DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO

DARUL MUWAHHIDIN WONOSUMO
Page ini berisikan Informasi2 Islami yg berguna bagi Santri dan dan Allumni serta khalayak Umum disamping juga informasi2 berkaitan dengan Profil Institusi, Event, dan Aktifitas2 Lembaga Pondok Pesantren. Disini juga memberikan kemungkinan kepada siapapun baik yang masih berstatus sebagai Santri maupun Alumnus untuk sharing atau sekedar bernostalgia dengan suguhan foto2 serta untuk tetap mendapatkan update informasi2 berkaitan dengan Pondok Pesantren Darul Muwahhidin WONOSUMO.

Kamis, 23 Mei 2013

BID’AH

BID’AH
Bid’ah adalah perkara teramat buruk dalam agama, yang Rasul telah mewanti- wanti kita jangan sampai terjerumus ke dalamnya. Demikian pula para ulama’ al waritsatul anbiya, sepanjang usia umat ini, terus mengingatkan dan membentengi umat dari bid’ah yang amat tercela. Dan seharusnya masalah penting ini wajib untuk selalu disampaikan dan diingatkan ketenah-tengah umat, mengingat besarnya bahaya bid''ah dan kerusakan yang ditimbulkannya.
Namun masalahnya menjadi lain sekarang ini, ketika muncul segolongan kaum muslimin – yang mereka terkadang baru belajar agama, - demikian ‘mudah melayangkan bid’ah kepada saudaranya. Tak kepalang tanggung, tidak sedikit ulama’ –ulama’ yang mereka hujat sebagai pelaku bid’ah bahkan dikatakan sebagai pemancang bid’ah ditengah-tengah umat. Hal ini terkadang hanya karena perbedaan amaliyah dan pendapat fiqiyah. Atau disebabkan cara pendefinisian yang berbeda tentang apa itu bid’ah. Padahal, hampir tidak mungkin bagi kita untuk menggeneralisir begitu saja semua masalah bid''ah menjadi satu versi saja. Sebab yang namanya ulama itu bukan hanya ada satu saja di dunia ini. Sehingga kehati-hatian, ketelitian serta kematangan pemahaman akan masalah bid''ah dan pengertiannya ini menjadi krusial. 
Lain halnya bila sebuah masalah sudah disepakati kebid'ahannya oleh semua lapisan ulama baik salaf maupun khalaf, seperti shalat dwi bahasa ala Jusman Roy, Aliran nyeleneh Ahmad Musadiq, acara melarung kerbau kelaut untuk buang sial, atau ajaran Lia Aminuddin dan sebagainya, maka setiap kita harus lantang dalam menyampaikan ini ke umat, agar mereka terbentengi dari bid’ah yang merupakan perbuatan yang sangat tercela.
Namun, jika suatu masalah dirumuskan berbeda oleh para ulama’ yang satu berkata A sedangkan yang lain berkata B, alangkah tidak bijaknya bila kita saling menuding dan saling lempar kata bid’ah. Yang justru, bid’ah baru dan musibah yang lebih besar kita timbulkan sebab pertikaian ini. Kita menjadi pencaci, pembenci dan pengumpat kepada orang-orang yang justru Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk memuliakan mereka. Kita demikian mudah menistakan segolongan kaum muslimin bahkan ulama’-ulama’ hanya karena mereka berbeda definisi dalam masalah bid’ah. 
Sehingga melalui tulisan ini, kami mencoba menerangkan kembali tentang masalah penting ini, agar jangan mudah seseorang melontarkan kata bid’ah kepada saudaranya. Sebenarnya, masalah ini telah diterangkan oleh ulama salaf dan khalaf sepanjang perjalanan usia umat ini. Semoga Allah memudahkan kita menerima kebenaran, ditumbuhkan rasa kasih sayang diantara kita, dan kita semoga Allah mengumpulkan kita dengan Nabi SAW di syurga-Nya kelak. Amin

PENGERTIAN BID’AH
Arti Bid’ah Menurut Bahasa (Etimologis) 
Kata Bid’ah (Jama‘nya; Bida’) secara bahasa berarti ‘sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh terlebih dahulu’ sedangkan pelakunya disebut “mubtadi’ “ atau „mubdi’“[1]
Dalam al-Qur’an, langit dan bumi dikatakan bid’ah, karena Allah SWT menciptakannya tanpa ada contoh terlebih dahulu. Allah SAW berfirman:
بَدِيْعُ السَّموَاتِ وَالأَرْضِ 
“(Allah) Pencipta langit dan bumi (tanpa ada contoh)..” (QS. Al-Baqarah :117)

Arti Bid’ah Dalam Istilah Agama (Terminologis)
Adapun mengenai Bid’ah dalam istilah agama, para ulama telah menjelaskannya setelah melalui proses penelitian terhadap konteks al-Qur’an dan Hadits. Marilah kita simak pendapat-pendapat ulama berikut.
Ibnu Hajar al-Asqalani
Beliau berkata: "Yang dimaksud sabda Nabi "Setiap bid'ah itu adalah sesat" adalah sesuatu yang diada-adakan tanpa ada dalil syar'i, baik dalil khusus maupun umum."[2]
Ibnu Taimiyyah
Beliau berkata: Bid’ah adalah semua perkara agama yang tidak ada sandarannya berupa dalil syar'i.[3]
Muhammad Rasyid Ridha
Beliau berkata: Bid’ah adalah segala hal yang tidak ada dasarnya dari ajaran Nabi SAW, yakni dalam hal aqidah, ibadah, halal dan haram.[4] 
Penjelasan Definisi
Dari beberapa contoh definisi bid’ah diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud bid’ah secara istilah adalah suatu urusan agama yang tidak memiliki landasan syar’i. 
Meskipun sebenarnya hampir mustahil untuk memisahkan -dengan batasan yang jelas- antara perkara agama dan perkara dunia, namun, untuk meringankan pembahasan, kita akan fokus dulu pada pembahasan mengenai definisi diatas. 
Jika dikatakan bahwa Bid’ah (perkara baru) adalah sesuatu yang tidak berlandaskan syariat, maka akan timbul pertanyaan “adakah Bid’ah yang memiliki landasan syar’iat sehingga ia tidak termasuk Bid’ah yang tercela?
Jika kita menggunakan logika berfikir yang lurus, jawabannya tentu “ada”. Coba kita perhatikan baik-baik, jika kita mengakui adanya bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat, maka kita harus mengakui pula adanya Bid’ah yang sesuai syariat. Dari sini kita ketahui, bahwa definisi diatas masih belum jelas sehingga membutuhkan penjelasan lebih lanjut, karena definisi diatas tetap akan menimbulkan dua pertanyaan berikut.
- Dinamakan apa Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
- Jika Bid’ah yang tidak sesuai syariat jelas statusnya. Lantas bagaimana status Bid’ah yang sesuai syariat itu ?
Untuk menjawabnya, kita lanjutkan dengan pembahasan di bab berikutnya.

MACAM-MACAM BID’AH
Setelah nyata bagi kita, bahwa isyarat agama dan realitas mengharuskan kita memilah-milah bid’ah, maka sekarang kita simak perkataan Salafus-halih yang memberikan keterangan tentang hal tersebut. 
Imam Syafi’i RA berkata :
اَلبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ, بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِيْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُومْ

“Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang terpuji dan yang tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah (syariat) adalah bid’ah yang terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah bid’ah tercela.”[5] 

Atau penjelasan beliau dalam riwayat yang lain, Yaitu yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَة

‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang bertentangan dengan Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah Bid’ah Dhalalah (sesat). Kedua, perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.

