULAN
Aliran ini mempunyai paham, rosul itu di utus oleh Allah sampai hari kiamat rosul itu person-nya oleh karena itu harus ada satu lembaga yang mengatur segala persoalan, aliran ini beranggapan lembaga kerosulan ibarat sebuah departemen dalam sebuah pemerintahan walaupun mentrinya (AMIR) berganti ganti namun departemennya harus ada utk keperluan itulah merka mendirikan lembaga kerasulan.

- SYIAH
syia menganggap qada dan qadar tidak termasuk rukun iman karena tidak percaya kepada qada dan qadar maka kematian cucu Rosulullah SAW di padang karbala yang cukup tragis itu mereka ratapi memukul mukul tubuhnya sendiri hingga berlumuran darah dengan alasan kecintaan kepada cucu Rosulullah trsbt para golongan syiah memukul2 badan, dada, kepala hingga bercucuran darah padahal Uslam tidak pernah menganjurkan perbuatan menganiyaya diri sendiri hingga bercucuran darah termasuk perbuatan terlarang dalam Islam, mereka tidak mengakui ke khalifahan sahabat Rosulullah seperti Abu Bakar, Umar dan Ustman mereka hanya mengakui Ali bin Abi Tholib sebagai khalifah pengganti Rosulullah..

Nikah mut'ah (nikah antar waktu) bagi kaum syiah sesuatu yang halal alias tidak haram menurut mereka ketimbang seseorang berbuat zina maka kawin mut'ah boleh2 saja padahal nikah mut'ah ini sudah dihapus oleh Rosulullah

- Wahabi
Aliran ini........
Bersambung.........

Rabu, 12 Maret 2014

Hukum Sambal Terasi

Sambel Trasi - By Google
HUKUM KESUCIAN TERASI
Kita tahu bahwa pembuatan terasi adalah dari ikan ikan kecil yang digiles bareng dengan kotoran kotorannya.

Apakah dengan adanya kotoran kita tidak boleh memasak dengan terasi ?
Dalam hal ini Imam Ibnu Hajar dan Imam Romli sepakat bahwa apa saja yang terdapat dalam ikan ikan kecil, baik darah atau kotoran dianggap suci dan diperbolehkan memakannya meskipun bersamaan kotoran. Bahkan Imam Romli memutlakkan, baik ikan besar atau kecil sama saja.

وعبارته : وقد اتفق ابن حجر وزياد و م ر وغيرهم على طهارة ما في جوف السمك الصغير من الدم والروث وجواز أكله معه وإنّه لا ينجس به الدهن بل جرى عليه م ر الكبير ايضا لأن لنا قولا قويا أن السمك لادم له . إهـ ( بغية المشترسدين ص 15 )

وأما حكم الروث فيعفى عنه في السمك الصغير دون الكبير فلا يجوز أكله إذا لم ينزع ما في جوفه لامتزاج لحمه بفضلاته التي في باطنه بواسطة الملح. (نهاية الزين ج: 1 ص: 43

dalam Bughyah

(مسألة: ب): ذهب بعضهم إلى طهارة روث المأكول، بل ذهب آخرون إلى طهارة جميع الأرواث حتى من الكلب إلا الآدمي


Minggu, 02 Maret 2014

FAHAM / MADZHAB SYIAH ( SYI'AH - SHIA ) DAN FIRQAH FIRQOH SYI'AH

Illustrasi Gambar syiah dgn 12 imam (google image : syiah)


BERSIKAP ADIL DALAM MEMAHAMI FAHAM SYIAH ( SYI'AH - SHIA ) DAN FIRQAH FIRQOH SYI'AH.

Aswaja terbebas dan tidak mau dikaitkan2 dalam penyesatan syi'ah secara mutlak, Imam Syafei menyatakan sbb :

In kaana rofdlonhubbu ila Muhammadin - Fal yasyahadisy syaqolanu inni rofdiyyi. 
"Jika saya akan dituduh orang Syi'ah karena saya mencintai keluarga Muhammad, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin
bahwa saya ini adalah penganut Syi'ah"


Pernyataan tersebut dilontarkan beliau pada saat kekhalifahan beliau dan berhasil menyatukan umat yang sedang dilanda perpecahan kedalam satu wadah "Ahlul Sunnah Wal Jamaah".

