BID’AH
Bid’ah adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah
mewanti- wanti kita jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula
para ulama’ al waritsatul anbiya, sepanjang usia umat ini, terus
mengingatkan dan membentengi umat dari bid’ah yang amat tercela. Dan
seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu disampaikan dan
diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya bid''ah dan
kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun masalahnya menjadi lain
sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka
terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah
kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’
yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai
pemancang bid’ah ditengah-tengah
umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat
fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa itu
bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir
begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang
namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga
kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah
bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial.
Lain halnya bila
sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama
baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy,
Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang
sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus
lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari
bid’ah yang merupakan perbuatan yang sangat tercela.
Namun, jika
suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A
sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling
menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan
musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita
menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita
demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’
hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah.
Sehingga
melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah
penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada
saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf
dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan
kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita,
dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya
kelak. Amin
PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis)
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang
diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut
“mubtadi’ “ atau „mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi
dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh
terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)
Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah
menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks
al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendap at ulama berikut.
Ibnu Hajar al-Asqalani
Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah
sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik
dalil khusus maupun umum."[2]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
Muhammad Rasyid Ridha
Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari
ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4]
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan
bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang
tidak memiliki landasan syar’i.
Meskipun sebenarnya hampir
mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara
agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan
fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas.
Jika dikatakan
bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan
syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki
landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu
“ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah
yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya
Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi
diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut,
karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.
MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan
kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan
Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut.
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ
فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ
مَذْمُومْ
“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang
tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang
terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5]
Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً
اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ
مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ
غَيْرُ مَذْمُوْمَة
‘Perkara-perkar a baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara
baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu
dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah
tercela’.
Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa
simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah
sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat.
Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah
tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji.
Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang
buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah
yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya
Demikian juga, sebagaimana
Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya,
yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah
yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib
hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah
yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih
mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu
Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut:
“Pada dasarnya, bid’ah
itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang
mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk
perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun
lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik
menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu
termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi
buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan
terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang
lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam:
1. Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada
ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam
bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan
khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan
Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar
dimengerti maknanya dan lain-lain.
2. Mandub (disukai). Contohnya,
Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam
program CD dan lain-lain.
3. Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain
ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan,
turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran
Nabi Isa) dan lain-lain.
4. Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan.
5. Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum,
sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih
(yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik
bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan
membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam
hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan.
Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar
anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar
makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila
dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan
an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada
yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk
golongan ahli Bid’ah Dhalalah.
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasy idin.
Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan,
beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah
Khulafa’ur-rasy idin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyi din adalah melakukan Bid’ah Hasanah.
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah
menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang
menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah
Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah
merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan
setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah
melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an.
Buku
Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul
pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits,
namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan
bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari
dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan
pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi.
Demikian pula Ilmu Musthalahul-had its,
Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak
diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah
Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan
memahami al-Qur’an dan Hadits.
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’an hu
yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu
tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat.
Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh
Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk
sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in
karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi.
Demikian pula
dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada
hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua
adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan
bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya
al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan
Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta,
hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan
muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan
dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula
dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan
membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula
ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai
keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat
Hadits Shahih.
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu
harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah
(inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga
menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau
Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan
agama dan masalah bid’ah.
PENJELASAN HADITS-HADITS
TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan
Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan
ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam
a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya
berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.Penah terjadi dialog menarik.
Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
*******************************************
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan ’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita
berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan
pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah
pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda
daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman
Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan
Bid’ah - yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja
oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani
lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi?
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
*********************************************
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya . Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in . Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti
Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah
beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita
harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW,
para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah
dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti
itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai
perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk
melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka
menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama-
sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau
mengembalikanny a kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama.
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya
batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan
bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar.
Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan
sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang
keliru.
Karena tidak-melakukan -nya
Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut.
Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan
perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah
mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi
dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah
dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam
dari ulama salaf.
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih
mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang
lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang
mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua
yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan
benar).”
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang
membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari
pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak
berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa
nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama
shaleh.
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan
pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan
Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau
hawa nafsu.
*****************
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّة ً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ
“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih
dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan
rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari
keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan:
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun
dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga
tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk
membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sung guh
didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk
menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat
oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka
mengada-adakann ya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan:
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal
baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang).
Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat
membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara
kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru
menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah
berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu
tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan
bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa
Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau
dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak
bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah
mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka
kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah
menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan
Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha
Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua
bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak,
tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih
tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..”
(Al-Hujarat : 2)
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan
menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini
merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum
muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan
ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunna h),
Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya,
an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan
sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia
dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo
yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang
yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang
dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada
para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para
pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu
hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas
dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi
pendapat mereka bisa dipertanggungja wabkan secara ilmiah.
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak
semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang
menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa
kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا
نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ
حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا
هُمْ مُبْلِسُوْنَ
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan
yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari
segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan
apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan
sekonyong-konyo ng, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya ,
yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah
dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala
sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.
2. Allah SWT berfirman:
أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ
فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ
سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang
miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di
hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan
paksa.”
(QS. al-Kahfi : 79)
(QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya ,
yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu
tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan
perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka
jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas)
tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang
berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya , yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan
dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”
(QS. An-Naml:23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya , karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat
“kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana
lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada
yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan
kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir
yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil
yang jelas.
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau
Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna
khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa
pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan
sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan
kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud
tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.”
(QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak
boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena
dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah,
semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan
milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِي ْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْن َ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi
orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.”
(QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan
adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah
(kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita
maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik
Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita
tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau
membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik
Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang
mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman:
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah
umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.”
(QS. al-Anbiya : 98)
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang
menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau
ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangka n
ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga
akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang
Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin
disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan
selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa
mempertimbangka n ayat dan
Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka
walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh
dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda ') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan
dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini
sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa
disembuhkan dengan habbatus-sauda’ , walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
******************************
HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
(مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini,
yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan
Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits
diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam
agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber
darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat
tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata:
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas
akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal
baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat
‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam
Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah
berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga
harus mempertimbangka n Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu
berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang
tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang
tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari
syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru
yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari
syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu
bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber
dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang
sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar,
karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak
dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan
memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru
yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa
selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari
Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah
dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang
berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para
sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi
tarawihnya berkelompok-kel ompok di sudut-sudut Masjidil-haram) , dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir,
kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya
sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya
cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin
pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas
beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i,
an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka
adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan
karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu
hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari
upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka
tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu
Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah
bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi
zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target
belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’,
‘Doktor’ dan sebagainya”.[11 ]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki
sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak
memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU
(Tidak Ada Di Zaman Nabi ) SUMBERNYA *
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa
memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an
Ibid
Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatn ya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat
Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb.
Jelas banyak dalilnya.
Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang
memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai,
Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan
dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil
Atau Bertentangan Dengan Syari’at
>>>Melakukan shalat karena adanya bulan purnama >Tidak ada sumbernya
>>>Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll >Tidak ada sumbernya
>>>Shalat dengan mengangkat kaki sebelah bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
>>Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat
******************************
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
........ وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi
oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak
dosa orang lain yang ikut mengerjakannya. “
(HR. Tirmidzi)
(HR. Tirmidzi)
Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”,
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya ). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah
agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan
larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW.
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya ).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari:
اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُم ْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan
jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.”
Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan:
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang
siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah
pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari
Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya
restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari
itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah
yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakar sa
yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam,
misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai
dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu
sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at
dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan
sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh
Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah.
Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari,
padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang
sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh
tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa
pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan
agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
______________ _______________ __________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari,
Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas
periwayatan.
Oleh :
Oleh :