Dari penjelasan Imam Syafi’i tersebut, kita bisa simpulkan bahwa Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah sesat, sedangkan Bid’ah yang sesuai syariat disebut Bid’ah tidak sesat. Atau, jika Bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah tercela, maka Bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah terpuji. Atau, jika bid’ah yang tidak sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang buruk (sayyiah), maka bid’ah yang sesuai dengan syariat disebut Bid’ah yang baik (Hasanah). Begitu seterusnya 
Demikian juga, sebagaimana Bid’ah yang pertama (yang tidak sesuai dengan syariat) jelas statusnya, yaitu sesat dan haram, maka dengan analogi berfikir yang sama, Bid’ah yang kedua (yang sesuai dengan syariat) adalah halal bahkan wajib hukumnya. Jika bid’ah yang pertama tidak boleh kita kerjakan maka Bid’ah yang kedua boleh kita kerjakan. Begitu seterusnya.
Jika kita masih mau meluaskan pembahasan, mari kita simak penjelasan Al-Hafizh Ibnu Hajar dan al-Imam an-Nawawi sebagai berikut: 
“Pada dasarnya, bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Dalam istilah syari’at, Bid’ah itu dipergunakan untuk perkara yang bertentangan dengan Sunnah, maka jadilah ia tercela. Namun lebih tepatnya, apabila perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap baik menurut syari’at maka iapun menjadi baik. Sebaliknya, jika perkara itu termasuk hal-hal yang dianggap buruk oleh syari’at maka iapun menjadi buruk. Jika tidak demikian maka ia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi berdasarkan hukum-hukum Islam yang lima”.[6]
Al-Imam an-Nawawi juga membagi bid’ah menjadi lima macam:
1. Wajib. Contohnya, antara lain, mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemunkaran, penyusunan al-Qur’an dalam bentuk mush-haf demi menjaga kemurniannya, menulis ayat Al-Quran dengan khat baru yang menggunakan titik dan baris agar tidak salah mengartikan Al-Quran, membukukan kitab Hadits, khutbah dengan bahasa sistematis agar dimengerti maknanya dan lain-lain.
2. Mandub (disukai). Contohnya, Shalat Tarawih sebulan penuh, pengajian rutin, membuat Al-Qur’an dalam program CD dan lain-lain.
3. Haram (sesat). Contoh, Naik haji selain ke Makkah, melakukan ritual dengan melarung sesaji di pantai selatan, turut merayakan dan memperingati Natal (untuk merayakan hari kelahiran Nabi Isa) dan lain-lain.
4. Makruh. Contoh, berwudhu’ dengan membiasakan lebih dari tiga kali basuhan. 
5. Mubah. Contohnya sangat banyak, meliputi segala sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum agama.
Demikianlah arti pengecualian dan kekhususan dari arti yang umum, sebagaimana kata Sahabat Umar bin al-Khatthab RA mengenai jamaah tarawih (yang menjadi satu jamaah dan satu imam), “inilah sebaik-baik bid’ah”.[7]
Coba perhatikan, kedua ulama’ besar tersebut bahkan membagi bid’ah menjadi beberapa klarifikasi. Jika kita perhatikan, dalam hukum agama kita memang hanya menemukan dua hal; perintah dan larangan. Akan tetapi sebuah perintah bisa berstatus wajib atau mungkin sekedar anjuran. Demikian juga dengan larangan, bisa berupa haram atau sekedar makruh. Maka perkara yang dianggap bid’ah akan lebih bijaksana apabila dipandang dengan cara seperti ini. Semoga Allah merahmati Ibnu Hajar dan an-Nawawi.
Dengan demikian, kami rasa tidaklah berlebihan bila ada yang mengatakan bahwa orang yang menolak Bid’ah Hasanah adalah termasuk golongan ahli Bid’ah Dhalalah. 
Bid’ah Dhalalah bermacam-macam, diantaranya adalah menafikan Sunnah, menolak ucapan Sahabat Nabi dan menolak pendapat Khulafa’ur-rasyidin. Rasulullah SAW telah memberitahukan bahwa akan muncul banyak perbedaan, beliaupun menyuruh kita untuk berpegangan pada Sunnah beliau dan Sunnah Khulafa’ur-rasyidin. Sunnah Rasul adalah membolehkan Bid’ah Hasanah, sedangkan Sunnah Khulafa’urrasyidin adalah melakukan Bid’ah Hasanah. 
Bila kita menafikan (meniadakan) adanya Bid’ah Hasanah, maka kita telah menafikan dan membid’ahkan mush-haf Al-Quran dan Kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran pokok Agama Islam, karena tidak ada perintah Rasulullah SAW untuk membukukan keduanya. Pembukuan itu hanyalah merupakan ijma’ (kesepakatan pendapat) para Sahabat Nabi dan dilakukan setelah Rasulullah SAW wafat. Bahkan Rasulullah SAW justru pernah melarang menulis Hadits karena hawatir dikira al-Qur’an. 
Buku Hadits, seperti Shahih al-Bukhari, shahih Muslim dan sebagainya muncul pada zaman Tabi’in. Walaupun Nabi pernah melarang penulisan Hadits, namun mereka tetap membukukannya, karena kehawatiran Nabi akan bercampurnya ayat al-Qur’an dan Hadits pada akhirnya mudah dihindari dengan hadirnya peralatan tulis yang semakin canggih. Sedangkan pembukuan itu dianggap penting untuk menjaga rawiyat Hadits Nabi. 
Demikian pula Ilmu Musthalahul-hadits, Nahwu, sharaf, dan lain-lain. Semua iai adalah Bid’ah yang tidak diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi. Namun ini termasuk Bid’ah Hasanah, karena ilmu-ilmu itu disusun untuk kepentingan menjaga dan memahami al-Qur’an dan Hadits. 
Demikian pula Taraddhi (ucapan Radhiyallahu’anhu yang artinya ‘semoga Allah meridhainya’) untuk sahabat Nabi, hal itu tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh Sahabat. Walaupun Al-Quran menyebutkan bahwa para sahabat Nabi diridhai oleh Allah, namun al-Qur’an dan Hadits tidak memerintahkan Taraddhi untuk sahabat Nabi. Taraddhi adalah Bid’ah Hasanah yang dibuat oleh Tabi’in karena kecintaan mereka pada para Sahabat Nabi. 
Demikian pula dengan Al-Quran yang kini telah dikasetkan, di CD-kan dan diprogram pada hand phone. Al-Quran juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Ini semua adalah Bid’ah, namun Bid’ah yang Hasanah, Bid’ah yang baik dan bermanfaat untuk kaum muslimin. Tidak seorangpun memungkiri hal itu.
Coba kita tarik mundur kebelakang tentang sejarah Islam, seandainya al-Quran tidak dibukukan, apa kiranya yang terjadi pada perkembangan Islam? Jika al-Quran masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para Sahabat RA yang hanya sebagian dituliskan, tentu akan muncul beribu-ribu versi al-Quran, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya berdasarkan riwayatnya sendiri.
Demikian pula dengan Hadits-hadits Rasulullah SAW, seandainya ulama tidak menulis dan membukukannya karena Nabi pernah melarang, seandainya tidak disusun pula ilmu Mushthalah Hadits, niscaya kita akan sulit untuk mempercayai keshahihan sebuah Hadits, karena semua orang bisa mengaku punya riwayat Hadits Shahih. 
Rasulullah SAW tahu bahwa dalam kondisi tertentu harus ada pembaharuan, makanya beliau menganjurkan Sunnah Hasanah (inisiatif baik). Beliau juga tahu bahwa hal baru terkadang juga menimbulkan fitnah agama, makanya beliau melarang Sunnah Sayyi’ah atau Bid’ah Dhalalah. Inilah hubungan antara perintah berijtihad dalam urusan agama dan masalah bid’ah. 
PENJELASAN HADITS-HADITS 
TENTANG BID’AH
Ketika sebagian orang menolak pembagian Bid’ah pada Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah, maka itu berarti mereka menolak dan menyalahkan ulama’besar seperti al-Imam asy-Syafi’i, Al Hafid Ibnu Hajar, al-Imam a-Nawawi dan Salafus-shalih lainnya, seolah-olah Ulama besar itu hanya berpendapat berdasarkan hawa nafsu dan mengesampingkan al-Qur’an dan Hadits.Penah terjadi dialog menarik. 
Berikut kami kutib dengan tanda “A” untuk wakil mereka dan “B” untuk wakil kami.
*******************************************
A : Kami tidak menjelaskan pendapat kami berdasarkan pikiran kami, tetapi berdasarkan ulama’ salaf juga.
B : Ulama’ salaf yang mana yang Anda maksudkan ?
A : Ulama’ semisal Ibnu Taimiyah.
B : Bukankah telah jelas dalam pembahasan yang lalu, bahwa definisi Bid’ah semisal Ibnu Taimiyah masih perlu penjelasan lebih lanjut? Dan kemudian diperjelas oleh definisi yang dikemukakan oleh As-Syafi’i.
A : Saya rasa definisi dari Ibnu Taimiyah sudah jelas, tidak perlu penjelasan tambahan.
B : Berarti Anda menafikan adanya bid’ah yang baik. Kalau demikian, apa pendapat Anda tentang hal-hal baru seperti mush-haf al-Qur’an, pembukuan Hadits, fasilitas Haji, Sekolah dan Universitas Islam, Murattal dalam kaset dan sebagainya yang tidak ada di zaman Nabi?
A : Itu bukan bid’ah
B : Lantas di sebut apa? Apakah hanya akan didiamkan setiap hal-hal baru tanpa ada status hukum dari agama (boleh tidaknya). Ini berarti Anda menganggap Islam itu jumud dan ketinggalan zaman.
A : (Diam).. Baiklah, tetapi kami memiliki ulama’ yang memiliki penjelasan tidak seperti apa yang Anda jelaskan, ulama’ kami membagi Bid’ah menjadi dua ; Bid’ah agama dan Bid’ah Dunia.
B : Nah, memang seharusnya demikian. Lantas, siapa yang membagi bid’ah menjadi demikian?
A : Ulama’ semisal Albani dan Bin Baz. Berdasarkan Hadits Rasulullah SAW, “Kalian lebih tahu urusan dunia kalian.”
B : Hadits tersebut bukan hanya ulama Anda yang mengetahui. Ulama’ salaf telah mengetahui Hadits tersebut, namun mereka tidak menyimpulkan demikian, karena itu berarti seakan-akan Nabi ‘mempersilahkan’ manusia untuk berkreasi dalam urusan dunia sesuka hati, dan Nabi ‘mengaku’ tidak banyak tahu urusan dunia. Baiklah, tidak usah kita berbicara terlalu jauh. Ketika ternyata Anda juga berdalih dengan pendapat ulama Anda, berarti kita sama-sama bersandar pada ulama. Sebuah pertanyaan buat Anda: Apakah Anda lebih percaya pada ulama Anda daripada ulama salaf yang hidup di zaman yang lebih dekat kepada zaman Nabi SAW? Apakah Anda mengira bahwa As-Syafi’i salah mendefinisikan Bid’ah - yang merupakan pokok agama maha penting- kemudian didiamkan saja oleh ulama salaf lainnya tanpa bantahan? Apakah Anda mengira Albani lebih banyak memahami Hadits dari Ibnu Hajar dan an-Nawawi? 
A : Terdiam tidak menjawab.
B : Kami rasa tidak mungkin ulama Anda, seperti Ibnu Taimiyah, Albani dan Bin Baz sampai merasa lebih benar dari asy-Syafi’i, an-Nawawi, Ibnu Hajar, Al-Baihaqi dan ulama salaf lainnya. Mungkin ulama Anda hanya sekedar memiliki pemikiran berbeda, sebagaimana lazimnya ulama berbeda pendapat tanpa menyalahkan pendapat lain. Kami rasa Anda saja yang berlebihan dan kemudian menyalahkan ulama salaf demi membela pendapat ulama Anda. Kalau benar demikian, maka berarti Anda justru telah menistakan ulama Anda sendiri.
*********************************************
Orang yang gemar melontarkan kata bid’ah biasanya akan berkata: “Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para sahabatnya, tidak ada satupun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’it-tabi’in. Dan kalau sekiranya amalan itu baik, tentu mereka akan mendahului kita.”
Mereka juga berkata: “Kita kaum muslimin diperintahkan untuk mengikuti Nabi, yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, kenapa justru kita yang melakukannya? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW, para sahabat dan ulama-ulama salaf? Melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah Bid’ah”.
Kaidah-kaidah seperti itulah yang sering mereka jadikan pegangan dan mereka pakai sebagai perlindungan, juga sering mereka jadikan sebagai dalil dan hujjah untuk melegitimasi tuduhan Bid’ah terhadap semua amalan baru. Mereka menganggap setiap hal baru -meskipun ada maslahatnya dalam agama- sebagai Sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’, tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok (dasar) agama. 
Ucapan seperti diatas adalah ucapan yang awalnya haq namun akhirnya batil, atau awalnya shahih namun akhirnya fasid (rusak). Pernyataan bahwa Nabi SAW atau para sahabat tidak melakukan si anu adalah benar. Akan tetapi pernyataan bahwa semua yang tidak dilakukan oleh Nabi dan sahabat itu sesat adalah sebuah Istimbath (penyimpulan hukum) yang keliru.
Karena tidak-melakukan-nya Nabi SAW atau salafus shalih bukanlah dalil keharaman amalan tersebut. Untuk ‘mengecap’ sebuah amalan boleh atau tidak itu membutuhkan perangkat dalil dan sejumlah kaidah yang tidak sedikit.
Kaidah mereka yang menyatakan bahwa setiap amalan yang tidak dikerjakan Nabi dan sahabat adalah Bid’ah hanya berdalih dengan Hadits-hadits bid’ah dalam pengertian zhahir, tanpa merujuk pada penjelasan yang mendalam dari ulama salaf. 
Al-Imam Ibnu Hajar berkata: “Hadits-hadits shahih mengenai suatu persoalan harus dihubungkan antara satu dengan yang lain, untuk dapat diketahui dengan jelas tentang pengertiannya yang mutlak (lepas) dan yang muqayyad (terikat). Dengan demikian maka semua yang diisyaratkan oleh Hadits-hadits itu dapat dilaksanakan (dengan benar).” 
Ketika kita mengemukakan pendapat ulama, sebagian orang membantah dengan penyataan bahwa Hadits lebih utama untuk diikuti dari pendapat siapapun. Itu berarti ia mengira bahwa pendapat ulama itu tidak berdasarkan al-Qur’an atau Hadits, melainkan berdasarkan akal atau hawa nafsu. Maka takutlah kepada Allah dan janganlah bersu’uzhon pada ulama shaleh. 
Baiklah, mari kita telaah Hadits-hadits terkait dengan pembahasan ini, kita lihat saja apakah mereka berpendapat berdasarkan Hadits sedangkan ulama shaleh itu hanya berpendapat dengan akal atau hawa nafsu.
*****************
HADITS PERTAMA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
كُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَة
“Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat’. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).