Hendaknya kita jangan terperosok kedalam dikotomi yang seakan akan Sunni benar, Syiah Sesat atau sebaliknya Syiah Benar Sunni Sesat, akan tetapi kajilah secara bijaksana dan bacalah sejarah dengan keimanan kita kepada Alloh SWT dan Kecintaan kita kepada Rasulullah SAWW dan hayatilah ayat berikut ini yang disebut ummul Sholawat : "Innalloha wamala'ikatahu yussoluna alannabi - Ya ayyuhalladzi na 'amanu sollu alaihi wassalimu taslima" (QS Al-Ahzaab 33:56) .

Menurut bahasa, kata Syiah berarti pendukung. Seperti Syiah Ali berarti pendukung Ali, Syiah Muawiyah berarti pendukung Muawiyah. Pada dasarnya di masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali belum ada Syiah yang berarti aliran secara resmi, sekalipun nama itu telah ada dan berkumandang, seperti pada saat pemilihan khalifah ke III, yaitu Utsman bin Affan ada sekelompok masyarakat yang mendukung Ali bin Abu Thalib, tetapi setelah umat Islam memutuskan memilih Utsman bin Affan sebagai khalifah pengganti Umar bin Khatthab r.a., maka yang tadinya kelompok yang mendukung Ali bersatu untuk mendukung Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah, termasuk Ali bin Abu Thalib r.a. Dengan demikian, sejarah organisasi atau aliran yang bernama Syiah pada saat itu secara resmi belum ada.

Dalam kitab At-Ta'rifat disebutkan bahwa Syiah adalah mereka yang mendukung Ali bin Abu Thalib r.a. sebagai khalifah, dan mereka mengatakan bahwa kepemimpinan tidak akan keluar dari Imam Ali dan cucu-cucunya. Awal Munculnya Syiah Setelah terjadi perang saudara antara Ali bin Abu Thalib dan Muawiyah, maka mulailah muncul nama Syiah sebagai nama sebuah aliran atau golongan, yang saat itu kelompok Syiah adalah suatu kelompok yang sangat gigih membela Khalifah Ali bin Abu Thalib, sekalipun kelompok Muawiyah juga disebut Syiah dalam arti pembela atau pendukung Muawiyah dan bukan nama sebuah kelompok atau aliran resmi.

Hal itu terbukti bahwa dalam pelaksanaan perjanjian "Tahkim" di mana di dalam perjanjian itu disebutkan bahwa apabila orang yang ditentukan itu berhalangan, maka diisi oleh orang-orang dari Syiah masing-masing, namun kedua kelompok itu, baik Syiah Ali atau Muawiyah sama-sama Ahli Sunnah wal-Jamaah, mereka mengikuti ajaran Nabi saw. secara utuh tanpa membuat-buat ajaran sendiri, seperti yang terjadi pada aliran-aliran Syiah saat ini, yang ajarannya merupakan racikan sendiri, sekalipun ada sekelompok Syiah yang masih berpegang teguh dengan ajaran Allah dan rasul- Nya secara utuh.

Firqah-Firqah Syiah

Firqah-Firqah Syiah Secara umum kelompok Syiah dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok besar. Sebab firqah-firqah Syiah yang jumlahnya mencapai ratusan dan sebagian riwayat menyebutkan sampai 300 aliran itu semua bermuara dari empat kelompok besar tersebut.

Syiah Al-Mukhlashin Yaitu kelompok Syiah yang pada saat Ali bin Abu Thalib menjadi khalifah telah ada, mereka ini terdiri dari kalangan muhajirin dan anshar yang mendukung Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah, mereka tidak mengafirkan, mencaci, menghina, dan membenci shahabat, mereka juga berpegang teguh dengan ajaran Allah dan rasulNya secara utuh dan tidak membuat ajaran sendiri, tidak menambah, mengurangi, mengubah, atau memalsukan ajaran Islam.