Al-Imam An-Nawawi, didalam Syarah Sahih Muslim, mengomentari Hadits ini dan berkata: “Ini adalah sebuah kaidah umum yang membawa maksud khusus (‘Ammun makhsus). Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah”.[8]
Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :
وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ

“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)
Berkatalah KH. Ali Badri Azmatkhan: 
Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.
Allah SWT memang menyebut Rahbaniyah itu sebagai Bid’ah yang dibuat oleh Hawariyun, itu bisa dipahami dari kalimat ibtada’uuhaa (mereka mengada-adakannya). Namun Bid’ah yang dimaksud adalah Bid’ah Hasanah. Hal ini ditunjang dengan dua alasan: 
Pertama, Rahbaniyah disebut dalam rentetan amal baik menyusul dua amal baik sebelumnya, yaitu ra’fatan (rasa kasih) dan rahmatan (rasa sayang). Kalau memang Allah mau bercerita tentang keburukan mereka akibat membuat Rahbaniyah, tentu susunan kalimatnya akan memisahkan antara kasih sayang dan Rahbaniyah. Sedangkan kalimat dalam ayat itu justru menggabungkan Rahbaniyah dengan kasih sayang sebagai karunia yang Allah berikan pada Hawariyun.
Kedua, Allah SWT berkata “Rahbaniyah itu tidak Kami wajibkan”. Tidak diwajibkan bukan berarti dilarang, melainkan bisa jadi hanya dianjurkan atau dinilai baik. Ini mengisyaratkan bahwa Rahbaniyah itu adalah cara atau bentuk amalan yang tidak diperintah atau dicontohkan oleh Nabi Isa, akan tetapi memiliki nilai baik dan tidak bertentangan dengan ajaran Isa. Bukti bahwa Allah SWT membenarkan Bid’ah mereka berupa Rahbaniyah adalah Allah SWT mencela mereka karena mereka kemudian meninggalkan Rahbaniyah itu. Ketika membuat Rahbaniyah menunjukkan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah, maka meninggalkan Rahbaniyah menunjukkan kemerosotan upaya mereka untuk mendapat ridha Allah.[9]
Sebagian orang berkata: Ketika Nabi SAW berkata ‘semua bid’ah adalah sesat’, bagaimana mungkin ada orang yang berkata ‘tidak, tidak semua bid’ah sesat, tetapi ada yang baik’. Apakah ia merasa lebih tahu dari Rasulullah? Apakah ia tidak membaca ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَرْفَعُوْا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi..”
(Al-Hujarat : 2) 
Mereka menyalahkan orang yang bersandar pada pendapat ulama salaf dan menganggap orang itu lebih mengutamakan ulama daripada Nabi. Hal ini merupakan pemikiran yang sempit dan termasuk penistaan terhadap kaum muslimin. Ada berapa juta muslimin shaleh yang meyakini keilmuan dan ketaqwaan al-Imam asy-Syafi’i sang penolong Sunnah (Nashirus-sunnah), Ibnu Hajar sang pakar yang hafal puluhan ribu Hadits beserta sanadnya, an-Nawawi sang penghasil puluhan ribu lembar tulisan ilmiah dan sebagainya? Sejarah bahkan mencatat bahwa islamisasi di belahan dunia dilakukan oleh ulama yang sependapat dengan mereka, termasuk Walisongo yang menyebarkan Islam di Nusantara. Tiba-tiba mereka dihujat oleh orang yang belajar dan pengabdiannya bahkan tidak melebihi seperempat yang dimiliki ulama salaf itu. Sungguh mereka tidak memiliki rasa hormat pada para pejuang Islam. Seandainya mereka tahu seberapa besar peranan para pejuang itu dalam perkembangan dunia Islam, jangankan para pejuang itu hanya berbeda pendapat, seandainya jelas salah pun mereka tidak pantas dihujat, karena kita yakin mereka tidak sengaja bersalah. Apalagi pendapat mereka bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 
Kalimat “Kullu” Tidak Berarti Semua Tanpa Kecuali
Dalam bahasa Arab, Kulluh berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:
1. Allah SWT berfirman:
فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ 
“Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.” (QS. al-An’am : 44)
Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus. 
2. Allah SWT berfirman: 

أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.”
(QS. al-Kahfi : 79)
Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.
3. Allah berfirman :
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ
“Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.” (ََQS. Al-Ahqaf : 25)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur.
Allah berfirman :
إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.” (QS. An-Naml:23)
Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas.
Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas. 
Selain itu, banyak pula ungkapan dalam al-Qur’an atau Hadits yang sepintas nampak bermakna umum namun sebenarnya bermakna khusus. Perlu dipahami bahwa hal ini adalah bisa dalam penggunaan bahasa pada umumnya, sehingga kita tidak boleh kaku karena terpaku dengan sebuah kalimat tanpa memperhatikan istilah dan susunan bahasa. Bahkan kita harus memperhatikan ayat dan Hadits lain barang kali ada maksud tkhshish (membatasi) dalam kalimat umum atau sebaliknya.
Mari kita simak contoh-contoh berikut ini.
1. Allah berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعاً
“Barang siapa yang menginginkan kekuatan maka hanya milik Allah-lah kekuatan itu semuanya.” 
(QS. Fathir: 10)
Dari pernyataan ayat diatas, sepintas kita memahami bahwa kita tidak boleh mengatakan bahwa kekuatan itu milik Allah dan Rasul-Nya, karena dalam ayat itu disebutkan bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah, semuanya dan berarti tidak ada sedikitpun kekuatan yang boleh dikatakan milik selain Allah. Namun coba perhatikan ayat berikut ini:
وَللهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلكِنَّ الْمُنَافِقِيْنَ لاَيَعْلَمُوْنَ
“.. padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” (QS. al-Munafiqun : 8)
Ternyata ayat ini menyatakan bahwa kekuatan adalah milik Allah dan Rasulnya serta orang-orang mukmin. Memang, izzah (kekuatan) Allah dan izzah Rasul adalah dua hal berbeda. Namun yang kita maksud di sini adalah penggunaan kalimat izzah untuk disebut milik Allah dan selain Allah. Kalau membaca ayat yang pertama, nampaknya kita tidak boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul”, akan tetapi kalau membaca ayat yang kedua maka kita bahkan boleh mengatakan “izzah milik Allah dan Rasul serta orang-orang mukmin”, karena Allah sendiri yang mengatakan demikian.
2. Allah SWT berfirman: 
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُوْن
“Sesungguhnya kalian dan apa yang kalian sembah selain Allah adalah umpan (bahan bakar) neraka jahannam, kalian pasti masuk kedalamnya.” (QS. al-Anbiya : 98) 
Ayat ini menyatakan bahwa orang yang menyembah selain Allah akan masuk neraka bersama sesembahannya. Kalau ayat itu dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat yang lain, maka akan dipahami bahwa Nabi Isa dan bundanya juga akan masuk neraka, karena mereka disembah dan dipertuhankan oleh orang Nasrani. Begitu juga para malaikat yang oleh kaum sebagian musyrikin disembah dan dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka.
3. Rasulullah SAW. bersabda:
“Orang yang menunaikan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. (HR. Muslim)
Hadits ini menyatakan bahwa orang yang shalat shubur dan ashar akan selamat dari neraka. Kalau Hadits ini dipahami begitu saja tanpa mempertimbangkan ayat dan Hadits yang lain, maka akan dipahami bahwa kita akan selamat dari neraka walaupun tidak shalat zhuhur, maghrib dan isya’ asalkan shalat shubuh dan ashar.
4. Rasulullah SAW bersabda: 
"Sesungguhnya biji hitam ini (habbatus-sauda') adalah obat bagi semua penyakit, kecuali mati”[10].
Para mufassirin telah menegaskan bahawa kalimat ‘umum’ yang digunakan dalam Hadits ini merujuk kepada sesuatu yang ‘khusus’. Maksud Hadits ini sebenarnya ialah “banyak penyakit” (bukan semua penyakit) bisa disembuhkan dengan habbatus-sauda’, walaupun kalimat yang dipakai adalah kaliamat ‘umum’ (kullu yang berarti semua).
******************************

HADITS KEDUA TENTANG BID’AH
Rasulullah SAW bersabda:
(مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ  (رواه البخاري و مسلم
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Mari kita telaah makna Hadits diatas, benarkah Hadits diatas bisa menjadi justifikasi membid’ahkan setiap amalan baru dalam agama?
Coba anda perhatikan pada kalimat “yang tidak bersumber darinya” pada Hadits tersebut, kira-kira apa makna dari kalimat tersebut. Agar menjadi jelas, bandingkan dua kalimat berikut ini:
1. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.”
2. “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, maka ia tertolak.”
KH. Ali Badri Azmatkhan berkata: 
“Apabila kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ dibuang, maka sepintas akan dipahami bahwa hal baru apapun akan disebut Bid’ah, walaupun hal baru itu masih berisikan nilai syari’at. Dan kalaupun misalnya kalimat ‘yang tidak bersumber darinya’ itu benar-benar tidak disebutkan dalam Hadits ini, tentu kita juga tidak bisa memfonis semuanya Bid’ah berdasarkan Hadits ini, karena, untuk memahami sebuah Hadits, kita juga harus mempertimbangkan Hadits lain, baik Hadits Qauli (perkataan Nabi) maupun Hadits Iqrari (pembenaran Nabi terhadap tindakan Sahabat).
Kemudian, ketika Nabi katakan ‘yang tidak bersumber darinya’, itu berarti ada hal baru yang bersumber dari syari’at dan ada hal baru yang tidak bersumber dari syari’at. Kalau yang dilarang adalah hal baru yang tidak bersumber dari syari’at, maka hal baru yang bersumber dari syari’at tidak dilarang.
Lantas apa yang dimaksud dengan hal baru yang bersumber dari syari’at? Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu dicontohkan dengan shalat malam, maka semua orang tahu bahwa shalat malam itu bukan hal baru. Kalau hal baru yang bersumber dari syari’at itu diartikan ihya’ussunnah (menghidupkan Sunnah yang sudah lama ditinggalkan orang), maka secara bahasa itu juga tidak benar, karena memulai kebiasaan lama itu bukan termasuk hal baru.
Maka tidak ada lain hal baru yang dimaksud kecuali cara baru yang tidak dicontohkan Nabi, namun tidak bertentangan dengan syari’at dan bahkan memiliki nilai syari’at. Hal ini diperkuat dengan banyaknya hal baru yang dilakukan para shabat Nabi, misalnya menyusun atau menambah doa selain susunan doa yang dicontohkan Nabi, Ta’rif (memperingati hari Arafah) yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas dengan menggelar kemah dan dzikir bersama pada tanggal 9 Dzulhijjah (ketika tidak sedang berhaji), shalat tarawih dengan satu imam di Masjidil-haram oleh para sahabat di zaman Umar bin al-Khatthab (sedangkan pada zaman Nabi tarawihnya berkelompok-kelompok di sudut-sudut Masjidil-haram), dan banyak lagi misal yang bisa kita temui dalam kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh (kitab syarah/tafsir Hadits).
Kepada siapapun yang belum pernah membaca tuntas kitab-kitab Tafsir, kitab Hadits dan Syuruh, bila ia mau mentahqiq sebuah permasalahan, saya sarankan untuk membaca semuanya dengan tuntas, agar terbuka baginya cakrawala berfikir sebagaimana ulama salaf. Logikanya, bagaimana mungkin pemikiran seorang sarjana atau doktor yang hanya pernah membaca tuntas beberapa judul buku bisa lebih tajam dari pemikiran asy-Syafi’i, an-Nawawi, al-Ghazali, Ibnu Hajar al-Asqalani dan sebagainya. Mereka adalah ulama besar yang berhasil mengisi khazanah keilmuan Islam dengan karya-karya besar yang bukan hanya dikagumi umat Islam saja. Dan satu hal yang harus kita sadari, yaitu bahwa karya-karya itu tidak lahir dari upaya yang ringan, mereka tidak belajar hanya sepuluh tahun, mereka tidak meneliti hanya sepuluh tahun, mereka tidak hanya membaca seribu Hadits, tapi meneliti puluhan tahun dan puluhan ribu Hadits. Tidak mudah bagi mereka untuk memutuskan sebuah kesimpulan, tapi sebagian akademisi zaman sekarang begitu mudahnya menyalahkan ulama salaf, padahal target belajarnya tidak seserius ulama salaf, targetnya hanya gelar ‘Lc’, ‘MA’, ‘Doktor’ dan sebagainya”.[11]
Agar lebih jelas lagi, mari kita lihat contoh amalan yang memiliki sumber agama atau dalil baik umum maupun khusus dan amalan yang tidak memiliki sumber bahkan bertentangan dengan agama berikut ini.
Amalan Baru Yang Memiliki Sumber/dalil
AMALAN BARU 
(Tidak Ada Di Zaman Nabi ) SUMBERNYA *
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf Hadits, “Barangsiapa memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi titik dan harakat pada mush-haf Al-Qur’an 
Ibid
Membaca doa-doa bervariasi dalam sujud dan Qunut (misalnya berdoa untuk mujahidin Palestina) Hadits “Sedekat-dekatnya makhluk dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa.”
Menyusun Ilmu fiqih dalam sistem madzhab atau per bab agar mudah dipelajari dan khutbah dalam bahasa setempat 
Hadits, “berkatalah kepada seseorang berdasarkan kemampuan akalnya.”
Mengumpulkan muslimin pada suatu momen dengan diisi tilawah Qur’an atau shalawat Nabi dsb. 
Jelas banyak dalilnya.
Membuat Al-Qur’an dalam bentuk VCD Hadits, “Barang siapa yang memudahkan urusan kaum muslimin maka Allah akan memudahkan urusannya.”
Memberi gelar pada tokoh agama dengan sebutan Syaikh, Ustadz, Kiai, Ajengan dsb. Perintah agama untuk memanggil orang dengan penghormatan dan panggilan yang disukai
*Diantaranya saja
Amalan Baru Yang Tidak Memiliki Dalil
Atau Bertentangan Dengan Syari’at
>>>Melakukan shalat karena adanya bulan purnama >Tidak ada sumbernya
>>>Adzan dan Iqamat ketika akan mandi, makan dll >Tidak ada sumbernya
>>>Shalat dengan mengangkat kaki sebelah bertentangan dengan Hadits-Hadits shalat
>>Shalat dengan berbahasa selain bahasa arab Tidak ada sumbernya bahkan bertentangan dengan Hadits-hadits shalat
******************************
HADITS KETIGA
Rasulullah SAW bersabda:
........ وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا
“.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.
(HR. Tirmidzi)

Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”. Dalam Hadits tersebut kata ‘Bid’ah’ dan ‘sesat’ adalah mudhaf dan mudhaf ‘ilaih (gramer Arab). Bila merujuk pada ilmu gramer bahasa Arab, bab “Mudhaf” dan “Na’at-man’ut”, susunan kalimat itu memberi arti adanya Bid’ah yang tidak sesat. Bahkan dalam bahasa Indonesiapun demikian. Kalau Anda berkata “Saya tidak suka tali yang panjang”, itu berarti menurut Anda ada tali yang pendek.
Sebagai penutup bab ini, mari kita renungkan firman Allah SWT berikut ini :
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ َانْتَهُوْا
‘Apa saja yang dibawa oleh Rasul kepadamu maka ambillah, dan apa saja yang dilarang oleh Rasul maka berhentilah (mengerjakannya). (QS. Al-Hasyr : 7)
Coba perhatikan, ayat diatas dengan jelas menyebutkan bahwa perintah agama adalah apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dinamakan larangan agama adalah apa yang memang dilarang oleh Rasulullah SAW. Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan:
وَماَ لَمْ يَفْعَلْهُ فَانْتَهُوْا 
“Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulul maka berhentilah (mengerjakannya).”
Juga dalam Hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari: 

اِذَا أمَرْتُكُمْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَااسْتَطَعْتُمْ وَاِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْئٍ فَاجْتَنِبُوْهُ
“Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu maka lakukanlah semampumu, dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah ia.” 