Syiah Tafdliliyah Yaitu kelompok Syiah yang sepenuhnya mendukung Khalifah Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah, melebihi sahabat Nabi saw. lainnya, namun mereka juga tidak mengkafirkan, mencaci, menghina, atau membenci para sahabat Nabi saw., seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman.

Syiah As-Sab'iyah Kelompok Syiah ini juga disebut Syiah At-Tabri'iyah. Kelompok Syiah inilah yang mengkafirkan, mencaci, dan menghina sahabat Nabi saw., seperti Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Mereka berlebihan dalam memuji sahabat Ali dan membelanya dan bahkan ada yang menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib adalah nabi, ada pula yang mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan.

Syiah GhulatYaitu kelompok Syiah yang mengatakan secara terang-terangan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah Tuhan, bahkan Al-Jahd mengatakan bahwa roh Allah adalah roh Ali bin Abu Thalib. Kelompok Syiah ini pecah menjadi 24 golongan.

Perpecahan di Tubuh Syiah Berpangkal dari empat kelompok besar tersebut, Syiah pecah menjadi puluhan bahkan ratusan golongan, dan tiap-tiap golongan mempunyai ajaran yang kadang-kadang berbeda akidah dan syariatnya antara satu dengan yang lainnya. Ada yang jauh dari ajaran Islam dan ada yang masih berpegang teguh dengan ajaran Islam secara utuh, ada pula yang mencampur adukkan antara ajaran Islam dengan ajaran para imam mereka. Lain dari itu, tidak semua kelompok Syiah dapat berkembang sampai saat ini, hanya ada beberapa kelompok Syiah yang sampai saat ini masih eksis, seperti Syiah Imamiyah yang saat ini berkembang di berbagai negara Islam di dunia ini. Sebagai contoh adanya perpecahan di tubuh Syiah adalah perpecahan yang terjadi di tubuh Syiah Saba'iyah dan Syiah Ghulat.
  • Syiah Ghulat Syiah Ghulat adalah kelompok Syiah yang berlebihan dalam memuja Sayidina Ali bin Abu Thalib, bahkan menganggapnya sebagai Tuhan dan roh Allah adalah roh Ali. Kelompok Syiah ini pecah menjadi 24 golongan.
  • Syiah Saba'iyah Adalah kelompok Syiah yang dinahkodai oleh Abdullah bin Saba', salah seorang Yahudi tulen yang mengaku dan pura-pura masuk Islam. Mereka menganggap bahwa Ali bin Abu Thalib adalah Tuhan, bahkan pada saat Ali r.a. wafat ia mengatakan bahwa Ali bin Abu Thalib belum meninggal dan tidak akan meninggal.
  • Syiah Al-Mufadliliyah Yaitu kelompok Syiah yang dipimpin oleh Mufadlal as-Saifary. Mereka bekeyakinan bahwa amir atau imam atau khalifah derajatnya sama dengan derajat nabi, mereka mempunyaiotoritas ketuhanan.
  • Syiah As-Sarighiyah Yaitu kelompok Syiah yang sepaham dengan Syiah Al-Mufadliliyah.
  • Syiah Al-Bazi'iyahYaitu kelompok Syiah di bawah kepemimpinan Bazi' bin Yunus, mereka meyakini bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq adalah Tuhan.
  • Syiah Al-Kamiliyah Yaitu kelompok Syiah yang dipelopori oleh Abu Kamil. Mereka meyakini bahwa orang yang telah meninggal dunia rohnya dapat berpindah-pindah kepada orang lain.
  • Syiah Mughayiriyah Yaitu kelompok Syiah pimpinan Mughirah bin Sa'id al-Ajaly.Mereka berkeyakinan bahwa Allah berjasad dan berwujud sebagai seorang laki-laki.
  • Syiah Jinahiyah Syiah kelompok ini dipimpin oleh Abdullah bin Mu'awiyah bin Abdullah bin Ja'far Dzil Janahaini.Mereka berkeyakinan bahwa roh manusia dapat berpindah-pindah dan pada mulanya roh Allah adalah Nabi Adam.
  • Syiah Al-Bayaniyah Yaitu kelompok Syiah pimpinan Bayan bin Sam'an at-Tamimi.Mereka berkeyakinan bahwa Allah berwujud seperti manusia.
  • Syiah Al-Manshuriyah Yaitu kelompok Syiah piminan Abu Manshur al-Ajaly. Mereka berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tidak terputus selamanya.