Perhatikan, dalam Hadits ini Rasulullah SAW tidak mengatakan: 
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِبُوْهُ
“Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan maka jauhilah ia!’
Jadi, pemahaman melarang semua hal baru (Bid’ah) dengan dalil Hadits “Setiap yang diada-adakan (muhdatsah) adalah Bid’ah” dan Hadits “Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ..“ adalah pemahaman yang tidak benar, karena banyak pernyataan atau ikrar dari Rasulullah SAW dalam Hadits-hadits yang lain yang menyimpulkan adanya restu beliau terhadap banyak hal baru atas inisiatif para sahabat. Dari itu, para ulama menarik kesimpulan bahwa Bid’ah (prakarsa) sesat ialah yang bersifat men-syari’atkan hal baru dan menjadikannya sebagai bagian dari agama tanda seizin Allah Allah SWT (QS Asy-Syura : 21), serta prakarsa-prakarsa yang bertentangan dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam, misalnya sengaja shalat tidak menghadap kearah kiblat, shalat dimulai dengan salam dan diakhiri denga takbir, melakukan shalat dengan satu sujud saja, melakukan shalat shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan sebagainya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh syari’at.
Makna Hadits yang mengatakan “mengada-adakan sesuatu” adalah masalah pokok-pokok agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah. Misalnya ada orang mengatakan bahwa shalat wajib itu dua kaili sehari, padahal agama menetapkan lima kali sehari. Misalnya juga, orang yang sanggup -tidak berhalangan- berpuasa wajib pada bulan Ramadhan boleh tidak perlu puasa pada bulan tersebut, tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apa saja. Inilah yang dinamakan menambah dan mengada-adakan agama, bukan masalah-masalah nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
_______________________________________
[1] “Al-Munjid fil Lughah wal-A’lam“, alpabet ب
[2] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XIII : 253.
[3] Iqthidho Shirath al-Mustaqim hal. 272
[4] Tafsir al-Manar, IX: 60.
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, XV : 179, Dar al-Fikr, Beirut
[6] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Baari, IV : 318.
[7] Syarh an-Nawawi ‘Ala Shahih Muslim, VI : 154-155, Dar Ihya Turats al-Arab, Beirut.
[8] An-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, VI : 154.
[9] KH. Ali Badri Azmatkhan, Klarifikasi Masalah Khilafiyah.
[10] Diriwayatkan dari 'Aiysah dan Abu Hurairah oleh al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad melalui sembilan belas periwayatan.

Oleh :

Rabu, 22 Mei 2013

Asal Usul dan Sejarah Perkembangan Ajaran Wahabi

Asal Usul dan Sejarah Perkembangan Ajaran Wahabi

Asal-usul dan sejarah perkembangannya berdasarkan berbagai sumber dan rujukan kitab-kitab yang dapat dipertanggungjawabkan, diantaranya, Fitnatul Wahabiyah karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, I’tirofatul Jasus AI-Injizy pengakuan Mr. Hempher, Daulah Utsmaniyah dan Khulashatul Kalam karya Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, dan lain-lain.

Nama Aliran Wahabi ini diambil dari nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab (lahir di Najed tahun 1111 H/1699 M). Asal mulanya dia adalah seorang pedagang yang sering berpindah dari satu negara ke negara lain dan diantara negara yang pernah disinggahi adalah Baghdad, Iran, India dan Syam.



Kemudian pada tahun 1125 H/1713 M, dia terpengaruh oleh seorang orientalis Inggris bernama Mr. Hempher yang bekerja sebagai mata-mata Inggris di Timur Tengah. Sejak itulah dia menjadi alat bagi Inggris untuk menyebarkan ajaran barunya. Inggris memang telah berhasil mendirikan sekte-sekte bahkan agama baru di tengah umat Islam seperti Ahmadiyah dan Baha’i. Bahkan Muhammad bin Abdul Wahab ini juga termasuk dalam target program kerja kaum kolonial dengan alirannya Wahabi.


Mulanya Muhammad bin Abdul Wahab hidup di lingkungan sunni pengikut madzhab Hanbali, bahkan ayahnya Syaikh Abdul Wahab adalah seorang sunni yang baik, begitu pula guru-gurunya. Namun sejak semula ayah dan guru-gurunya mempunyai firasat yang kurang baik tentang dia bahwa dia akan sesat dan menyebarkan kesesatan. Bahkan mereka menyuruh orang-orang untuk berhati-hati terhadapnya. Ternyata tidak berselang lama firasat itu benar.

Setelah hal itu terbukti ayahnya pun menentang dan memberi peringatan khusus padanya. Bahkan kakak kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, ulama besar dari madzhab Hanbali, menulis buku bantahan kepadanya dengan judul As-Sawa’iqul Ilahiyah FirRaddi Alal Wahabiyah.

Tidak ketinggalan pula salah satu gurunya di Madinah, Syekh Muhammad bin Sulaiman AI-Kurdi asy-Syafi’i, menulis surat berisi nasehat:

“Wahai Ibn Abdil Wahab, aku menasehatimu karena Allah, tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin, jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat, kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir, tapi tidak mungkin kau mengkafirkan As-Sawadul A’dham (kelompok mayoritas) diantara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar, orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran, sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin.“

Sebagaimana diketahui bahwa madzhab Ahlus Sunnah sampai hari ini adalah kelompok terbesar. Allah berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali“ (QS: An-Nisa 115)

Salah satu dari ajaran yang (diyakini oleh Muhammad bin Abdul Wahab, adalah mengkufurkan kaum muslim sunni yang mengamalkan tawassul, ziarah kubur, maulid nabi, dan lain-lain. Berbagai dalil akurat yang disampaikan ahlussunnah waljama’ah berkaitan dengan tawassul, ziarah kubur serta maulid, ditolak tanpa alasan yang dapat diterima. Bahkan lebih dari itu, justru berbalik mengkafirkan kaum muslimin sejak 600 tahun sebelumnya, termasuk guru-gurunya sendiri.

Pada satu kesempatan seseorang bertanya pada Muhammad bin Abdul Wahab, “Berapa banyak Allah membebaskan orang dari neraka pada bulan Ramadhan?“

Dengan segera dia menjawab, “Setiap malam Allah membebaskan 100 ribu orang, dan di akhir malam Ramadhan Allah membebaskan sebanyak hitungan orang yang telah dibebaskan dari awal sampai akhir Ramadhan”

Lelaki itu bertanya lagi “Kalau begitu pengikutmu tidak mencapai satu persenpun dari jumlah tersebut, lalu siapakah kaum muslimin yang dibebaskan Allah tersebut? Dari manakah jumlah sebanyak itu? Sedangkan engkau membatasi bahwa hanya pengikutmu saja yang muslim.“

Mendengar jawaban itu Ibn Abdil Wahab pun terdiam seribu bahasa. Sekalipun demikian Muhammad bin Abdul Wahab tidak menggubris nasehat ayahnya dan guru-gurunya itu.

Dengan berdalihkan pemurnian ajaran Islam, dia terus menyebarkan ajarannya di sekitar wilayah Najed. Orang-orang yang pengetahuan agamanya minim banyak yang terpengaruh. Termasuk diantara pengikutnya adalah penguasa Dar’iyah, Muhammad bin Saud (meninggal tahun 1178 H/1765 M) pendiri dinasti Saudi, yang dikemudian hari menjadi mertuanya. Dia mendukung secara penuh dan memanfaatkannya untuk memperluas wilayah kekuasaannya.

Ibn Saud sendiri sangat patuh pada perintah Muhammad bin Abdul Wahab. Jika dia menyuruh untuk membunuh atau merampas harta seseorang dia segera melaksanakannya dengan keyakinan bahwa kaum muslimin telah kafir dan syirik selama 600 tahun lebih, dan membunuh orang musyrik dijamin surga.

Sejak semula Muhammad bin Abdul Wahab sangat gemar mempelajari sejarah nabi-nabi palsu, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Aswad Al-Ansiy, Tulaihah Al-Asadiy dll. Agaknya dia punya keinginan mengaku nabi, ini tampak sekali ketika ia menyebut para pengikut dari daerahnya dengan julukan Al-Anshar, sedangkan pengikutnya dari luar daerah dijuluki Al-Muhajirin.

Kalau seseorang ingin menjadi pengikutnya, dia harus mengucapkan dua syahadat di hadapannya kemudian harus mengakui bahwa sebelum masuk Wahabi dirinya adalah musyrik, begitu pula kedua orang tuanya. Dia juga diharuskan mengakui bahwa para ulama besar sebelumnya telah mati kafir. Kalau mau mengakui hal tersebut dia diterima menjadi pengikutnya, kalau tidak dia pun langsung dibunuh.

Muhammad bin Abdul Wahab juga sering merendahkan Nabi SAW dengan dalih pemurnian akidah, dia juga membiarkan para pengikutnya melecehkan Nabi di hadapannya, sampai-sampai seorang pengikutnya berkata: “Tongkatku ini masih lebih baik dari Muhammad, karena tongkatku masih bisa digunakan membunuh ular, sedangkan Muhammad telah mati dan tidak tersisa manfaatnya sama sekali. “

Muhammad bin Abdul Wahab di hadapan pengikutnya tak ubahnya seperti Nabi di hadapan umatnya. Pengikutnya semakin banyak dan wilayah kekuasaan semakin luas. Keduanya bekerjasama untuk memberantas tradisi yang dianggapnya keliru dalam masyarakat Arab, seperti tawassul, ziarah kubur, peringatan Maulid dan sebagainya. Tak mengherankan bila para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab lantas menyerang makam-makam yang mulia.

Bahkan, pada 1802, mereka menyerang Karbala-Irak, tempat dikebumikan jasad cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena makam tersebut dianggap tempat munkar yang berpotensi syirik kepada Allah. Dua tahun kemudian, mereka menyerang Madinah, menghancurkan kubah yang ada di atas kuburan, menjarah hiasan-hiasan yang ada di Hujrah Nabi Muhammad.


Keberhasilan menaklukkan Madinah berlanjut. Mereka masuk ke Mekkah pada 1806, dan merusak kiswah, kain penutup Ka’bah yang terbuat dari sutra. Kemudian merobohkan puluhan kubah di Ma’la, termasuk kubah tempat kelahiran Nabi SAW, tempat kelahiran Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Ali, juga kubah Sayyidatuna Khadijah, masjid Abdullah bin Abbas. Mereka terus menghancurkan masjid-masjid dan tempat-tempat kaum solihin sambil bersorak-sorai, menyanyi dan diiringi tabuhan kendang. Mereka juga mencaci-maki ahli kubur bahkan sebagian mereka kencing di kubur kaum solihin tersebut.

Gerakan kaum Wahabi ini membuat Sultan Mahmud II, penguasa Kerajaan Usmani, Istanbul-Turki, murka. Dikirimlah prajuritnya yang bermarkas di Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, untuk melumpuhkannya. Pada 1813, Madinah dan Mekkah bisa direbut kembali. Gerakan Wahabi surut. Tapi, pada awal abad ke-20, Abdul Aziz bin Sa’ud bangkit kembali mengusung paham Wahabi.

Tahun 1924, ia berhasil menduduki Mekkah, lalu ke Madinah dan Jeddah, memanfaatkan kelemahan Turki akibat kekalahannya dalam Perang Dunia I. Sejak itu, hingga kini, paham Wahabi mengendalikan pemerintahan di Arab Saudi.


Dewasa ini pengaruh gerakan Wahabi bersifat global. Riyadh mengeluarkan jutaan dolar AS setiap tahun untuk menyebarkan ideologi Wahabi. Sejak hadirnya Wahabi, dunia Islam tidak pernah tenang penuh dengan pergolakan pemikiran, sebab kelompok ekstrem itu selalu menghalau pemikiran dan pemahaman agama Sunni-Syafi’i yang sudah mapan.

Kekejaman dan kejahilan Wahabi lainnya adalah meruntuhkan kubah-kubah di atas makam sahabat-sahabat Nabi SAW yang berada di Ma’la (Mekkah), di Baqi’ dan Uhud (Madinah) semuanya diruntuhkan dan diratakan dengan tanah dengan mengunakan dinamit penghancur.

Demikian juga kubah di atas tanah Nabi SAW dilahirkan, yaitu di Suq al-Leil diratakan dengan tanah dengan menggunakan dinamit dan dijadikan tempat parkir onta.

Photo Pemghancuran Situs - Situs Islam Bersejarah



Oleh Al-Habib Mundzir Al-Musawa

Senin, 20 Mei 2013

Madzhab Dalam Islam I

Madzhab Dalam Islam


Setelah wafatnya Baginda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, di mana Daulah Islamiyyah semakin meluas di bawah pimpinan para khalifah, maka banyak umat manusia dari seluruh dunia memasuki agama Islam berbondong-bondong. Masyarakat Islam pada ketika itu mempunyai latar belakang agama dan pegangan yang berbeda-beda. Bahkan, mereka juga mempunyai femahaman terhadap kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang diajarkan oleh Islam.
Bahkan, sebagian mereka ada dari kalangan orang-orang A’jam (bukan Arab) yang mengalami kesukaran untuk memahami ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an secara langsung. Berdasarkan banyak faktor-faktor , maka risalah aqidah Islam dan tauhid murni ini semakin menantang untuk dijelaskan kepada masyarakat yang baru memeluk Islam.
Sebagian dari mereka sudah terbiasa dengan pegangan dan konsep ketuhanan yang salah sehingga mencoba memahami aqidah murni Islam dengan kerangka yang salah. Oleh sebab itulah, timbul isu aqidah yang beragam seperti isu taqdir yang merupakan isu yang paling awal dibahas dalam masyarakat Islam,tentunya dalam bidang aqidah. Ini adalah suatu tantangan baru dalam masyarakat Islam, di mana dahulu, iman adalah suatu yang dihayati dan terealisasi dalam segenap kehidupan, namun dengan munculnya generasi baru yang mempunyai pelbagai latar belakang pendidikan, keilmuan, pegangan, kepercayaan, bahasa dan sebagainya, membuat “pendekatan” untuk menjelaskan tentang tauhid murni Islam perlu dikembangkan.

Pada awal perkembangan ilmu aqidah (suatu nama yang tidak di gunakan dalam zaman awal salaf, lalu berkembang menjadi nama khusus untuk ilmu tauhid), para ulama’ tidak menumpukan sepenuh perhatian terhadap isu-isunya karena mereka lebih menumpukan sudut mengembangkan ilmu-ilmu berkaitan femahaman terhadap hukum-hakam syariat Islam.
Namun Apabila timbul isu-isu melibatkan aqidah, maka para ulama’ hanya menghadapi individu-individu yang terlibat dengan perdebatan ilmiah yang ringkas. Ini bisa dilihat sebagai suatu asas bagi perkembangan ilmu Jidal (ilmu perdebatan) yang seterusnya membawa kepada pengkonsepan ilmu Kalam Sunni, yaitu suatu perkembangan ilmu Jidal para ulama’ Sunnah khusus dalam bidang aqidah Islam. di Antara para ulama’ Salaf yang masyhur yang terlibat dalam perdebatan secara Kalamiyyah (ilmu Kalam atau ilmu Jidal) ini adalah Imam Abu Hanifah r.a. (w 150 H), Imam As-Syafi’e r.a. (w: 204 H) [rujuk Manaqib As-Syafi’e oleh Al-Baihaqi: 1/457] dan sebagainya.