  • Syiah Al-Ghamamiyah Syiah Al-Ghamamiyah juga disebut Syiah Ar-Rabi'iyah. Mereka berkeyakinan bahwa Allah setiap musim semi turun ke bumi dalam keadaan terhalang oleh awan dan berputar-putar mengelilingi dunia kemudian naik ke langitlagi.
  • Syiah Al-Imamiyah Yaitu kelompok Syiah yang menganggap bahwa kedudukan imam atau amir atau khalifah sama dengan nabi, mereka berhak untuk membuat ajaran atau syariat. Syiah jenis inilah yang saat ini berkembang biak dan maju pesat yang dewasa ini telah tersebar ke berbagai negara-negara di belahan dunia ini, termasuk di Indonesia, Malaysia, Singapura, dan lain-lain,lebih-lebih di Timur Tengah dan khususnya di Iran yang merupakan basis perkembangan Syiah Imamiyah.
  • Syiah At-Tafwidliyah Yaitu kelompok Syiah yang beranggapan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammad saw kemudian memerintahkan-Nya menciptakan isinya.
  • Syiah KhattabiyahYaitu kelompok Syiah pimpinanAbu Khattab al-Asady. Mereka berkeyakinan bahwa para imamatau amir mereka adalah nabi.
  • Syiah Al-Ma'damariyah Yaitu Syiah kelompok Al-Ma'mar.Mereka berkeyakinan bahwa Imam Ja'far ash-Shadiq adalah nabi
  • Syiah Al-Ghurabiyah Yaitu kelompok Syiah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. sama wajah dan postur tubuhnya seperti Ali bin Abu Thalib, laksana burung gagak dengan burung gagak. Dan, pada saat Allah mengutus malaikat Jibril untuk menyampaikan wahyu kepada Ali bin Abu Thalib salah alamat kepada Muhammadsaw. karena raut wajahnya yang sama, sehingga Jibril tidak dapatmembedakannya, maka jadilah Nabi Muhammad saw. sebagai nabi yang seharusnya adalah Aliyang menjadi nabi.
  • Syiah ZubabiyahAdalah kelompok Syiah yang termasuk bagian dari Syiah Al-Ghurabiyah, hanya saja merekamengatakan dan meyakinibahwa Nabi Muhammad saw.adalah nabi dan kenabiannya bukan karena Jibril pada saat memberikan wahyu salah alamat,memang Nabi Muhammad lah yang diutus oleh Allah sebagai nabi dan bukan Ali.
  • Syiah Adz-Dzammiyah Yaitu kelompok Syiah yang selalu mencaci-maki dan menghina Nabi Muhammad saw., karena menurut mereka yang berhak menjadi nabi adalah Ali bin Abu Thalib dan bukan Muhammad.
  • Syiah Al-Itsniyaniyah Kelompok Syiah ini termasuk Syiah Adz-Dzammiyah, hanya bedanya Syiah ini menganggap bahwa Nabi Muhammad saw.adalah Tuhan dan bukan nabi.
  • Syiah Al-Khamsiyah Yaitu kelompok Syiah yang juga termasuk bagian dari Syiah Dzammiyah, mereka menganggap bahwa Nabi Muhammad saw., Ali bin Abu Thalib, Fatimah, Hasan, dan Husein adalah Tuhan
  • Syiah An-NusairiyahYaitu kelompok Syiah yang berkeyakinan bahwa Allah menitis kepada Ali bin Abu Thalib dan anak-anaknya
  • Syiah Al-Ishaqiyah Yaitu kelompok Syiah yangberkeyakinan bahwa roh Tuhanmenitis kepada Ali bin AbuThalib, namun mereka berselisihpaham, setelah Ali meninggal dunia roh Tuhan tersebutmenitis kepada siapa saja
  • Syiah Al-AlbaiyahYaitu kelompok Syiah pimpinanAl-Ba'bin Arwa' al-Asady. Mereka berkeyakinan bahwa amir atau imam mereka adalah Tuhan dan derajatnya sama dengan Tuhan dan bahkan lebih tinggi daripada nabi
  • Syiah Ar-Razamiyah Yaitu kelompok Syiah yang dipimpin oleh Muhammad bin Al-Hanafiyah dan setelah meninggal digantikan oleh putranya, kemudian diganti oleh Ali bin Abdullah bin Al-Abbas, kemudian diganti oleh putranya Abu Al-Manshur. Mereka berkeyakinan bahwa Allah menitis kepada Abu Muslim, dan meyakini bahwa Abu Muslim tidak akan meninggal dunia selama-lamanya
  • Syiah Al-Muqannaiyah Yaitu kelompok Syiah yang dipimpin oleh Al-Muqanna'. Para pengikutnya meyakini bahwa Al-Muqanna' adalah Tuhan, setelah meninggalnya Al-Husain
Wallaahu a'lam.