Pada masa seperti ini, perkembangan ilmu tauhid ajaran Islam mula dibahas secara teori semata-mata tanpa berkaitan dengan penghayatan terhadap tauhid itu sendiri. Muncul individu-individu yang sibuk membahas tentang sifat-sifat ketuhanan, perkara-perkara ghaib dan sebagainya tanpa menghayati tauhid murni dalam hati mereka. Seolah-olah, ilmu tauhid adalah suatu ilmu untuk dibahas tanpa mempunyai penghayatan dan rasa manisnya dalam diri manusia. Ini adalah hasil perkembangan perbahasan ilmu agama tanpa nilai ketaqwaan dalam sebagian ahli ilmu dan masyarakat awam.
Tidak dapat dinafikan bahwa, para ulama’ yang terlibat dalam memberi penjelasan terhadap aqidah Islam dalam masyarakat Islam adalah terdiri daripada para ulama’ sufi juga, yang pada ketika itu lebih dikenali sebagai golongan Az-Zuhhad (ahli zuhud). Tokoh-tokoh besar seperti Imam Hasan Al-Bashri (w: 110 H) dan Imam Harith Al-Muhasibi (w: 243 H) adalah antara tokoh-tokoh sufi awal yang terlibat membahaskan ilmu berkenaan dengan aqidah. Namun, pembahasan tauhid mereka berbeda dengan pembahasan tauhid nazhori (secara teori) karana mereka membahas tentang penyucian jiwa, tarbiah kerohanian dan sebagainya sebagai usaha merealisasikan ilmu tauhid kepada bentuk penghayatan rohani.
Ini berbeda dengan perkembangan ilmu Tauhid Nazhori yang melibatkan perdebatan-perdebatan secara istilah dan sebagainya. Sedangkan, ilmu aqidah atau ilmu tauhid yang dikembangkan oleh sebagian ulama’ sufi menekankan konsep “keterpaduan” antara tauhid dengan akhlak (tauhid amali syuhudi) yang mana itu suatu warisan tauhid generasi awal Islam yang masih dipelihara. Ilmu Tauhid yang mereka bahas bukan sekadar berbentuk teori, tetapi diterjemahkan dalam bentuk hubungan kehambaan dengan Allah s.w.t. melalui konsep Suhbah dan Tarbiah yang didasari oleh kaedah Qudwah (contoh) sebagaimana yang telah disebutkan.
Kaedah Qudwah yang mereka gunakan itu sendiri mempunyai silsilahnya yang bersambung kepada Saidina Rasulullahshollallahu ‘alaihi wasallam karana para ulama’ sufi mengambil qudwah daripada para ulama’ tabi’in yang mengambilnya daripada para sahabat r.a. yang mana mereka mengambilnya daripada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
Ketika perkembangan ilmu tauhid amali sedang marak dalam golongan sufi khususnya, muncul beberapa individu yang terus tenggelam dalam pembahasan tauhid berbentuk teori (Ilmu Tauhid Nazhori/kalam), lalu timbul perdebatan hangat tentang masalah-masalah ketuhanan dan sebagainya, berdasarkan banyak faktor. Antaranya adalah berlebihan dalam menggunakan akal untuk berinteraksi dengan masalah-masalah aqidah dan kelemahan dalam menguasai ilmu bahasa Arab yang sempurna sehingga salah faham dalam memahami nas-nas mutasyabihat yang melibatkan masalah-masalah aqidah.
Di Antara mereka yang terlibat dengan kesesatan dalam masalah aqidah adalah seperti Washil bin ‘Atho’ (w: 130 H) yang merupakan murid Imam Hasan Al-Bashri yang akhirnya keluar dari majlis Imam Al-Bashri lalu membuat majlis ilmu sendiri karena mempunyai femahaman yang berbeda daripada Imam Hasan Al-Bashri khususnya dalam beberapa masalah aqidah. Akhirnya, faham Washil bin ‘Atho’ dikenal sebagai Mu’tazilah.
Femahaman ini juga dikembangkan oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (80-142 H) dan kemudian dikembangkan oleh Abu Hudhail Al-‘Allaf (w: 268 H), Ma’bad bin ‘Ubbad Al-Silmi (w: 220 H) dan seterusnya oleh Abu Ali Al-Jubba’ie (w: 330 H).
Di samping itu juga, sebelum munculnya golongan Mu’tazilah, muncul individu yang menimbulkan kekeliruan dalam masalah aqidah seperti Ma’bad Al-Juhani Al-Bashri (w: 80 H) dan Ghailan Ad-Dimasyqi (w: 105 H). Femahaman kedua individu ini dikenal sebagai Qadariyyah., masalah Taqdir atau Qadar adalah di antara masalah baru yang paling awal diperbincangkan oleh golongan sesat pada masa salaf.
Begitu juga dengan munculnya individu bernama Jahm bin Safwan (w: 128 H) yang terlibat dengan faham Jabbariyyah. Faham ini berbeda dengan faham Qadariyyah walaupun kedua-duanya masih berkaitan dengan masalah qadar. Namun, kedua-golongan ini terpeleset dari tauhid murni Islam.
Golongan Mujassimah juga termasuk di antara golongan yang menyeleweng dalam masalah aqidah. Mereka memahami nas-nas mutasyabihat dengan femahaman bahasa yang maknanya dibatasi dengan penggunaannya kepada makhluk. Lalu, mereka menjisimkan Allah s.w.t. apakah secara jelas atau secara tidak langsung.
Di Antara golongan Mujassimah adalah golongan Hisyamiyyah yang dipelopori oleh Hisyam bin Al-Hakam (w: 190 H) dan Al-Mughiriyyah yang dipelopori oleh Al-Mughirah bin bin Sa’id (w: 119 H) dari kalangan Syiah. Begitu juga golongan Muqotiliyyah yang dipelopori oleh Muqotil bin Sulaiman (w: 150 H) dan dan golongan Al-Karramiyyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Al-Karram (atau Al-Kiram, w: 255 H) dari kalangan ahli hadith. Adapun femahaman golongan Mujassimah ini masih mempunyai pengaruh yang kuat hingga hari ini walaupun kebanyakan mereka berlindung di sebalik nama-nama indah yang mengelabui para penuntut ilmu dan masyarakat awam.
Ketika perkembangan ini muncul ,maka ilmu tauhid atau aqidah lebih dibahas secara teori di bandingkan dengan sebelum ini,yang dikembangkan dalam masyarakat secara praktikal dengan tarbiah kerohanian (tauhid amali syuhudi). Namun, ini tidak menafikan peranan penting para ulama’ sufi yang masih menjaga manhaj tarbiah ummah dan penyucian jiwa yang menjadi aspek terpenting dalam mengembangkan tauhid amali yang diwarisi secara murni daripada para sahabat r.a. dan tabi’in yang sudah mencapai tahap ihsan.
MunculnYA Golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah
Ketika TERJADI BENTURAN antara golongan-golongan yang telah di sebutkan tadi dengan golongan As-Sawad Al-A’zhom (majoritas ulama’ Islam) iaitu golongan Ahlus-Sunnah wal Jamaah, maka muncul dua tokoh utama yang sangat berperan dalam mengembangkan ilmu tauhid secara teori ini, dalam rangka untuk menghadapi dan mengcounter gelombang femahaman-femahaman sesat dari golongan-golongan ahli bid’ah.
Tokoh pertama yang dimaksudkan ialah Imamuna Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w: 324 H). Beliau besar dalam lingkungan keilmuan golongan Mu’tazilah sehingga beliau sendiri terpengaruh dengan faham tersebut. di Antara guru beliau adalah tokoh Mu’tazilah terkemuka iaitu Abu Ali Al-Jubba’ie. Namun, Allah s.w.t. memberi hidayah kepada beliau sehingga beliau akhirnya kembali kepada aqidah ahlus-sunnah wal jamaah, iaitu aqidah murni Islam.
Beliau melihat pentingnya mempertahankan aqidah murni Islam (aqidah ahlus-sunnah wal jamaah) dengan sebuah manhaj penghujahan yang lengkap dan jelas, iaitu dengan menggabungkan manhaj naqli (menggunakan nas) dan aqli (menggunakan kaedah akal).
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Sheikh Ibn Khaldun, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari mengembangkan manhaj beliau dalam bidang aqidah berdasarkan manhaj Imam Ibn Kullab (w: 240 H) dan dan Imam Al-Muhasibi (w: 243 H).
Ketika itu, perkembangan ilmu tauhid Nazhori versi sunni atau ilmu Kalam versi sunni sangat diperlukan khususnya untuk membentuk suatu metodologi femahaman terhadap aqidah murni Islam dan kaedah penjagaan aqidah daripada faham-faham yang sesat. Maka, penggunaan ilmu logika sangat diperlukan khususnya dalam menyusun kerangka femahaman yang sahih terhadap nas dan seterusnya menyusun kaedah-kaedah asas aqidah murni Islam dan hujah-hujahnya.
Jika kita soroti puncak munculnya faham-faham sesat yang dibawa leh kelompok-kelompok pinggiran (syazd) dalam masyarakat Islam, kita dapati bahwa itu semua kembali kepada dua alasan utama iaitu:
  1. Kelemahan dalam menguasai ilmu berkaitan dengan pemikiran.
  2. Kelemahan dalam menguasai ilmu bahasa Arab.
Oleh sebab itu, banyak orang yang sesat dalam masalah aqidah didapati karena terperangkap apakah karena berlebihan dalam menggunakan akal ataupun lemah dalam memahami uslub bahasa Arab sehingga salah faham terhadap nas-nas mutasyabihat. Bagi golongan yang terlalu berpegang dengan akal,membuat mereka tidak mengetahui batasan-batasannya dalam menyingkap hakikat ketuhanan sebenar, maka ia akan menolak nas-nas yang jelas sehingga menyimpulkan pendapat-pendapat yang terpeleset lagi sesat.
Begitu juga dengan golongan yang tidak memahami uslub bahasa Arab dan mengabaikan sama sekali peranan akal dalam memahami sebagian sifat kesempurnaan Allah secara umum, lalu akhirnya salah faham terhadap nas-nas mutasyabihat sehingga terlibat dengan faham Tajsim (menjisimkan Allah), Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk) dan sebagainya.
Maka, Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah seorang tokoh yang diberi kekuatan oleh Allah s.w.t. dalam menggabungkan penguasaan akal yang cerdas serta penguasaan femahaman terhadap nas secara jelas, lalu menyusun kaedah-kaedah umum atau manhaj asas dalam memahami aqidah murni Islam. Maka, beliau dinilai sebagai tokoh paling berpengaruh dalam menggabungkan kaedah aqli dan naqli dalam bidang aqidah Islam.
Imam Abu Manshur Al-Maturidi (w: 333 H) juga merupakan seorang tokoh yang sangat berperanan dalam mengembangkan manhaj sahih dalam bidang aqidah Islam atau dalam ilmu Tauhid Nazhori ini. Manhaj beliau dalam bidang aqidah bisa didapat dalam kitab beliau berjudul Kitab At-Tauhid. Beliau dianggap sebagai pengembang manhaj tauhid nazhori dalam rangka membela aqidah ahlus-sunnah wal jamaah di Samarqand, sebagaimana Imam Al-Asy’ari yang mengembangkan manhajnya di Iraq.
Imam Abu Manshur Al-Maturidi berguru dengan beberapa ulama’ antaranya Imam Abu Nasr Ahmad bin Al-Abbas Al-‘Iyadhi, Imam Ahmad bin Ishaq Al-Juzjaji, Imam Nashir bin Yahya Al-Balkhi dan Imam Muhammad bin Muqatil Ar-Razi.
Imam Ahmad bin Ishaq Al-Juzjaji dan Imam Nashir bin Yahya berguru dengan Imam Abu Sulaiman Musa bin Sulaiman Al-Juzjaji. Imam Abu Sulaiman Musa Al-Juzjaji pula berguru dengan Imam Abu Yusuf (w: 182 H) dan Imam Muhammad bin Hasan As-Syaibani (w: 189 H) yang mana kedua-duanya merupakan murid-murid utama Imam Abu Hanifah r.a. (w: 150 H). Imam Muhammad bin Muqatil Ar-Razi juga berguru dengan Imam Muhammad As-Syaibani r.a..
Imam Al-Maturidi bukan sekadar mengambil fiqh Imam Abu Hanifah daripada para guru beliau malah mengambil usul aqidah dan manhaj aqidah Imam Abu Hanifah daripada mereka karena Imam Abu Hanifah juga di antara para ulama’ yang paling awal membahas tentang aqidah Islam khususnya dalam kitab beliau Al-Fiqh Al-Akbar. Imam Al-Maturidi dianggap sebagai pengembang manhaj aqidah Imam Abu Hanifah dengan cara yang lebih kemas dan sistematik.
Setelah itu, manhaj kedua-dua imam ini mendapat penerimaan luas daripada kebanyakan ulama’ Islam pada zaman tersebut dan zaman seterusnya sehingga zaman sekarang ini. Mereka yang menisbahkan diri kepada manhaj Imam Al-Asy’ari dalam penghujahan pada masalah aqidah dikenal sebagai golongan Al-Asya’irah sedangkan mereka yang menggunakan manhaj Imam Al-Maturidi dikenali sebagai golongan Al-Maturidiyyah. Pembahasan aqidah mereka yang bersifat Nazhori (teoritikal) ini akhirnya dikenali sebagai ilmu Kalam versi Sunni karana mempunyai unsur penggunaan akal di samping penggunaan nas (Naqli).

Sheikh Ibn Khaldun berkata tentang perkembangan ini:
“(Ilmu Kalam) ialah ilmu yang mengandung hujah-hujah terhadap aqidah-aqidah yang dipercayai dengan bukti-bukti secara Aqliyyah (pembuktian secara logikal) dan menolak golongan bid’ah yang terpeleset daripada aqidah salaf dan ahlus-sunnah”. [Muqoddimah Ibn Khaldun 225]
Maka, kedua-dua imam serta para pengikut mereka dikenal dalam sejarah sebagai para pahlawan dalam bidang aqidah yang membela aqidah murni Islam khususnya secara Nazhori yang sangat penting dalam bidang keilmuan Islam.
Imam Ahmad ibn Hajar Al-Haithami berkata:
“Ahli bid’ah ialah orang yang berpegang dengan pegangan yang berbeda dengan aqidah Ahlus-Sunnah. Adapun Ahlus-Sunnah adalah aqidah yang dipegang oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari, Abu Manshur Al-Maturidi dan mereka yang mengikut (manhaj) kedua-duanya. [Al-Fatawa Al-Hadithiyyah m/s205]
Perkembangan Ilmu Kalam Sunni (Ilmu Tauhid Nazhori)

Setelah para ulama’ menerima manhaj Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi dalam bidang aqidah, maka mazhab keduanya terus dikembangkan merentasi zaman. Kedua-madrasah mempunyai para ulama’ agung yang mengembangkannya serta menyempurnakan perbahasan-perbahasan serta penghujahan mereka berdua.
di Antara murid-murid kepada Imam Al-Asy’ari yang kuat mengembangkan mazhab Imam Al-Asy’ari adalah:
  1. Imam Abu Al-Hasan Al-Bahili
  2. Imam Abu Al-Hasan Bundar As-Syirazi (teman Imam As-Syibli)
  3. Imam Abu Abdillah bin Mujahid Al-Bashri (juga murid Imam Sahl At-Tustari)
  4. Imam Abu Sahl As-Shu’luqi (juga murid Imam Ibn Abi Hatim)
  5. Imam Abu Abdillah At-Tha’ie
Kemudian, murid-murid kepada para imam tersebut mengembangkan mazhab Imam Al-Asy’ari dalam masalah aqidah.di  Antara mereka adalah
  1. Imam Saif As-Sunnah Al-Qadhi Abu Bakr bin At-Thayyib bin Al-Baqillani Al-Maliki (murid   Imam At-Tha’ie. Antara kitab beliau yang terpenting adalah Al-Inshof Fima Yajibu I’tiqaduhu wa La Yajuzu Al-Jahl Bihi danTamhid Al-Awa’il.)
  2. Imam Abu Bakr Ibn Furak Al-Asfahani (w: 406 H). Beliau berguru dengan Imam Abu Al-Hasan Al-Bahili bersama-sama Imam Al-Baihaqi dan Imam Al-Qusyairi. Antara kitab beliau dalam mengembangkan mazhab Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari adalah kitab Mujarrad Maqalat Al-Asy’ari.
  3. Imam Al-Ustaz Abu Ishaq Al-Isfirayini (m: 418). Beliau adalah murid Imam Al-Bahili.
Kemudian, ianya dikembangkan oleh para ulama’ Al-Asya’irah pada peringkat ketiga yang merupakan di antara murid-murid kepada para imam tersebut.  mereka adalah:
  1. Imam Abu Al-Qasim Al-Isfirayini (w: 452 H). Beliau berguru dengan Imam Abu Ishaq Al-Isfirayini dan bersahabat dengan Imam Al-Baihaqi. di Antara murid beliau adalah: Imam Al-Haramain, guru kepada Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a. dan Imam Dhiya’uddin Al-Razi, ayahnda kepada Imam Fakhruddin Al-Razi.
  2. Imam Al-Ustaz Abu Bakr Al-Baihaqi (w: 384 H). Beliau berguru denga Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Ibrahim Al-Isfirayini dan Imam Abu Bakr bin Furak. di Antara buku-buku tulisan beliau adalah: Al-Asma’ wa As-Sifat sebesar dua jilid (buku rujukan dalam bidang aqidah) dan Al-I’tiqad.
Seterusnya, dikembangkan oleh para ulama’ di antara mereka yang terkemuka adalah seperti:
  1. Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf As-Syirazi (393-476 H). Beliau adalah murid Imam Al-Khatib Al-Baghdadi, Imam Al-Qadhi Abu At-Thayyib At-Tabari, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Ahmad Al-Baidhawi, Imam Al-Faqih Az-Zujaji dan sebagainya. Antara tulisan beliau dalam bidang aqidah adalah: Al-Isyarah ila Mazhab Ahl Al-Haq.
  2. Imamul Haramain Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini (419-478 H). Beliau berguru kepada ayahndanya Imam Abdullah Al-Juwaini dan Imam Abu Al-Qashim Al-Iskafi Al-Isfarayini. Antara kitab-kitab beliau khususnya dalam bidang aqidah adalah: Al-Irsyad ila Qawathi; Al-Adillah fi Usul Al-‘I’tiqad, Ar-Risalah An-Nizhamiyyah (Al-Aqidah An-Nizhamiyyah), As-Syamil fi Usul Ad-Din, Lam’atul Adillah fi Qawa’id ‘Aqa’id Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah
Begitulah seterusnya, mazhab Al-Asy’ari dalam aqidah terus dikembangkan oleh banya ulama’ besar di antara mereka adalah seperti:
  1. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali r.a. (w: 505 H) khususnya menerusi buku beliau Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad
  2. Imam Abu Al-Fath Muhammad As-Syahrastani (w: 548 H) khususnya menerusi kitab Nihayah Al-Iqdam fi Ilm Al-Kalam dan Al-Milal wa An-Nihal.
  3. Imam Fakhruddin Ibn Asakir (499-571 H) khususnya menulis kitab Tabyyiin Kazb Al-Muftari merupakan buku yang menghimpun sebagian nama-nama para ulama’ Al-Asya’irah yang besar.
  4. Khatib Ar-Riy Imam Dhiyauddin Abu Al-Qasim Umar Al-Razi khususnya meneruskan kitab Ghayah Al-Maram fi Ilm Al-Kalam.
  5. Imam Fakhruddin Al-Razi r.a. (w: 606 H) anak kepada Imam Dhiya’uddin Ar-Razi, khususnya dalam buku beliau Asas At-Taqdis dan Al-Masa’il Al-Khamshun fi Usul Al-Kalam.
  6. Imam Al-Amidi (e: 631 H) khususnya buku beliau Ibkar Al-Afkar dan Ghayah Al-Maram fi Ilm Al-Kalam
  7. Imam Al-Iji (680-756 H) khususnya kitab-kitab beliau: Al-Mawaqif fi Ilm Al-Kalam, Jawahir Al-Kalamdan Al-‘Aqa’id Al-Adhiyyah
  8. Imam Muhammad bin Yusuf As-Sanusi (w: 895 H) khususnya buku beliau Umm Al-Barahin, Al-Manhaj As-Sadid dan Aqidah Ahl At-Tauhid Al-Kubra
Setelah itu, perkembangan kitab-kitab Al-Asya’irah lebih bersifat syarahan, ulasan dan catatan terhadap kitab-kitab terdahulu.
Perkembangan ilmu aqidah secara Nazhori atau ilmu kalam ini sangat memainkan peranan penting dalam menyusun kerangka asas dalam berinteraksi dengan masalah aqidah khususnya melibatkan bab ketuhanan, berdasarkan femahaman nas yang jelas dan penggunaan kaedah akal yang seimbang.
Maka, Tauhid yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam adalah suatu Tauhid Amali Syuhudi atau suatu Tauhid praktikal dan penghayatan, yang mana aqidah adalah suatu yang disemat dalam jiwa dalam bentuk penghayatan. Tauhid Amali ini adalah suatu tauhid yang murni yang lahir daripada suatu proses penyucian jiwa (Tazkiyyah An-Nufus) dan tarbiah kerohanian. Oleh sebab itulah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam merupakan seorang murobbi agung kepada para sahabat r.a. yang menerapkan tauhid Amali ini dalam jiwa mereka melalui tarbiah kerohanian.
Namun, setelah munculnya golongan yang sesat dalam masalah aqidah khususnya ketika salah faham terhadap nas-nas Islam, maka para ulama’ terpaksa menghimpun ilmu aqidah dalam bentuk teori untuk memelihara aqidah umat Islam daripada salah faham dalam masalah aqidah dan menyusun manhaj sahih dalam berinteraksi dengan nas-nas (termasuklah nas-nas mutasyabihat) yang melibatkan masalah aqidah.
Walau bagaimanapun, kesibukan dan fokus terhadap ilmu Tauhid Nazhori (berbentuk teori) ini tidak menyebabkan ilmu Tauhid Amali Syuhudi ini terhenti perkembangannya dalam masyarakat Islam. malah dikembangkan oleh para ulama’ sufi dalam bentuk Tarbiah Ruhiyyah Amaliyyah (tarbiah kerohanian praktikal) dan dikembangkan juga melalui penulisan-penulisan mereka dalam ilmu Tasawwuf.
Bahkan, ketika ilmu Tauhid Nazhori sedang dikembangkan dalam bentuk ilmu Kalam oleh golongan Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah, sebagian para ulama’ sufi turut terlibat membahas ilmu Tauhid Nazhori ini juga bahkan kebanyakan mereka menjadikan asas-asas manhaj aqidah Al-Asya’irah atau Al-Maturidiyyah sebagai pendahuluan bagi perjalanan menuju Allah s.w.t. (perjalanan kerohanian) karana tanpa asas aqidah yang jelas dan sahih, maka perjalanan kerohanian menuju Allah s.w.t. tidak membawa kepada natijah yang sahih kerana aqidah adalah asas bagi ibadah dan pengabdian.
Bahkan, sebahagian para ulama’ Mutakallimin yang terlibat dalam membahas ilmu Tauhid Nazhori (ilmu Kalam) ikut menggalakkan pelajaran ilmu Tasawwuf dan tarbiah kerohanian sebagai penyempurnaan dan perealisasian terhadap ilmu Aqidah yang telah dipelajari.
Maka, kita dapat simpulkan dua bentuk hubungan antara ilmu Aqidah (Nazhori) dengan ilmu Tasawwuf iaitu:
Ulama’ Sufi berpegang dengan ilmu Kalam sebagai pendahuluan pembahasan ilmu Tasawwuf.
Ilmu Aqidah Nazhori dijadikan sebagai subjek pendahuluan terhadap ilmu Tasawwuf oleh kebanyakan ulama’ sufi karena kepentingan aqidah yang sahih dalam perjalanan menuju Allah s.w.t.. Maka, manhaj Al-Asya’irah dan Al-Maturidiyyah yang menjadi manhaj utama membela aqidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah turut diterapkan dalam perbincangan ilmu Tasawwuf khususnya di awal pembahasan mereka.
Ulama’ Mutakallimin (ahli ilmu Kalam) berpegang dengan ilmu Tasawwuf sebagai Manhaj Penyempurnaan.
Para ulama’ Mutakallimin menyeru untuk mempelajari ilmu Tasawwuf setelah membahas ilmu Kalam secara teori karana ilmu Tasawwuf adalah penyempurnaan dan manhaj yang menterjemahkan ilmu Aqidah yang dipelajari secara teori dalam bentuk penghayatan.

Wallaohu a'lam..........

Pustaka