Janganlah kita ragu & bingung..., peganglah pada madzhab Syiah Rasulullah SAW & Ahlul Baitnya, dan peganglah ucapan Imam Syafei : "Jika saya akan dituduh orang Syi'ah karena saya mencintai keluarga Muhammad, maka saksikanlah oleh seluruh manusia dan jin bahwa saya ini adalah penganut Syi'ah "
insya Allah kita akan selamat.

Sumber :
1. Berbagai Media Di Internet.
2. Sumber: Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya, Drs.Muhammad Sufyan Raji Abdullah, LcBuku Mengenal Aliran-Aliran Islam dan Ciri-Ciri Ajarannya oleh Drs. Muhammad Sufyan Raji Abdullah, Lc telah diterbitkan oleh penerbit LPPI Riyadhus Shalihin, Jln. Curug Cempaka BlokIII, No. 97, Jati waringin, Pondok Gede, Telp. (021) 8618791,Jakarta)

Kamis, 02 Januari 2014

SEJARAH PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW di Pondok Pesantren Darul Muwahhidin
Wonokusumo Payungrejo Kutorejo Mojokerto

MAULUD NABI MUHAMMAD SAW

Mereka Mengatakan Maulid Nabi Bid'ah Sesat, Anda Jangan Diam Saja..!! Sebarkan Tulisan Ini..!!!
(Mewaspadai Ajaran Wahhabi)

Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.

Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.

Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.

Hukum Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.

Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi

Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:


مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ

(رواه مسلم في صحيحه(
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).

Faedah Hadits :
Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.

2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah.

3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:

أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.

Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.

Faedah Hadits:
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya. Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.

4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:

ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)


Masjid PPDM (Pondok Pesantren Darul Muwahhidin)

Faedah Hadits:
 Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya. Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.

Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah

1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.

2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:


عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.

3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:

لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.


“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya” .

Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:


إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.

“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.

Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.

Jawab:

Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang ”tolol” semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.

Pembacaan Buku-Buku Maulid

Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:


وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud, mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.

Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid

1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.

Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:

وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر:7 (
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)

Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.

 Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:
 وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
(الحج:
77 (
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)

Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:

مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ
(رواه الإمام مسلم في صحيحه
(

“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”.
(HR. Muslim dalam Shahih-nya).

Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
 

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

(رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)

Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:

وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ  مُسْتَحْسَنٍ  فِيْ  الشَّرْعِ  فَهِيَ  حَسَنَةٌ،  وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ  تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ  فِيْ  الشَّرْعِ  فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.

Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?

2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.

Jawab:
 Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:

أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.

3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.

Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.

4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.

Jawab:
 Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan.

Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?! Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.

Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada. Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal. Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin.

Copas Dari :